Apa nan Terjadi Ketika Rakyat Lebih Terpikat Blue gas Ketimbang Kompor Jatah.

Apa nan Terjadi Ketika Rakyat Lebih Terpikat Blue gas Ketimbang Kompor Jatah.

Istilah Blue gas tidak dimaksudkan buat menyebut gas nan berwarna biru, tetapi nama Blue gas mengacu pada jenis tabung gas elpiji nan berwarna biru. Seperti nan banyak beredar di mana-mana, sebuah perusahaan milik partikelir nan menjual kompor gas dan tabung, memberi nama produknya dengan merek blue gas.

Para ibu rumah tangga sangat menyukai produk tabung gas merek ini. Sekarang kita memang sedang dihadapkan pada masalah tabung gas. Tabung gas ukuran 3 kg nan dibagikan kepada masyarakat secara gratis, telah menimbulkan banyak keresahan.

Bahkan salah satu stasiun televisi memajang judul acara obrolan tentang ancaman peledakan tabung gas elpiji, dengan kalimat sangat mengerikan. Judul tersebut ialah “Jangan Kirim Bom ke Rumah”. Belakangan kerena banyaknya tabung gas nan meledak, memang seperti bom nan menelan korban dimana-mana.

Oleh sebab itu kehadiran Blue gas nan telah lama memberikan kepuasan produk kepada para pemakainya, menjadi makin disuka. Padahal produk tersebut tergolong tak murah buat ukuran masyarakat kelas menengah bawah. Tetapi rupanya rasa kondusif masih jauh lebih mahal dari harga kompor dan tabung gas.

Membaca kasus ini, jadi teringat banyolan Madura. Seorang penumpang becak menawar ongkos murah kepada tukang becak nan akan ditumpanginya. Kebetulan tukang becaknya memang orang Madura (yang terkenal apa adanya dan gak sungkan-sungkan), dengan setengah hati diterima saja. Tetapi setelah becak dilarikan dengan kencang dan seperti ugal-ugalan, penumpang itu menegur “ jangan kencang-kencang biar selamat!”.

Dengan santainya si tukang becak menjawab “ Cuma lima ribu, minta selamat”. Nah, bagaimana kalau malah gratis, seperti kompor gas nan dibagikan oleh pemerintah. Rupanya pemerintah kita mengikuti cara berpikir tukang becak tadi.

Padahal si tukang becak itu kan, bukan pelayanan sosial. Mereka bekerja. Wajar kalau dia menghitung untung rugi seperti itu. Sedangkan pemerintah terhadap rakyat tak buat bisnis. Subsidi seperti ini sudah menjadi hak rakyat.

Maka tak salah kemudian masyarakat lebih memilih Blue gas dari pada kompor gas gratis. Sekalipun jelas lebih berat dan mahal bagi mereka. Tetapi apa boleh untuk dari pada terus-terusan dihantui ledakan “bom” di dalam rumah sendiri.



Rakyat Berhak Mendapatkan “Blue gas”, Bukan “Green gas”.

Meminjam kasus perbadingan kualitas antara kompor dan tabung Blue gas dengan kompor konversi dari pemerintah, selayaknya kita prihatin terhadap pelayanan negara terhadap rakyatnya. Bukan hanya soal tabung gas saja, tapi juga soal beras nan disebut dengan istilah nan tak sopan “raskin”. Pemerintah memberikan beras itu sambil mengata-ngatai, miskin.

Orang miskin sendiripun punya hak penghormatan sebagai manusia. Masalahnya bukan hanya soal penyebutan dan pembuatan istilah buat beras murah nan dibagikan dengan harga murah itu. Tetapi kualitas beras nan dibagikan itu sendiri juga tak mempedulikan harkat mereka.

Mereka nan disebut miskin itupun merasa keberatan buat mengkonsumsinya. Banyak diantara mereka nan malah menukarkan dengan beras nan lebih layak buat dikonsumsi, walaupun dengan nilai tukar nan lebih sedikit. Jelas pelayanan terhadap rakyat benar-benar tak sinkron asa dan tak sinkron dengan hak mereka.

Soal pelayanan masyarakat di negeri ini memang memilukan. Apalagi kalau mau membandingkan dengan kualitas pelayanan masyarakat di negara tetangga. Kita sangat jauh tertinggal.

Seperti soal program penggantian bahan bakar minyak tanah ke elpiji. Rakyat berhak buat mendapatkan kualitas seperti Blue gas , bukan kualitas tabung apel hijau seperti apa nan ada sekarang. Subsidi gas elpiji ukuran 3 kg malah tak mereka nikmati.

Mereka beralih ke Blue gas. Maka harga gas nan mereka bayar tetap harga standar. Apalagi kalau mereka tak punya uang nan cukup, rakyat tetap mengalami kesulitan harus membeli gas elpiji sekaligus 12 kg. Lagi-lagi dampak kesalahan seperti ini, rakyat menjadi korban.

Padahal mereka seharusnya sebagai target penerima subsidi. Mereka bisa menikmati apa nan menjadi hak mereka. Di bagian lain sebagian orang nan tak termasuk miskin, malah memanfaatkan subsidi gas elpiji.

Mereka dengan curang mengisi tabung besar non subsidi dengan gas subsidi dari tabung ukuran 3 kg. Bukankah ketimpangan seperti ini makin banyak terjadi, selain ketimpangan bahan bakar minyak buat kendaraan bermotor. Yang kaya makin kaya, nan miskin tetap miskin.



Apa nan Terjadi Ketika Rakyat Lebih Terpikat Blue gas Ketimbang Kompor Jatah.

PT. Blue Gas Indonesia nan menjual kompor dan tabung gas elpiji merek Blue gas ini, memang tergolong sukses memasarkan produknya. Cara nan digunakan buat mendekati konsumen juga tepat. Mereka menjual tabung gas dengan cara mengangsur, atau menjual kredit kepada para Ibu-ibu Indonesia.

Oleh karena itu harga tak dapat murah, sebab segala resiko kredit dan biaya kembang kredit termasuk didalam harga jual nan mereka patok. Sebagai sebuah perusahaan swasta, PT. Blue Gas Indonesia tak salah, sebab mereka bisnis. Tetapi rakyat kita nan tergolong tak mampu sangat berat menanggung beban kredit nan berbunga.

Karena rakyat tak mempunyai pilihan lain, terpaksa beban itu ditelan juga. Bagi rakyat kita sekarang ini, buat memasak saja sudah demikian repotnya, apa lagi buat nan akan dimasak. Bayangkan, mereka mau masak dengan kompor minyak tanah. Padahal minyak tanah sudah langka dan sangat mahal sekitar 12 ribu rupiah per liter.

Untuk memasak 3 jam saja, minyak tanah satu liter itu sudah habis. sedangkan mereka mau menggunakan elpiji tabung 3 kg, ketakutan. Pilihan satu-satunya buat tetap dapat memasak dan kondusif mereka harus membeli Blue gas.

Satu paket kompor dan tabung Blue gas, konsumen harus membayar cicilan bulanan sebesar Rp. 110.000. Kalau mau dihitung buat membandingkan dengan ketika dulu masih pakai kompor minyak tanah, jauh sekali peningkatannya. Kompor minyak tanah harganya sangat murah, hanya sekitar 50 ribu rupiah saja sudah bisa satu kompor tunai, tak perlu menyicil tiap bulan.

Dan harga bahan bakar minyak tanah ketika itu masih ringan, cuma 3 ribuan per liter. Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji tak mensejahterakan rakyat, kalau melihat fenomena ini. Kebijakan itu menyengsarakannya.

Cukup hanya bermimpi bagi mereka buat mendapatkan kualitas barang jatah sekelas barang nan dijual oleh perusahaan swasta. Perlu kita jadikan bahan kajian buat meningkatkan pelayanan publik dan pelayanan sosial. Kesejahteraan masyarakat ialah asa kita bersama.

Dan beban nan tak ringan ini, juga merupakan tantangan kita bersama buat membangun bangsa nan lebih baik. Sekecil apapun peran kita, kalau dilakukan bersama-sama akan menjadi kekuatan nan besar. Saling mengingatkan satu sama lain antar komponen bangsa sangat diperlukan.

Semangat menyemangati dengan kritik nan membangun merupakan bagian dari upaya buat mencapai perubahan dan kemajuan. Karena tanpa supervisi dan kritik, tak akan ada hasilnya kita bredemokrasi.Semoga pelajaran berharga ini bisa menjadi cambuk pengingat buat para petinggi nan berwenang.

Pemerintah diharapkan lebih jujur dan lebih berpihak pada rakyat di setiap kebijakan nan dibuat. Dengan begitu niscaya akan lebih teliti dan tepat dalam mengambil langkah-langkah dan program nan dicanangkan. Sehingga semuanya berjalan sinkron dengan apa nan diharapkan masyarakat.