W.S. Rendra dan Kritikus Sastra

W.S. Rendra dan Kritikus Sastra

W.S. Rendra, Anda tentu sudah tak asing dengan namanya, bukan? Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang dia, berikut ini kami kutipkan penggalan syairnya buat sedikit mengenang mendiang W.S. Rendra.

Kita tidaklah sendiri/dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya ialah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimew/kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah buat mengeluh dan mengaduh
Hidup ialah buat mengolah hidup
bekerja membalik tanah/memasuki misteri langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia
.

Nama besar W.S. Rendra atau biasa disebut Rendra terkenal dan melegenda saat ia masih hidup. Kini, tiga tahun setelah kematiannya, tepatnya 6 Agustus 2009 lalu. Diskusi karya-karya Rendra masih terjadi di ruang sastra. Rasanya sulit menemukan profil pengganti Rendra dalam beberapa tahun ke depan. Seperti kata pepatah kuno, "seniman dilahirkan oleh zaman bukan dibentuk keadaan."

W.S. Rendra jika dipandang secara garis waktu. Tidak termasuk tokoh sastra angkatan pujangga lama, pujangga baru, angkatan 45, ataupun angkatan 66. Kata A. Teeuw, kritikus Sastra dari Belanda, Rendra bebas dari semua angkatan tersebut, ia berkepribadian sendiri pada zamannya.



W.S. Rendra dan Festival

W.S. Rendra termasuk seniman, juga penyair nan sangat progresif mengikuti sejumlah festival, di antaranya:

  1. The Rotterdam International Poetry Festival (1971, 1979)
  2. Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985)
  3. The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985)
  4. The First New York Festival Of the Arts (1988)
  5. Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989)
  6. World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992)
  7. Tokyo Festival (1995)


Profil W.S. Rendra

W.S. Rendra , pria Scorpio ini Lahir di Solo, 7 November 1935. Tutup usia pada hari Kamis, 6 Agustus 2009 di usia 73 tahun. Rendra merupakan anak dari R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan istrinya Raden Ayu Catharina Ismadillah. Profesi R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, ayah Rendra merupakan guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Ibunya ialah seorang penari serimpi di Keraton Majapahit.

Kiprah dan talenta besar Rendra menjadi sastrawan terlihat sejak duduk di bangku SMP. Ia sudah mulai menulis puisi dan cerita pendek. Aktif pula di kegiatan drama di sekolah. Semasa SMP, ia sudah mementaskan naskah dramanya nan berjudul "Kaki Palsu". Lalu ketika SMA, ia mementaskan "Orang-orang di Tikungan Jalan" dan mendapat penghargaan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.

Sedangkan, potensi olahan talenta kepenyairan sudah nampak manakala Rendra sering tampil membawakan puisinya. Kemudian sebagian besar pada era 60-an sampai 70-an, puisinya sering dimuat di Majalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Kemudian ketika kuliah, Rendra terus mengembangkan bakatnya menjadi aktor dan penyair. Lalu pada tahun 1967, sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan Bengkel Teater.

Karena situasi politik makin tak menentu. Tahun 1985, Rendra hijrah ke Jakarta lalu pindah ke Depok dan kemudian mendirikan Bengkel Teater. Adapun loka tinggal rumah dan loka berkesenian Bengkel Teater nan di Depok, luasnya sekitar 3 hektar. Ada nan mengatakan, tanah seluas itu ialah hasil pemberian sahabat baik Rendra seorang pengusaha terkenal, Setiawan Djodi. Sebagian besar huma dijadikan sanggar dan bangunan buat berkesenian.

bagi W.S. Rendra, Bengkel Teater bukan sekedar loka berkumpul bermain teater dan berkesenian. Melainkan juga loka menabur benih persatuan dan persaudaraan.

Kala itu, anak didik Rendra mencapai 100 orang. Di huma nan itu juga Rendra menularkan sifat "hijau" menanam pohon bagi kebaikan alam. Penyakit orang Indonesia katanya adalah, "sedikit memberi banyak menuntut". Pohon-pohon nan ditanam Rendra berjenis tanaman keras jati, mahoni, eboni, singkong, turi, bambu, mangga, jengkol, rambutan, tanjung, dan banyak lagi.

Tidak banyak nan tahu, kalau dalam setiap pementasan sajak dan puisi. Rendra kadang rela dibayar dengan ayam, kambing, atau beras. Maksudnya bukan Rendra tak ingin dibayar dengan uang. Menurut beliau, proses berkesenian jangan sampai berhenti dan terhenti hanya sebab tak memiliki dana.

Kambing, ayam, atau beras digunakan sebagai menyambung hayati segenap anggota keluarga besar Bengkel Teater. Istilah Rendra pada waktu, "Seniman itu miskin dalam kegagahannya".

Sekali waktu oleh seorang pengusaha media, satu sajak Rendra nan berjudul "Rajawali" dibayar sebesar 75 juta. Rendra bilang, bahwa uang tersebut digunakan buat bayar listrik, air, telepon, dan bayar anak sekolah. Penyair tak ubahnya seperti manusia pada umumnya nan membutuhkan biaya hayati sehari-hari.



W.S. Rendra dan Kritikus Sastra

Seorang ahli sastra asal Australia Prof. Harry Aveling menerjemahkan sebagian besar puisi Rendra nan kemudian dilabeli dengan " A Thematic History of Indonesian Poetry : 1920 to 1974".

Selain itu, karya Rendra dikritisi oleh Prof. Rainer Carle nan berjudul Rendras Gedichtsammlungen [1957-1972]: Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur . Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.



Penghargaan buat W.S. Rendra

Semasa hidupnya, Rendra menerima banyak penghargaan. Di antaranya adalah:

  1. Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
  2. Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
  3. Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
  4. Hadiah Akademi Jakarta (1975)
  5. Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
  6. Penghargaan Adam Malik (1989)
  7. The S.E.A. Write Award (1996)
  8. Penghargaan Achmad Bakri (2006)


Istri-Istri dan Anak-Anak W.S. Rendra

Tak hanya karyanya nan ramai dibicarakan. Tampaknya popularitas dan kehidupan pribadi Rendra pun banyak disorot publik seniman. Di antaranya, ketika ia melangsungkan poligami dan masuk agama Islam. Rendra ialah penyair mualaf nan berjiwa sosial dan seorang religius. Hal ini dibuktikan lewat-lewat karya-karyanya nan sedikit banyak mengutip Al-Quran. Berikut ini ialah nama istri dan anak-anak Rendra.

  1. Perkawinan Rendra dengan Sunarti Suwandi dikaruniai lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta.
  2. Perkawinan Rendra dengan Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat dikaruniai empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
  3. Perkawinan Rendra dengan Ken Zuraida dikaruniai dua anak: Isaias Sadewa dan Mikriam Supraba.


Karya-Karya W.S. Rendra

Berikut ini karya-karya Rendra semasa hidupnya.



1. Drama
  1. Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
  2. Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) 1967
  3. SEKDA (1977)
  4. Mastodon dan Burung Kondor (1972)
  5. Hamlet
  6. Macbeth
  7. Oedipus Sang Raja
  8. Lysistrata
  9. Odipus di Kolonus
  10. Antigone
  11. Kasidah Barzanji
  12. Lingkaran Kapur Putih
  13. Panembahan Reso (1986)
  14. Kisah Perjuangan Suku Naga
  15. Shalawat Barzanji
  16. Sobrat


2. Kumpulan Sajak/Puisi
  1. Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
  2. Blues buat Bonnie
  3. Empat Kumpulan Sajak
  4. Sajak-sajak Sepatu Tua
  5. Mencari Bapak
  6. Perjalanan Bu Aminah
  7. Nyanyian Orang Urakan
  8. Pamphleten van een Dichter
  9. Potret Pembangunan Dalam Puisi
  10. Disebabkan Oleh Angin
  11. Orang Orang Rangkasbitung
  12. Jangan Takut Ibu
  13. Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
  14. Pesan Pencopet kepada Pacarnya
  15. Mencari Bapak
  16. Rumpun Alang-alang
  17. Surat Cinta

W.S. Rendra ialah pribadi istimewa. Ia pernah bergabung dengan artis besar Iwan Fals, Sawung Jabo, Setiawan Djodi saat penggarapan album SWAMI. Kemudian di akhir-akhir hayatnya, Rendra dekat dengan Anggota Persilatan PGB Bangau Putih, nan juga loka Iwan Fals berlatih silat.

Semasa hidupnya, W.S. Rendra sangat dekat dengan mahasiswa, seniman, politisi, dan jurnalis media. Tidak heran ketika Rendra pergi buat selama-lamanya, harian generik Kompas memuatnya di halaman depan dengan judul headlines kepala warta "Berpulangnya Si Burung Merak."

Pesan Rendra menjelang kematiannya ialah "Aku tak butuh pengikut. Setiap orang harus menjadi dirinya sendiri".