Upacara Adat dan Tradisi di Suku Dani

Upacara Adat dan Tradisi di Suku Dani

Pernahkah ANda mendengar tentang suku Dani nan ada di Indonesia? Indonesia merupakan negara nan memiliki berbagai macam suku, adat, bahasa dan keseniannya. Letak atau loka suku itu menyebar dari Sabang hingga Merauke. Meskipun di Indonesia terdapat banyak suku tetapi masyarakatnya dapat hayati berdampingan dengan karakteristik khas mereka.

Ciri khas itu terlihat dari tradisi , kesenian dan budaya nan mereka miliki. Hal itu merupakan salah satu nan bisa menarik minat wisatawan asing buat datang ke Indonesia selain estetika nan dimiliki negara Indonesia. Estetika itu seperti nan ada di negara lain akan tetapi sebab Indonesia merupakan negara kepulauan, disinilah banyak estetika dari pulau tersebut. Estetika pulau–pulau itu sangat memikat semua orang nan melihatnya, mulai dari laut, pantai, gunung, ladang atau hutannya, dan masih banyak kekayaan alam nan ada.

Indonesia memiliki banyak obyek wisata buat bisa dikunjungi dan dinikmati. Selain itu juga terdapat makanan khasnya nan dibumbui dengan berbagai macam rempah–rempah. Makanan itu tidaklah dapat ditiru orang asing sebab mereka membuatnya dengan karakteristik khas dan kebudayaannya.



Suku Dani di Papua

Suku Dani ialah suku nan mendiami satu wilayah di Lembah Baliem di Kota Wamena kepulauan Papua. Sebagian besar masyarakat suku ini memeluk agama Kristen. Agama Kristen masuk ke wilayah loka tinggal mereka sekitar tahun 1935. Saat itu, misionaris Eropa datang ke lembah Baliem bersamaan dengan pihak pemerintah Belanda nan saat itu datang dan sempat melakukan pambangunan di Wamena.

Suku nan berdiam diri diantara gunung-gunung tinggi dan sebagian puncak salju ini memiliki wilayah loka tinggal nan luas. Jenis tanah dilembah itu yaitu kapur dan granit nan memiliki perpaduan antara tanah berlumpur nan mengendap dengan tanah liat dan lempung. Hal itu juga dipengaruhi oleh iklim nan terjadi diwilayah tersebut yaitu iklim tropis basah. Dan kelembapan tanahnya hingga diatas 80% dengan hembusan angin paling kencang mencapai 14 knot per tahun.

Pakaian nan mereka gunakan masihlah tetap seperti dulu yaitu koteka (penutup penis) nan terbuat dari kunden kuning dan sali nan dikenakan para wanita nan terbuat dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai (gubuk nan beratapkan jerami/ilalang), meskipun saat ini perkembangan teknologi dan desain baju sudah amat pesat. Hal itu disebabkan sebab belum adanya sentuhan teknologi di zaman modern ini di tengah masyarakat mereka. Mereka belum pernah mengenal model pakaian ataupun baju nan sudah ada pada saat ini.

Dan menggunakan aksesori nan inheren pada tubuh mereka luar biasa otentik. Mahkota atau topi terbuat dari anyaman kayu nan dihiasi dengan bulu burung sebut saja Kasuari juga Cendrawasih. Mikgadle, ialah sebuah kalung nan bentuknya seperti dasi nan dibuat dari cangkang kerang menjadi tanda seorang pria nan sangat diberi penghormatan atau dihormati. Ada juga gelang nan bahannya ialah terbuat dari bulu hewan, bahkan ekor anjing, dan cakar dari burung Kasuari.



Suku Dani ialah Suku Para Petani dan Penyanyi

Meski begitu, suku nan tinggal di lembah Baliem selama berabad–abad ini merupakan petani nan terampil dan telah menggunakan alat atau perkakas. Alat atau perkakas tersebut pada awal ditemukannya diketahui telah mengenal teknologi dalam menggunakan kapak nan terbuat dari batu, pisau berbahan dasar tulang binatang, serta bambu dan tombak nan terbuat dari kayu galian nan terkenal sangat kuat dan berat.

Alat itu tak hanya digunakan buat memasak atau keperluan rumah lainnya. Akan tetapi digunakan buat bercocok tanam atau meramu makanan dan berburu hewan buat dimakan. Peralatan–peralatan tersebut merupakan peninggalan dari zaman batu.

Suku ini merupakan salah satu suku nan sangat getol sekali buat bernyanyi. Nyanyian–nyanyian itu bersifat jiwa kepahlawanan atau kepahlawanan. Dikatakan demikian, sebab kisah sedih nan ada pada nyanyian itu telah menjadi cambuk atau penyemangat saat mereka bekerja. Selain itu, nyanyian telah dijadikan tanda atau isyarat buat teman atau lawannya ketika berburu dihutan. Alat musik nan biasa mereka gunakan yaitu alat musik pikon.

Alat musik pikon yakni salah satu alat musik nan digunakan buat mengiringi saat bernyanyi dan cara menggunakannya dengan diselipkannya diantara lubang hidung dan telinga.Karena itulah anggota masyarakat suku ini sangat pandai bernyanyi tak hanya buat penyemangat tetapi juga buat alat komunikasi dengan kawannya nan jauh atau nan dicari dihutan.



Upacara Adat dan Tradisi di Suku Dani

Suku nan juga disebut dengan suku Parim sangatlah menghormati nenek moyang mereka dan penghormatan itu ditunjukkan dengan menggelar upacara pesta babi. Selain digunakan buat upacara pesta babi, babi biasa digunakan buat dimakan dagingnya, darahnya dipakai dalam upacara magis, tulang-tulang dan ekornya buat hiasan, tulang rusuknya digunakan buat pisau pengupas ubi, sebagai alat pertukaran/barter dan menciptakan perdamaian bila ada perselisihan.

Setiap suku niscaya memiliki sistem kepercayaan, termasuk suku nan juga memilikinya nan bernama Atou. Sistem kepercayaan ini diturunkan oleh nenek moyang mereka melalui anak laki–lakinya. Kekuatan sakti nan dimiliki nenek moyang mereka dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, membuat tanah menjadi subur, dan bisa menjaga ladang. Hal tersebut dilambangkan dengan sebutan Kaneka nan ditujukan buat nenek moyang mereka. Selain itu ada juga sebuah upacara nan bertujuan buat kesejahteraan keluarganya dan dijadikan awalan dan akhiran sebuah peperangan, nan diberi nama Kaneka Hagasir.

Suku ini melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya. Berbagai barang nan dijual antara lain batu nan digunakan buat membuat kapak, serta hasil hutan sebut saja serat, kayu, kulit binatang, serta bulu burung. Proses barter bagi masyarakat suku inimerupakan hal nan wajar. Barter merupakan proses jual beli tanpa menggunakan uang tetapi menggunakan barang nan senilai. Barang tersebut harus sinkron nan diinginkan oleh kedua belah pihak nan bisa diartikan sama–sama suka.

Meskipun mereka pandai dalam berladang dan berternak babi, tetapi mereka kurang memiliki pencerahan nan tinggi buat sekolah atau mengemban ilmu di pendidikan formal. Penyebab dari kurangnya pencerahan buat mengenyam pendidikan formal yaitu kurangnya fasilitas pendidikan di wilayah suku tersebut. Selain itu guru atau pengajarnya masih terbatas dan fasilitas seperti loka dan buku–bukunya kurang memadai.

Masyarakat dari suku ini hingga sekarang tak meninggalkan gotong royong pada setiap warga masyarakat, contohnya dalam membangun rumah. Jika dilihat dari cara membangun loka tinggal itu merupakan kesenian nan dimilikinya. Pada loka tinggal (silimo) nan mereka untuk terdapat beberapa bagian nan disebut Honai, Ebeai, dan Wamai. Selain itu mereka juga pandai dalam membuat anyaman nan digunakan buat epilog kepala berbentuk kantong jaring dan sebagai pengikat kapak.

Suku nan memiliki bukit Sumpala ini masih belum dapat meninggalkan tradisi perang mereka. Peperangan itu dipicu oleh tiga hal yakni wanita, babi dan tanah. Siapapun mereka lawannya meskipun tetangga samping rumah. Dan peperangan itu memiliki tarian adat yaitu tarian perang nan gerakannya menyerupai perang.

Suku nan berada di Kampung Obia, mengajarkan kesederhanaannya melalui bangunan buat ditinggali nan unik, yaitu Honai. Mereka sangat memiliki jiwa persahabatan dan berani buat tampil memamerkan model baju tradisionalnya, yaitu jenis koteka buat pria.

Para lelaki dari suku ini memamerkan kekuatan dan kehebatan mereka dengan melakukan tari Perang. Wanitanya memberitahu mengenai bakar batu, sebuah cara tradisonal dalam memasak nan diklaim sebagai nan paling sehat. Di Wamena terdapat juga mumi Papua serta Gua Kontilola nan di dalamnya tersimpan lukisan 'misterius'. Itu merupakan beberapa kesenian dari suku di Papua nan bisa dinikmati oleh semua orang.