Filsafat Skolastik

Filsafat Skolastik

Apabila global filsafat kita bagi menjadi beberapa fase, setidaknya ada empat fase filsafat. Filsafat Klasik (Yunani), Filsafat Abad Pertengahan , Filsafat Modern, dan Filsafat Postmodern (Postmo).

Di antara empat fase ini, filsafat abad pertengahan kiranya memiliki ciri nan khas dibanding fase-fase lainnya. Karena, pada fase inilah, tradisi berpikir (filsafat) bersentuhan langsung dengan tradisi beragama (teologi).

Hiruk pikuk para filosof berpilin erat dengan semangat para pemuka agama. Hasilnya, di beberapa loka dan masa, filsafat bisa berpadu serasi dengan nilai-nilai agama. Saling berkontribusi positif dalam memperkaya wawasan intelektual manusia dan peradaban.

Tetapi, di lain loka dan masa (juga masih dalam masa abad pertengahan), keduanya saling meniadakan. Bertikai dan berselisih satu sama lain. Jejak-jejaknya pun bisa kita lihat hingga sekarang. Paham sekuler nan memisahkan urusun global dengan akhirat (agama), jadi contoh konkret permusuhan filasafat kontra agama, atau sebaliknya.



Membaca Abad Pertengahan

Abad pertengahan di mulai ketika abad kegelapan berangsur dilupakan. Dinamakan abad kegelapan, sebab penetrasi Kristen di Eropa Barat belumlah sempurna. Di dalam raja raja beragama kristen, etika kristen dipahami sambil lalu. Namun beranjak pada tahun 1000, di kenallah tokoh tokoh raja Utara beragama kristen nan sahih benar taat dan tekun menerapkan teologi kristen, di antaranya ialah Canute, raja Inggris dan Denmark. Era abad pertengahan juga di buka dengan munculnya semacam kode etik menggarisbawahi etika nan telah ada bermunculan. Kode etik Chivarlic atau kode ksatria ini sekedar buat menandingi kedisiplinan nan tumbuh di timur. Perlu di maklumi bahwa tentara dan ksatria Timur lebih berdisiplin, beradab, dan masing masing dari mereka bukan hanya sekedar pandai mengayun pedang, tapi juga luhung dalam pengetahuan dan wibawa. Hal inilah nan dikejar pula oleh para ksatria di Eropa.

Abad pertengahan juga ditandai dengan semakin jelasnya konsep Royal. Konsepnya kerajaan dengan konservasi dari para Carl nan merupa menjadi Baron Feodal nan kekuasaannya lebih besar. Raja kini ditopang bukan oleh rakyat nan suatu waktu dapat dipanggil dalam perang. Melainkan di topang oleh para Baron nan berhak memiliki tentara sendiri. Baronial itu bahkan diperkenankan memiliki penasihat sendiri, istana, nan sama megahnya dengan milik raja. Segala sesuatunya berubah. Dan raja membagi bagi kekuasaannya secara facto. Dan baru pada masa Raja John II, kekuasaan raja di batasi secara de Jure dalam piagam Magna Charta.

Inipun sebenarnya mengacu kepada apa nan terjadi di Timur. Kekuasan raja di topang oleh para bangsawan dan budak budak nan memiliki kekuasaan nan setara dengan seorang raja. Jika dipahami mengenai filsafat abad pertengahan di masa itu, maka tema utamanya ialah mencoba menggali akar kebangsaan masing-masing. Saxon dan Angle menjadi Inggris, orang orang Goth dan Swabia menjadi Jermania, orang orang Batavia, dan Franks menjadi Perancis. Orang orang Visigoth menjadi Aragorn dan Castilia, orang orang Italia menjadi negara kota nan berkelahi dengan kekaisaran Jerman di bawah Charlemagne. Pada masa awal abad pertengahan, filsafat abad pertengahan di Eropa ialah karya karya mencari kebangsaan. Dan inilah nan dipraktikan pula di dalam karya Tristan dan Isolde, Nibelunglied, Canterbury Tales, Alexiad, dsb. Yang benar-benar mencoba memahami suatu bentuk bangsa.

Sama saja di Timur Jauh, tak jauh berbeda dengan nan tumbuh di Eropa. Kehadiran filsafat kebangsaan muncul menghinggapi bangsa pengembara stepa, nan membawakan konsep ilmu belakangan, lebih baik aksi. Sahih orang Cina membuat tembok besar buat menghalangi orang orang ini. Namun, dengan adanya penyatuan para kepala suku pengembara oleh seorang nan bernama Jengis Khan, tembok besar itu tak dapat lagi dapat menghalangi persatuan orang Stepa. Hampir 40 % peradaban di masa itu dilumat oleh pengendara emas, bangsa Mongol, Karakhitai, Merkit, dsb. Diantara nan 40 % itu, ialah Moskwa, Baghdad, Bulgaria, Khawarizm, dan hampir saja Polandia.



Filsafat Abad Pertengahan

Latar belakang dimulainya filsafat abad pertengahan ialah sikap ekstrem para pemuka agama Nasrani di global Barat (Eropa) pada 476-1492 M. Pada masa ini, para pemuka agama Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas berpikir para filosof. Berdalih keimanan, segala potensi akal nan bertentangan dengan keyakinan para gerejawan, dibabat habis. Para filosof dianggap murtad, dihukum berat minimal di excomunication (dikucilkan) hingga paling berat sanksi mati. Walau tak semua dianggap bid'ah. Pemikiran cemerlang di masa itu tetap bertahan di tengah ekspersi puritan. Beberapa karya besar menyelip, di antaranya karya Dante, Divine Comedy.

Akibatnya, beberapa lini ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tak berkembang. Semuanya diatur oleh doktrin-doktrin gereja lewat evaluasi konsili nan cenderung kolot, dan serba kaku. Sehingga, filsafat abad pertengahan sama saja dengan abad kegelapan. Masa saat peradaban manusia dikungkung oleh banyak ketidaktahuan.

Akan halnya, fakta sejarah ini nisbi tak berlaku di global Islam abad pertengahan (Timur Tengah, Samarkand, atau Spanyol). Berpusat di Spanyol, peradaban manusia tumbuh fertile seiring dengan perkembangan filsafat nan pesat. Karya filsafat Yunani begitu melaju., Di sini, filsafat tak dianggap sebagai ancaman. Bahkan, filsafat jadi sumbu primer dari maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Bermitra serasi dengan nilai-nilai agama, terutama dari pemahaman Mu'tazilah, yakni teologi rasional Islam.

Bagdad sebagai pusat peradaban kekhalifahan, nan dikenal sebagai negeri 1.001 malam, sebagai buah kesusasteraan nan tinggi, sempat dipuji sebab keberadaan dari majils ilmu.. Bagdad pun dikenal memiliki perpustakaan terbesar di global pada saat itu. Lebih dari satu juta buku tersimpan.



Filsafat Skolastik

Karenanya, berdasarkan hubungan filsafat dengan agama (teologi), filsafat abad pertengahan bisa dibagi menjadi dua periode. Yaitu: periode skolastik Islam dan skolastik Kristen.

Skolastik Muslim:Ciri primer dari skolastik Muslim ialah dikajinya kembali pemikiran para filosof klasik, seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles. Telaah-telaah pemikiran mereka, kemudian dikembangkan dan disesuaikan buat menjawab tantangan pada masa itu.

Para pakar fikir skolastik Muslim di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ar-Razi, Ibnu Sina, Al-Gazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain, hampir semuanya orang Persia. Di tangan para filosof skolastik muslim ini, sumbangan pemikiran dari para filosof sebelumnya (filosof klasik), bisa dipahami dan dikaji lebih mendalam.

Termasuk jadi bahan primer perkembangan filsafat di Eropa, yaitu berkontribusi dalam periode skolastik Kristen. Dan, memberikan spirit kebebasan berpikir para filosof, nan ikut belajar di majlis ilmu Islam.



Skolastik Kristen

Dalam perkembangannya, periode skolastik Kristen terbagi menjadi tiga masa. Yaitu, Skolastik Awal (abad 9 – 12 M), Skolastik Keemasan (abad 13–14 M), dan Skolastik Akhir (abad 14–15 M).

Setiap masa memiliki cirinya masing-masing. Skolastik awal ditandai dengan kebangkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan nan telah membatasi filsafat. Atau, setidaknya mengarahkan filsafat agar sinkron dengan doktrin-doktrin agama. Walaupun filsafat belum sepenuhnya lepas dari pemikiran teologi kristiani.

Masa skolastik keemasan, kajian pemikiran Aristoteles jadi karakteristik utama. Seiring dengan menjamurnya kajian pemikiran para filosof klasik (Yunani) di global Islam, filosof di Eropa juga ikut terpengaruh. Mereka turut serta memperdalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Tampak dari semakin banyaknya universitas pendidikan ilmu pengetahuan nan dibuka.

Pada skolastik akhir, terjadi stagnansi pemikiran filsafat. Menurunnya minat berfilsafat dan nyaris tak ada pemikiran original nan terlahir. Sebagian besar pemikiran filsafat kontemporer hanya mengikuti pemikiran-pemikiran para filosof sebelumnya.

Keadaan ini akhirnya menjadi salah satu karena dimulainya pemikiran filsafat pada fase berikutnya, yaitu filsafat modern. Ditandai dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M. Yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi secara paripurna.