Pers di Era Reformasi

Pers di Era Reformasi

Keberadaan pers di manapun tak akan lepas dari sistem pemerintahan nan dianut oleh seuatu negara. Indonesia sejak menyatakan diri sebagai bangsa nan merdeka mendasarkan sistem pemerintahan pada praktik musyawarah konsensus (demokrasi).

Namun, sistem nan diterapkan ini terkadang keluar dari jalur apa nan seharusnya. Pers di Indonesia mengalami pasang surut, terutama sejak zaman Soekarno hingga berakhirnya kekuasaan Soeharto dalam sistem pemerintahan orde baru . Walaupun menganut sistem demokrasi, nasib pers di Indonesia tak selalu baik. Pers sering menjadi kambing hitam dari warta nan beredar di masyarakat. Bukan hanya itu, kebebasan pers juga terbelenggu. Ini mengisyaratkan bahwa demokrasi sebagai kendaraan akan bergantung kepada pada siapa nan menjadi sopirnya.



Orde Baru

Soeharto naik sebagai presiden sejak tahun 1967. Banyak pihak nan menyatakan bahwa naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan tak lain sebab memanfaatkan surat perintah sebelas maret, nan kemudian diartikan sebagai pemindahan kekuasaan. Rumor mengenai pemindahan kekuasaan ini memang cepat-cepat ditampik oleh Soekarno, presiden pada saat itu. Namun, gelombang protes mahasiswa terhadap pemerintahan orde lama harus memaksa Soekarno buat turun dari kekuasaannya. Mahasiswa menginginkan era baru nan akhirnya disebut dengan oder baru.

Pemerintahan orde baru, berlangsung lama di Indonesia. Mulai dari tahun 67 sampai dengan tahun 1998, orde baru nan dipimpin oleh Suharto menjadi sistem pemimpin buat negeri ini. Kesuksesan orde baru di ranah politik tak lepas dari kemenangan pemilu nan diperoleh terus menerus, tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan tahun 1998. Kemenangan ini tentu saja menjadikan Suharto sebagai presiden nan memimpin Indonesia dengan masa jabatan paling lama. Lebih dari tiga puluh tahun Suharto memimpin negeri ini sebab selalu mendapatkan kemenangan pada setiap pemilihan umum. Kemenangan berturut-turut ini tak lepas dari Golkar, kendaraan nan ia bangun sebagai alat politik.

Pada masa oder baru ini, jumlah partai peserta pemilu, tidaklah sebanyak partai nan mengikuti pemilu di zaman reformasi. Hanya tiga partai nan menjadi konstestan peserta pemilu yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Semua partai nan berlandaskan Islam digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan nan nasionalis serta berlandaskan agama selain Islam tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Golkar sendiri mengampanyekan bahwa mereka bukan partai melainkan sebuah forum nan digunakan oleh orang-orang nan berkarya buat pemerintah. Orang-orang nan masuk ke dalam Golkar ini kebanyakan ialah petani desa nan dijanjikan akan diangkat tingkat ekonomi mereka. Para PNS juga otomatis masuk ke dalam Golkar. Bahkan, pejabat-pejabat pemerintah dengan terang-terangan mengkampanyekan Golkar sebagai partai pilihan mereka dan memaksa bawahannya buat ikut mencoblos Golkar. Dapat dibilang, bahwa suatu kampung nan Golkar tak menang, maka kampung tersebut akan mendapat teguran dari lurah ataupun pejabat lain nan ada di atasnya.

Kekuasaan Orde baru tumbang saat mahasiswa dan masyarakat mulai bosan dan kecewa terhadap Soeharto. Diawali dengan krisis ekonomi 1997, mahasiswa mulai mematahkan mitos bahwa militer tak bisa dikalahkan. Krisis ekonomi membawa kepada krisis keyakinan terhadap pemerintah nan berkuasa. Kerusuhan terjadi di mana-mana dan menyerang orang-orang nan merupakan bagian daripada pemerintahan orde baru.

Pembakaran rumah-rumah dan juga pusat perbelanjaan merupakan peristiwa nan hampir terjadi di semua loka di Indonesia. Penjarahan terhadap barang-barang dari toko nan dilakukan oleh warga masyarakat semakin membutktikan betapa rendahnya moral masyarakat saat itu. Bahkan, etnis eksklusif menjadi target kemarahan dari warga nan menganggap bahwa etnis tersebut ialah penyebab masalah ekonomi nan ada di Indonesia sebab etnis tersebutlah nan kebanyakan menguasai perekonomian Indonesia.

Dengan gerakan satu suara 'turunkan Soeharto', akhirnya Sang Jenderal itu dengan berat hati harus menyerahkan kekuasaannya kepada B.J. Habibie. Salah satu kalimat pidato pengunduran diri dari Suharto nan masih penulis ingat sampai sekarang adalah, “ Tidak jadi Presiden, tak patheken.” Patheken di sini ialah homogen penyakit nan artinya Suharto mengatakan bahwa tak menjadi presiden bukanlah masalah besar baginya.



Nasib Pers

Politik orde baru nan dijalankan dengan kekuatan militer telah mengendalikan pers dengan sangat ketat. Bahkan TVRI dan RRI nan semestinya menjadi ruang publik bagi masyarakat malah dimonopoli Soeharto buat melakukan propaganda. Tentunya propaganda buat mengalahkan lawan-lawan politiknya. Janji kemerdekaan pers nan disampaikan Soeharto saat pertama kali menjadi presiden hanyalah omong kosong belaka.

Dalam era orde baru, tentu tak banyak pers nan berani melakukan kritik terhadap pemerintahan Suharto. Jika saja mereka berani macam-macam, nasibnya akan sama seperti majalah Tempo atau Detik nan sempat dibredel sekitar tahun 1994. Hal ini tentu saja membuktikan betapa kuatnya pemerintah buat mengekang kebebasan pers.

Tentu kondisi ini menjadi sangat dilematis bagi para jurnalis. Mereka berkewajiban buat menyampaikan kebenaran, namun harus berhadapan dengan ancaman, bahkan kematian. Sedikit saja kritik melayang ke pemerintaha orde baru, tentu akan berujung ke dalam penjara. Sungguh masa-masa nan sulit buat global pers di Indonesia.

Lepas dari sistem politik nan dianut Indonesia masa orde baru, pers tetap menjadi bagian alat masyarakat buat melakukan kritik terhadap pemerintahan. Rezim militer seperti nan dijalankan Soeharto memang tak memberikan kesempatan kepada pers buat berkembang. Soeharto pada dasarnya telah menggali lubang kematiannya sendiri; mahasiswa dan pers. Dua kelompok inilah nan dapat dianggap sebagai patron dari kebangkitan gerakan demokrasi di Indonesia.



Pers di Era Reformasi

Setelah tumbangnya Suharto, era baru pun dimulai yaitu era reformasi. B.J Habibie nan menjadi Presiden menggantikan Suharto kemudian mengadakan pemilu walaupun masa jabatannya belum habis. Pemilu ini diselenggarakan sebab tak adanya kepercayaan anggota dewan terhadap presiden. Gelombang reformasi pun membawa angin perubahan bagi keberadaan pers di Indonesia. Koran dan majalah nan dulu pernah dibredel mulai muncul kembali. Opini dan kritik nan sebelumnya dilarang mulai muncul ke permukaan. Jatuhnya orde baru dan naiknya orde reformasi seperti sebuah pesta politik nan sekian lama diimpikan. Itulah sebabnya banyak pihak nan menyatakan reformasi sudah kehilangan arah dan kebablasan.

Begitu pula dengan pers, kebebasan menjadi sebablasan ini ditandai dengan munculnya program-program debat di televisi. Kritik sudah tak lagi memiliki kekuatan sebab hanya sekadar menjadi tontonan. Di satu sisi masih banyak pihak nan memperjuangkan keberadaan pers sebagai media kritis dalam mengawal jalannya pemerintahan, namun di sisi lain tujuan bisnis pun tak bisa dihindarkan.

Nasib pers Indonesia pada saat orde baru memang buruk, namun lebih jelek nasib pers zaman sekarang (reformasi). Sibuk dengan perlombaan pengemasan, sibuk buat menjadi media terdepan, dan sibuk dengan agenda-agenda setting eksklusif nan menguntungkan media. Entah nasib pers Indonesia ke depan seperti apa. Yang jelas setiap masa dan setiap loka pers selalu membawa kewajiban sebagai alat nan memihak kepada kepentingan emansipasi.