Duyung sebagai Hewan Langka di Dunia, Nyatakah?

Duyung sebagai Hewan Langka di Dunia, Nyatakah?

Duyung ialah hewan mitologi sekaligus hewan langka di global . Duyung diyakini keberadaannya melalui berbagai kisah pengantar tidur. Sosoknya digambarkan memilii dua bentuk, manusia dan hewan (ikan). Setengah tubuh bagian atas menyerupai manusia, setengah bagian bawah bersisik menyerupai ekor ikan. Karenanya, duyung termasuk hewan langka di global nan dikatakan mirip manusia.

Benarkah seperti itu? Bahwa duyung ialah hewan langka di dunia nan berperilaku layaknya manusia? Bercakap-cakap dengan bahasa nan dimengerti dan dapat berinteraksi dengan manusia? Walaupun terdengar tak masuk akal, mitologi itu sulit dihapuskan dari memori sebagian masyarakat.



Mitologi Duyung, Hewan Langka di Global nan Melegenda

Ketika Hans Christian Andersen menuliskan dongeng terkenalnya ( Little Mermaid ), keberadaan duyung sebagai hewan langka di global semakin dianggap nyata. Duyung nan kemudian lazim disebut putri duyung, diceritakan ialah seekor ikan nan bermimpi menjadi manusia. Itu sebab hewan langka di global itu pada suatu waktu pernah menyelamatkan seorang pangeran nan kapalnya karam di lautan. Putri duyung pun jatuh cinta. Namun sebab terhalang ‘takdir’ nan berbeda, kisahnya berakhir sebagai cerita kasih tidak sampai.

Kisah hewan langka di global nan sebagian tubuhnya manusia, sebagiannya lagi ikan tersebut amat tersohor. Bahkan, terinspirasi dari dongeng Hans Christian Andersen, ada sebentuk patung Little Mermaid di pelabuhan di Copenhagen, Denmark. Patung nan jadi ikon atau simbol dari kota pelabuhan itu. Wujud dari bagaimana merakyatnya dongeng tentang duyung sebagai hewan langka di dunia.

Tetapi, mitologi tentang duyung bukan hanya milik Hans Christian Andersen atau cerita kepunyaan bangsa Denmark. Nyaris semua kebudayaan di global dipastikan punya cerita mengenai duyung dengan majemuk versi. Ada nan seratus persen diyakini berupa mitos, tapi ada juga nan dipercaya kebenarannya.

Sebagai hewan langka di dunia, duyung pun jadi cerita universal. Bukan milik sekelompok masyarakat atau bangsa tertentu. Berkembang dan bhineka seiring dengan khayalan sang pembuat kisah.

Contoh, cerita mengenai duyung sebagai hewan langka di global nan dipercayai kebenarannya oleh masyarakat Jepang. Bermula dari legenda mengenai duyung berukuran raksasa dan menyeramkan (duyung monster) pada masa kehidupan Shotoku Taishi, seorang putra mahkota Jepang sekitar tahun 574-622 Masehi. Ia berjumpa dengan seekor duyung monster ketika seorang diri melintasi tepian Danau Biwa. Duyung monster itu tidak mengganggu Shotoku, tapi meminta bantuan. Sebelum meminta bantuan, hewan langka di global itu menceritakan kisah hidupnya nan tragis.

Diceritakan bahwa ia sebenarnya ialah seorang nelayan nan dikutuk menjadi monster duyung. Punya tubuh setengah manusia setengah ikan. Kutukan itu menimpanya sebab perbuatan dursila di masa lalu, yaitu membunuhi hewan-hewan secara serampangan.

Singkat cerita, duyung monster berharap agar setelah ia wafat nanti, Shotoku sudi mengawetkan dan menempatkan jasad anaknya itu di sebuah kuil. Ia ingin jasadnya bisa menjadi pelajaran bagi umat manusia buat tak mengulangi perbuatannya nan doyan membunuh hewan-hewan tidak bersalah. Tak lama kemudian, hewan langka di global nan sudah sekarat itu pun meninggal dunia.

Selintas, cerita mengenai hewan langka di global tersebut terdengar seperti mitos. Tapi tak bagi masyarakat Jepang, hususnya mereka nan hayati di sekitar Danau Biwa. Cerita itu diyakini kebenarannya, bukan sekadar mitologi. Apalagi bukti fisik berupa mumi duyung monster dapat dilihat. Mumi hewan langka di global itu tersimpan di Kuil Shinto di Fujinomiya hingga kini.

Jika masyarakat Jepang percaya akan kebenaran dari cerita mengenai duyung monster, lain halnya dengan masyarakat Yunani. Mereka punya cerita serupa, namun beda versinya. Kisah mengenai hewan langka di dunia nan dibalut dengan mitos atau legenda mengenai puteri duyung bernama Thessalonike. Diceritakan ia ialah adik dari Alexander Agung, penguasa Yunani dan Persia, nan berubah menjadi duyung setelah meninggal. Loka hidupnya di sekitar Bahari Aegea.

Dikisahkan, setiap ada pelaut nan melintas, hewan langka di global itu selalu menanyakan kabar kakaknya. Apakah sang kakak (Alexander Agung) masih hayati dan memerintah. Jika jawabnya iya, maka selamatlah pelaut tersebut dari kutukan. Tapi jika tidak, nasib jelek nan akan menimpanya.

Berkaca dari dua kisah di atas, cerita nan mengambil lakon primer seekor duyung amatlah banyak. Bukan hanya ada di Jepang atau Yunani. Kisah tentang hewan langka di global nan mirip manusia itu, bahkan sudah dikenal oleh masyarakat dari Kerajaan Assyria (1000 SM) dan Babilonia. Di kedua peradaban klasik tersebut, duyung dijadikan simbol pemujaan atau dewa-dewi. Hingga manusia memasuki zaman modern, gambaran duyung sebagai hewaan mitologi tak menghilang. Bahkan, terus ada dan diyakini kebenarannya oleh sekelompok masyarakat.



Duyung sebagai Hewan Langka di Dunia, Nyatakah?

Mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, apakah memang sahih ada hewan langka di global nan bentuknya seperti dalam mitologi-mitologi itu? Jika benar, ke manakah hewan langka tersebut? Apakah sudah punah? Jika tak benar, bagaimana fenomena nan sesungguhnya? Rupa dan wujud duyung tanpa terpengaruhi oleh cerita-cerita mitos di masyarakat.

Misteri akan keberadaan hewan langka di global telah menarik minat banyak ilmuwan buat menemukan kebenarannya. Sekaligus mencari jawaban niscaya akan wujud makhluk nan dikabarkan setengah manusia setengah ikan itu. Legenda mengenai duyung dilihat dari sudut pandang ilmu modern.

Akhirnya, para ilmuwan menyimpulkan bahwa legenda nan telah lama hayati di masyarakat sesungguhnya terinspirasi dari kehidupan hewan nyata. Hewan langka di global itu termasuk makhluk hayati spesial. Bukan hanya jumlahnya nan tidak seberapa, tapi pola hayati dan wujudnya jika dilihat dari kejauhan menyerupai sosok manusia. Hewan langka di global itu pun ditemukan di perairan-perairan nan diyakini sebagai loka hayati duyung mitologi ( sirens ).

Hanya saja, jangan terburu-buru menyimpulkan ‘duyung nyata’ itu rupanya seperti nan ada di dalam mitologi. Setengah manusia setengah ikan. Jelas tidak. Duyung nan ditemukan oleh para ilmuwan dan diyakini jadi bahan khayalan mitologi tentangnya ialah orisinil seekor ikan. Hewan langka di global nan hayati di perairan tawar ataupun asin.

Para ilmuwan membaginya ke dalam tiga spesies, yakni ‘dugong’, ‘manatee’ dan ‘sapi laut’( sea cow ). Secara fisik, ketiga spesies hewan langka di global ini mirip satu sama lain. Yang membedakan hanya pada habitat dan rona kulitnya. Termasuk jenis mamalia nan menyusui anaknya, punya Norma berjemur di batu karang atau tepian pantai dan bersuara gaduh seperti singa atau anjing laut.

Jika dirinci, dugong merupakan mamalia bahari pemakan tumbuhan. Tubuh berwarna cokelat kelabu, panjang mencapai 2,7 meter dan mampu hayati lama, hingga usia 70 tahun. Dugong hayati di perairan dangkal seperti kawasan pantai India, Pasifik Selatan (dari wilayah pantai timur Afrika sampai utara Australia), dan kepulauan-kepulauan nan tersebar di Samudera Pasifik. Untuk di Indonesia, hewan langka di global itu dapat ditemukan di perairan pantai Papua.

Spesies lainnya yaitu manatee , hayati di perairan Karibia, sepanjang pantai tenggara Amerika Selatan, pantai dan muara sungai Florida (AS), dan di perairan tawar sungai Amazon. Ukuran tubuhnya lebih besar dari dugong , mencapai 4 meter dan berwarna kelabu. Ada pun buat pola hidup, hewan langka di global ini mirip seperti dugong . Mamalia pemakan tumbuhan.

Spesies terakhir dari hewan langka di dunia nan dianggap sebagai duyung ialah sapi bahari ( sea cow ). Dinamakan sapi bahari sebab ukuran tubuhnya nan ekstra. Dapat mencapai 7,6 meter, dan rona kulit kelabu kecokelatan dengan pola polka dot samar terlihat. Sapi bahari pertama kali ditemukan di dekat Pulau Commander, Bahari Bering pada 1741. Sama seperti dua spesies lainnya, sapi bahari juga suka hayati di perairan dangkal dekat pantai.