1. Penyebab Perang Antar Suku - Disparitas Budaya Antara Dayak dan Madura

1. Penyebab Perang Antar Suku - Disparitas Budaya Antara Dayak dan Madura

Beragamnya suku-suku bangsa di Indonesia kadang melahirkan sebuah peperangan nan sering disebut perang antar suku . Alasannya tentu saja berbeda-beda.

Menurut data dari berbagai literatur, suku-suku di Indonesia berjumlah 700. Ada pula nan menyebutkan 500 dan ada juga nan menyebutkan 300. Namun, setidaknya, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia. Jumlah suku bangsa nan ratusan ini pada kenyataannya memang sangat rentan terhadap konflik. Perang antar suku pun pada akhirnya menjadi sebuah peristiwa nan tak dapat dihindari.

Dari sekian banyak suku tersebut, suku Jawa ialah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41 persen dari total populasi. Sementara suku-suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil nan hanya beranggotakan ratusan orang. Banyak atau sedikitnya kelompok suku ternyata juga berpengaruh terhadap terjadinya perang antar suku.

Konflik merupakan masalah nan lazim nan terjadi di lingkungan masyarakat. Banyaknya disparitas menjadi alasan nan mendasar. Begitupun ketika terjadi perang antar suku nan ada di Indonesia.

Perang antar suku di Indonesia nan sempat menarik perhatian ialah perang antara Suku Dayak dan Madura. Peperangan antara Suku Dayak dan Madura menimbulkan sebuah pergeseran moral tentang bagaimana seharusnya saling menghargai perbedaan.

Nyawa bukan lagi menjadi hal nan mahal saat itu. Pemenggalan terhadap kepala manusia saat itu seolah menjadi bukti bahwa kebencian telah benar-benar membutakan hati nurani. Perang antar suku nan terjadi antara Suku Dayak dan Madura ini benar-benar mengerikan.

Perang antar suku nan terjadi pada masyarakat Suku Dayak dan Madura memang telah lama berlalu. Tapi konflik tersebut bagaimanapun keadaannya niscaya akan tetap meninggalkan kesan mengerikan nan mendalam bagi masyarakat kedua suku tersebut.



Perang Antar Suku - Disparitas Stereotip

Setiap suku tentu memiliki budaya, adat istiadat, dan Norma beragam. Keanekaragaman tersebut tentunya membawa akibat dan konsekuensi sosial bagi kehidupan berbangsa. Jika tak disikapi dengan baik, disparitas tersebut justru menjadi faktor primer penyebab terjadinya perang antar suku.

Setiap suku akan menginterpretasikan budaya nan mereka miliki dalam lingkungannya sehingga terciptalah stereotip nan bisa mengakibatkan lestarinya perbedaan. Penonjolan stereotip suatu suku amat berbahaya. Namun, faktanya, stereotip dan cacat jelek itu tetap hidup. Bahkan, tanpa disadari kian meluas. Bahaya sebab hal ini bisa menimbulkan pepecahan perang antar suku pun menjadi hal nan tak dapat dihindarkan.

Contoh nyatanya ialah stereotip orang Madura dalam pengetahuan orang Indonesia pada umumnya. Orang Madura kadang identik dengan tabiat nan kasar dan keras. Sering meneyelesaikan masalah dengan carok , mengakihiri konkurensi dengan cara duel maut nan berujung kematian. Penyebabnya ialah dendam atau pembalasan pihak keluarga dan kerabat nan terluka. Bahkan, tewas. Dapat dibayangkan bagaimana keadaan perang antar suku nan melibatkan Suku Madura. Bayangan-bayangan seperti itu secara taksadar memacu orang buat membenci atau memusuhi masyarakat dari Suku Madura.

Berikut ini beberapa contoh stereotip suku-suku di Indonesia. Pandangan nan stereotipe ini secara sadar atau tak menjadi sebuah kerangka berpikir terhadap suatu suku, nan jika dirasa tak cocok, maka perang antar suku pun tak dapat dihindarkan.

  1. Orang Cina dianggap kejam pada pribumi dan hanya mau mengeruk laba di Indonesia.
  2. Orang Padang itu tak dapat dipegang sebab sering bengkok hatinya (Padang Bengkok).
  3. Orang Jawa pandai menyembunyikan sesuatu sebab seringkali berbeda antara penampilan luar dan isi hatinya (Jawa Blangkon).
  4. Orang Bugis itu suka menusuk dari belakang.
  5. Orang Minahasa itu hanya suka pesta dan berfoya-foya.
  6. Orang Ambon itu hanya mengandalkan otot ketimbang otaknya.
  7. Orang Dayak itu pemalas.
  8. Orang Batak itu kasar.

Walaupun stereotip itu galat dan berbahaya, hal tersebut seakan inheren dalam benak keindonesiaan kita. Itulah nan seringkali memicu terjadinya kerusuhan etnis atau suku di Indonesia. Bahkan, sejarah mencatat, kerusuhan etnis tesebut berkembang menjadi perang antar suku seperti nan terjadi di Kalimantan, antara suku Dayak dan Madura.

Hal ini kemudian menjadi tanggung jawab bersama. Kembali mengiyakan bahwa disparitas itu latif dan stereotipe itu harusnya dihilangkan rasanya akan menjadi jalan keluar terbaik agar perang antar suku bisa dihindarkan.



Perang Antar Suku - Konfrontasi Dayak-Madura

Setidaknya, terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dan Madura, yaitu peristiwa Sampit (2001), dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir semua wilyah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran dan evakuasi ribuan warga Madura, dengan jumlah korban hingga mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial nan me-nasional.

Bila ditelisik, ada empat hal fundamental nan menjadi penyebab terjadinya perang antar suku nan melibatkan Suku Dayak dan Madura, yaitu:



1. Penyebab Perang Antar Suku - Disparitas Budaya Antara Dayak dan Madura

Perbedaan budaya jelas menjadi alasan fundamental ketika perang antar suku terjadi, begitupun ketika kita membicarakan peperangan nan terjadi antara Suku Dayak dan Madura. Masalahnya sangat sederhana, tetapi jika sudah berkaitan dengan kebudayaan, maka hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan. Dan itulah nan menjadi soal.

Misalnya saja permasalahan senjata tajam. Bagi suku Dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke loka umum. Orang nan membawa senjata tajam ke rumah orang lain, walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya dengan budaya suku Madura nan biasa menyelipkan senjata tajam ke mana-mana dan dianggap biasa di tanah kelahirannya.

Bagi suku Dayak, senjata tajam bukan buat menciderai orang. Bila hal ini terjadi, pelakunya harus dikenai hukum adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulangkali, masalahnya berubah menjadi masalah adat sebab dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga simbol adat "mangkok merah" (Dayak Kenayan) atau "bungai jarau" (Dayak Iban) akan segera berlaku. Dan itulah nan terjadi di cerita perang antar suku milik Suku Dayak dan Madura.



2. Penyebab Perang Antar Suku - Konduite nan Tidak Menyenangkan

Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar ialah tabu sebab menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit. Bahkan, dapat meninggal. Sementara orang Madura seringkali terlibat pencurian dengan korbannya dari suku Dayak. Pencurian nan dilakukan inilah nan menjadi pemicu pecahnya perang antar Suku Dayak dan Madura.



3. Penyebab Perang Antar Suku - Pinjam Meminjam Tanah

Lagi-lagi disparitas menjadi penyebab perang antar suku. Kali ini juga masih berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan. Adat suku Dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah orang Dayak. Namun, persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah nan telah menggarap selama ini.

Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) nan harus dibalas dengan kekerasan. Perang antar Suku Dayak dan Madura pun tak bisa lagi dihindarkan.



4. Penyebab Perang Antar Suku - Ikrar Perdamaian nan Dilanggar

Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah nan memicu perang antar suku tersebut.