Kisah Sunan Kalijaga dan Emas Logam Mulia

Kisah Sunan Kalijaga dan Emas Logam Mulia

Logam mulia merupakan jenis logam nan tahan terhadap korosi (pengaratan). Contoh logam mulia adalah, ruthenium, rhodium, palladium , perak, osmium, iridium , platina, dan emas. Salah satu logam mulia nan paling terkenal dan sering digunakan ialah emas. Dalam hal ini kita akan membahas keunikan emas sebagai salah satu logam mulia dan keterkaitannya dengan upaya pencarian spiritual manusia.



Logam Mulia Emas dalam Tradisi Sufi

Semua orang melihat emas sebagai logam mulia mahal di pasaran. Logam mulia emas juga menjadi salah satu perhiasan nan menunjukkan harta (kekayaan) seseorang. Bahkan, saat menikah biasanya pasangan suami istri mengenakan cincin emas atau sang pria menggunakan barang-barang dari emas mahar. Sayangnya, sporadis sekali orang nan mau mengetahui bahwa term "emas", logam mulia berlambang Au (aurum) ini dapat digunakan buat membuka pengetahuan ilahi.

Jangan terkejut jika kita menemukan banyak kisah nan berkaitan dengan logam mulia emas dalam literatur sufi. Mulai dari kisah Nabi Isa, para guru sufi, hingga cerita Wali Songo. Bahkan, kisah sufi nan berkaitan dengan emas ini juga diadaptasi di daratan Eropa ketika Islam menyebar ke sana pascaperang Salib. Dalam artikel ini, kita akan mencontohkan beberapa kisah tentang emas logam mulia tersebut.



Kisah Nabi Isa dan Emas Logam Mulia

Kisah pertama datang dari buku Fariduddin Attar nan berjudul Musibah-Nama . Diceritakan, suatu saat Nabi Isa tengah mengembara bersama seorang Yahudi. Nabi Isa membawa tiga pangkas roti sebagai bekal perjalanan. Ketika tiba saatnya makan, tiga roti itu dibagi dengan sistem berikut, roti pertama buat Nabi Isa, roti kedua buat si Yahudi, dan roti ketiga disimpan buat sewaktu-waktu dikotomi ketika keduanya membutuhkan.

Namun, apalah daya. Orang Yahudi memang memiliki karakter dasar licik dan curang. Roti tadi disimpan di sebuah loka terbuka. Ketika Nabi Isa sedang beranjak pergi, si Yahudi langsung mengambil roti tadi buat kemudian langsung memakannya.

Begitu Nabi Isa tiba kembali ke loka semula, beliau heran dengan roti nan lenyap. Ketika beliau bertanya kepada si Yahudi, sang mitra perjalanan mengelak dari tanggung jawab. Ia mengaku tidak tahu menahu tentang roti dan berbalik menuduh Nabi Isa memfitnahnya.

Sebetulnya, Nabi Isa menyadari bahwa ini hanya trik dari orang Yahudi tadi. Oleh sebab itu, beliau memperlihatkan mukjizatnya. Beliau mengambil tiga genggam tanah dan mengubahnya menjadi tiga batang emas logam mulia.

Nabi Isa kemudian mengajak si Yahudi buat berbagi. Emas pertama diberikan kepada Nabi Isa. Emas kedua, tentunya menjadi hak milik si Yahudi. Emas terakhir, disebut Nabi Isa akan diberikan beliau kepada si pencuri roti terakhir agar adil.

Mengetahui hal ini, si Yahudi buru-buru mengakui bahwa adalah sang pemakan roti. Dengan mengaku, ia akan mendapatkan emas logam mulia kedua dari tangan Nabi Isa. Nabi Isa tak mempermasalahkan si Yahudi nan akhirnya memperoleh emas tadi. Beliau bahkan memberikan sebatang emas nan beliau miliki sambil berkata, inilah akhir perjalanan kedua sahabat tersebut.

Nabi Isa tak dapat terus menyertai si Yahudi. Orang tadi tak menggubris. Baginya, lebih baik mendapatkan tiga batang emas logam mulia daripada berkawan dengan Nabi Isa.

Tak berapa lama, Nabi Isa pergi. Saat itulah muncul dua orang pengembara. Begitu mengetahui si Yahudi memiliki tiga batang emas, lantas dua orang tadi ingin mendapatkan emas tersebut. Karuan saja si Yahudi menolak mentah-mentah.

Setelah beradu argumen sekian lama, akhirnya diambillah sebuah ketetapan. Emas akan dibagi dengan adil, masing-masing akan mendapatkan satu batang emas. Namun, sebelum pembagian sine qua non seseorang nan membeli roti di kota sebab ketiganya saat itu kelaparan. si Yahudi memenangkan undian buat pergi ke kota.

Saat itulah niat liciknya timbul lagi. Ia tak mungkin menyerahkan emas begitu saja kepada dua orang nan sama sekali tak berusaha mendapatkan logam mulia tadi sejak awal. Maka dari itu, ia membeli roti nan sudah dibubuhi racun maut. Si Yahudi kembali ke loka semula dengan paras cerah sebab akan mendapatkan tiga batang emas logam mulia miliknya lagi.

Namun, ketika tiba, si Yahudi langsung dihajar dua pengembara tadi hingga mati. Alhasil, impiannya meraup emas buat diri sendiri kandas. Sebaliknya, dua pengembara tadi juga tewas setelah memakan roti beracun bawaan si Yahudi.

Nah , apakah kisah ini hanya berisi pesan moral tentang bahaya keserakahan manusia akan emas logam mulia ? Tentunya tidak. Ada misteri nan lebih jauh daripada pesan ini. Namun, sebelumnya kita akan membahas kisah lain tentang emas logam mulia nan terdapat dalam kumpulan kisah Wali Songo.



Kisah Sunan Kalijaga dan Emas Logam Mulia

Sebenarnya, ada begitu banyak kisah nan berhubungan dengan emas logam mulia dalam kumpulan cerita Wali Songo. Namun, salah satu nan paling terkenal ialah kisah Sunan Tembayat. Diceritakan, Bupati Semarang saat itu, Ki Ageng Pandanaran, terkenal begitu kikir dan tak memedulikan rakyat miskin. Bahkan, Ki Ageng Pandanaran mudah tergoda pada harta dunia.

Untuk memberi pelajaran, Sunan Kalijaga datang ke rumah sang bupati dengan menyamar sebagai penjual rumput. Ki Ageng Pandanaran langsung berminat pada rumput jualan Sunan Kalijaga nan begitu murah, cuma 15 ketheng. Padahal, saat itu, biasanya rumput segar dijual seharga 20 hingga 25 ketheng.

Esok harinya, Sunan Kalijaga datang lagi. Tentunya, Ki Ageng Pandanaran lagi-lagi tidak mau membuang kesempatan. Dibelinya rumput tadi sinkron harga kemarin. Namun, Sunan Kalijaga kali ini seolah merasa upahnya tak cukup. Beliau meminta sedekah.

Ki Ageng Pandanaran sempat mengira, sedekah nan dimaksud ialah uang. Sunan Kalijaga nan masih dalam penyamaran, mengaku sedekah nan diinginkannya ialah ditabuhnya bedug di Semarang, atau masuk Islamnya Ki Ageng Pandanaran. Sang Bupati tentu saja marah sebab seorang penjual rumput dari negeri antah berantah berani mengaturnya ini dan itu.

Belum reda kemarahan Sang Bupati, Sunan Kalijaga menyebut bahwa ia tak membutuhkan uang. Sebagai bukti, seperti Nabi Isa dalam kisah di atas, Sunan Kalijaga menciptakan emas logam mulia dari tanah. Ki Ageng Pandanaran terkesima dan menyadari bahwa Sunan Kalijaga bukan orang biasa. Akhirnya, ia pun masuk Islam.

Nah , apakah emas logam mulia di sini hanya dapat dimaknai secara harfiah saja? Misalnya, kita hanya memuji betapa hebatnya Sunan Kalijaga nan dapat “menyulap” emas logam mulia dari tanah biasa? Jawabannya, lagi-lagi tidak. Ada misteri terselubung di balik kemunculan emas logam mulia dalam kisah-kisah di atas.



Rahasia Kisah Emas Logam Mulia

Dalam tradisi sufi, mengubah tanah menjadi emas logam mulia berarti mengubah sosok manusia biasa menjadi manusia sempurna. Hal ini dijelaskan secara ringkas dalam buku Mahkota Sufi karya Idries Shah dan diungkapkan lebih detail dalam buku Dunia Islam, Global Sufi (2012) karya Fitra Firdaus Aden.

Maksudnya, manusia pada umumnya ialah manusia “tanah”; nan masih terikat dengan kepentingan duniawi dan belum layak dianggap istimewa. Seiring dengan perjalanan waktu, tanah ini harus berubah menjadi “emas” (manusia sempurna) dengan cara ditempa melalui beberapa ujian.

Dalam hal ini, kisah Nabi Isa dan si Yahudi ialah metafora kekaguman manusia biasa (si Yahudi) pada mukjizat manusia paripurna (Nabi Isa). Manusia biasa cenderung menganggap mukjizat ialah bentuk kehebatan seseorang. Padahal, mukjizat hanyalah bentuk kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt.. Tuhanlah nan memberikan semua pertolongan kepada orang-orang nan dicintai-Nya.

Si Yahudi nan hanya ingin mendapatkan emas, diibaratkan sebagai manusia nan sibuk mencari mukjizat, tapi lupa menyadari bahwa ia dapat membuat emas itu sendiri, menjadi manusia sempurna. Kisah Ki Ageng Pandanaran juga demikian. Sunan Kalijaga sedang menampilkan bentuk metaforis dari perubahan manusia biasa (tanah) menjadi manusia paripurna (emas) nan sukses membuat pandangan batin Ki Ageng Pandanaran terbuka dan masuk Islam.

Syarat menjadi manusia emas sendiri ialah menekan keinginan-keinginan jiwa atas hal-hal duniawi dan mencintai Allah Swt. setulus hati. Bandingkan hal ini dengan sebuah hadits nan sering dipakai oleh para sufi berikut, “ Sebagaimana emas (logam mulia) diuji dengan ditempatkan dalam sebuah wadah di atas api, demikianlah orang beriman diuji melalui malapetaka dan bencana .”