Menikmati Petikan Gitar nan Memainkan Degung Sunda

Menikmati Petikan Gitar nan Memainkan Degung Sunda

Salah satu kekayaan budaya tradisional nan dimiliki oleh Suku Sunda ialah musik nan dimainkan menggunakan seperangkat degung bernama Degung Sunda . Degung ialah sekumpulan alat musik tradisional khas Sunda nan serupa dengan gamelan di Jawa. Laras (nada) pada degung terdiri atas lima nada, yaitu mi (2), la (5), da (1), na (3), dan ti (4).

Degung ialah salah satu dari beberapa jenis gamelan nan pernah ada dan masih terus dilestarikan di daerah Jawa Barat di samping Gamelan Salendro dan Pelog.

Gamelan Salendro biasanya dipakai sebagai musik pengiring dalam pertunjukan wayang, tari-tarian, kliningan, jaipongan, dan sebagainya. Sebenarnya Gamelan Pelog juga dapat berfungsi seperti Salendro, tetapi sayangnya tak terlalu populer di kalangan masyarakat maupun pemusik.

Gamelan degung dianggap sebagai perangkat nan dapat mewakili karakter khas masyarakat Pasundan. Penggunaan dan pengembangan degung di masa kini diperkirakan sebagai turunan dari Gamelan Renteng nan berasal dari wilayah Kabupaten Bandung.



Sejarah Keberadaan Degung Sunda

Seorang peneliti kebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pernah mendata keberadaan perangkat Degung Sunda pada 1934. Kunst mencatat bahwa terdapat lima perangkat di Bandung, tiga perangkat di Sumedang, satu perangkat di Cianjur, Ciamis, Kasepuhan, Kanoman, Darmaraja, Banjar, dan Singaparna.

Budaya Kerajaan Sunda Galuh nan berada di daerah hulu sungai diyakini memiliki pengaruh besar terhadap rona kesenian Degung Sunda, mengingat lagu-lagunya banyak mencerminkan perbedaan makna sungai, seperti Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk , dan Sang Bango .

Terdapat dugaan bahwa degung awalnya merupakan musik kerajaan atau keraton, artinya hanya dimainkan buat keluarga bangsawan, mengingat kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah), atau “pangagung” (kaum bangsawan).

Pendapat di atas didukung oleh E. Sutisna, salah seorang nayaga (pemain) Degung Parahyangan, nan menyatakan bahwa dahulu perangkat degung biasanya hanya dimiliki oleh para “pengagung” atau pemimpin daerah (bupati).

Gamelan-gamelan degung nan bersejarah dan kuno di antaranya ialah Gamelan Degung Keraton Kasepuhan dan Gamelan Degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Perangkat degung di Sumedang tersebut merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata, nan juga dikenal sebagai Pangeran Kornel, Bupati Sumedang di tahun 1791 sampai dengan 1828.

Di masa kejayaan para priyayi, gamelan degung tak dimainkan dengan iringan nyanyian, melainkan hanya secara fragmental (gendingan). Bupati Cianjur pada masa 1912 sampai dengan 1920, RT Wiranatakusumah, menyebut degung dengan nyanyian sebagai sesuatu nan rucah atau kurang serius.

Namun, bupati ini memang benar-benar serius melestarikan degung dan membawa perangkat degung Pamagersari ke mana pun ia bertugas. Pada waktu-waktu selanjutnya, degung tak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan Sunda. Masyarakat biasa mulai menggunakan degung sebagai musik pengiring buat memeriahkan pesta (hajatan) pribadi maupun umum.

Selain dimainkan dalam pesta-pesta, degung kemudian mulai memasuki anjung pertunjukan. Di antaranya Opera Sunda Kolosal Loetoeng Kasaroeng pada 18 Juni 1921 dalam menyambut Culturcongres Java Institut. Ketika Loetoeng Kasaroeng dibuat ke dalam film cerita pada 1926, Degung Sunda kembali menjadi musik ilustrasinya.

Pertunjukan lain nan dimeriahkan oleh degung ialah Opera Mundinglaya Dikusumah karya M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja pada 1931 di Purwakarta.

Lagu-lagu degung nan terkenal di kalangan masyarakat Sunda di antaranya ialah Sang Bango, Pajajaran, Manintin, Beber Layar, Padayungan, Kadewan , dan lain-lain. Sementara lagu-lagu nan terbilang baru atau modern dengan pola lagu rerengongan ialah Surat Ondangan, Hariring Bandung, Kalangkang, Bentang Kuring , dan sebagainya.

Musik nan dihasilkan Degung Sunda kini sering diperdengarkan dalam pesta-pesta pernikahan, upacara adat, acara pemerintahan daerah, atau festival dan pertunjukan kesenian.

Ada hal ironis nan melanda beberapa kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia, yaitu kurangnya minat generasi muda lokal buat melestarikannya, sehingga pengembangan dan pelestariannya lebih banyak dilakukan oleh orang-orang bangsa asing. Misalnya, pengembangan degung nan dilakukan University of California di Amerika Serikat, para mahasiswa di Inggris, Jepang, Kanada, dan Australia.



Menikmati Petikan Gitar nan Memainkan Degung Sunda

Dalam acara diskusi dan pagelaran nan berjudul “Ngadegung ku Gitar” di Bale Rumawat Padjadjaran, Kampus Undap Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung, petikan gitar Agus Rukmana terdengar lembut ketika menyajikan beberapa lagu degung Sunda klasik. Bersama musisi lainnya nan juga seorang pemain gitar, Joko Wuryanto, permainan gitar Agus ketika itu mampu membuat penonton terpukau.

Acara pagelaran lagu degung Sunda ini dihadiri oleh Rektor Undap beserta istri tercinta dan juga oleh beberapa pimpinan universitas serta fakultas. Setiap Agus telah selesai memainkan lagu degung Sunda klasik dengan gitarnya, para penonton pun selalu memberikan tepuk tangan nan meriah, termasuk Rektor Undap dan para jajarannya.

Menurut Bucky Wikagoe, seorang tokoh musik dan juga komentaror pagelaran, ada beberapa alasan nan membuat dirinya merasa bangga bercampur risi setelah selesai menyaksikan permaian gitar Agus Rukmana. Bucky mengatakan bahwa kecerdasan eksplorasi Agus Rukmana saat memainkan nada-nada lagu degung Sunda klasik dengan gitarnya memang layak diapresiasi.

Ia menambahkan bahwa sangat sporadis musisi nan mempunyai ketertarikan seperti Agus kepada keberadaan kesenian Sunda. Menurut tokoh musik ini, Agus Rukmana pun lihai menciptakan kord-kord gitar nan sebelumnya belum pernah diciptakan. Ini ialah sumbangan berharga buat global musik Indonesia, bahkan global musik internasional.

Bucky Wikagoe berharap kord-kord hasil karya Agus Rukmana dapat dituangkan ke dalam bentuk not balok sehingga dapat juga dipelajari dan dipraktikkan oleh seluruh pemain gitar nan ada di dunia. Tapi Bucky melanjutkan penjelasannya bahwa permainan lagu degung Sunda dengan menggunakan gitar hanya memerlukan dua pemain gitar serta adanya tambahan pemain tarawangsa.

Oleh sebab itu, permianan lagu ini dianggap sulit olehnya sehingga menciptakan kekhawtiran tersendiri. Dengan sederhananya alat musik dan jumlah pemain, jangan sampai nantinya mengalahkan permainan gamelan degung itu sendiri.

Komentar lainnya datang dari Hilmi Panigoro nan mengatakan bahwa ia tidak melihat adanya nilai tambah dari apa nan dimainkan Agus Rukmana dengan gitarnya. Hilmi menambahkan, Agus hanya sekadar menjadikan gitar sebagai imitasi dari permainan alat musik kecapi sehingga tak mampu menghadirkan karakteristik khas dalam lagu degung Sunda klasik nan dimainkannya.

Hilmi Panigoro pun berpendapat permainan gitar Agus kurang memunculkan perbedaan makna Sunda. Walaupun demikian, Hilmi Panigoro nan merupakan tokoh gitar klasik, berharap di masa nan akan datang permainan gitar Agus Rukmana dapat dikenal di global internasional.

Sementara itu, sang pemain gitar, Agus Rukmana, nan ditemui setelah pagelaran usai, mengatakan bahwa ia tidak akan lelah melestarikan sekaligus memperkenalkan kesenian Sunda dengan permainan gitarnya. Menurut Agus, generasi muda saat ini sudah begitu familiar dengan gitar sehingga tidak akan susah mengenalkan gitar dengan memainkan karawitan Sunda. Dirinya saat ini sedang membuat sebuah metode nan memudahkan siswa belajar permainan gitar karawitan Sunda.

Agus Rukmana nan lahir pada 26 November 1959 ini pada awalnya sedih melihat realita generasi muda nan tidak mengenal kesenian daerahnya. Waktu itu, Agus tampil dalam sebuah acara seminar tentang budaya Sunda. Ternyata, sebagian besar mahasiswa nan mengikuti seminar itu tak tahu tentang karawitan Sunda padahal mereka berasal dari Jawa Barat.

Sejak saat itulah, Agus bertekad buat selalu mengenalkan kesenian Sunda dengan sering berkomunikasi bersama para tokoh karawitan dan para budayawan Sunda. Ia memilih gitar karena telah lama dirinya mendalami gitar klasik.

Agus Rukmana menambahkan bahwa gitar degung miliknya sudah diperkenalkan sampai ke taraf nasional, misalnya saat ia bermain di JCC (Jakarta Convention Center). Dirinya juga berharap bahwa kesenian Sunda, termsuk degung Sunda, nan dimainkan dengan gitarnya ini dapat dikenal hingga ke luar negeri.