Tradisi Purba Suku Asmat

Tradisi Purba Suku Asmat

Laiknya suku lain dibelahan nusantara, dalam suku Asmat juga sering terjadi pertentangan, antara satu suku dengan suku nan lainnya. Peperangan seringkali terjadi jika menyangkut hal-hal nan dianggap menghina atau meruntuhkan prestise suku-suku tersebut. Yang paling mengerikan ialah ketika diantara suku Asmat membunuh musuh-musuhnya. Biasanya mereka akan membawa musuh nan telah dibunuhnya tersebut buat diarak di kampung. Lalu mayat tersebut dimakan secara bersama-sama. Otak si mayat akan dibungkus daun sago dipanggang dan dimakan.

Di perkampungan Asmat, biasanya sekitar 100 sampai 1000 orang tinggal disebuah kampung. Terdapat rumah bujang nan sering digunakan buat seremoni upacara adat dan keagamaan. Ada juga rumah keluarga nan digunakan buat loka berlindung para keluarga suku nan ditempati oleh banyak orang. Rumah keluarga tersebut biasanya dihuni oleh 2 sampai 5 keluarga, didalamnya terdiri dari kamar mandi dan dapur.



Adat Istiadat

Begitu sulit buat mencapai suku Asmat. Jaraknya dapat mencapai 70 km dari kecamatan nan masih dapat dijangkau kendaraan roda dua atau roda empat. Suku Asmat nan hayati di wilayah pedalaman biasanya mencari makan dari berbagai penganan hutan seperti umbi-umbian atau buah. Untuk mencapai ke perkampungan, paling tak diperlukan waktu 1-2 hari perjalanan dengan berjalan kaki.

Mayoritas suku Asmat memiliki bentuk tubuh nan tegap, berhidung mancung, dan berkulit gelap. Selain di Papua, suku Asmat juga banyak terdapat di New Zealand dan Papua Nugini. Dalam menjalankan kehidupan sosialnya, suku Asmat memiliki dua tipikal pemerintahan: yakni jabatan kepemimpinan nan ditentukan oleh pemerintah secara administratif dan kepala adat/ suku nan ditentukan berdasarkan marga tertua atau bekas pahlawan perang.

Sebelum para misionaris datang, suku Asmat masih memeluk ajaran nenek moyang yakni animisme nan percaya pada kekuatan gaib. Namun, sekarang suku Asmat sudah banyak nan memeluk agama sinkron dengan konstitusi negara, yakni Kristen, Katholik, dan agama Islam.

Dalam mempertahakan hidupnya, suku Asmat banyak nan bercocok tanam berbagai jenis tanaman seperti wortel, jeruk, jagung, matoa, dan beternak ayam hutan atau babi. Yang kesemuanya merupakan produk budaya suku Asmat di Papua.



Lika-liku Suku Asmat

Suku Asmat memiliki karakteristik fisik nan serupa dengan suku orisinil di Selandia Baru dan Papua Nugini, yakni suku nan berasal dari rumpun Polonesia. Ciri-ciri fisik tersebut itu di antaranya ialah rambut hitam, kulit gelap, kelopak mata nan bulat, hidung nan mancung, dan perawakan nan tegap.

Sama seperti kebanyakan suku adat nan ada di Indonesia, suku Asmat juga menjalani kehidupan sehari-hari mereka dengan dua kepemimpinan, yakni kepemimpinan formal pemerintah dan kepemimpinan adat nan dilakukan oleh kepala suku di masyarakat tersebut. kepala adat atau kepala suku tersebut memegang peranan krusial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Asmat.

Sementara itu, dalam melaksanakan kewajiban dan tugas sebagai rakyat Indonesia, kepala suku tersebut bekerja sama dengan pemerintah agar berbagai program nan dicanangkan oleh pemerintah dapat dijalankan tanpa melanggar anggaran nan digunakan oleh kepala suku adat tersebut.

Berbeda dengan jenis-jenis suku di Indonesia nan memberikan jabatan kepala suku secara turun-temurun, masyarakat suku Asmat ini dipilih berdasarkan usia suku nan paling tua, dengan marga nan dianggap paling tua dan dapat juga dianggap orang atau marga nan paling berjasa dalam kehidupan suku tersebut dengan memenangkan peperangan dengan suku lain.



Tradisi Purba Suku Asmat

Seperti nan sebelumnya telah disebutkan di atas, masyarakat suku Asmat ini pada awalnya hanya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun, seiring berjalannya waktu muncullah berbagai penyebaran agama apalagi setelah masuknya para misionaris nan menyebarkan agama Kristen di wilayah tersebut.

Akan tetapi, tradisi ukiran kayu nan disematkan oleh para leluhur mereka tak hilang begitu saja. Bahkan kegiatan mengukir sepertinya telah menjadi sesuatu hal nan wajib dilakukan oleh warga suku Asmat. Mereka menggunakan ukiran kayu itu buat menopang nilai religiusitas nan dihadirkan di wilayah kebudayaan mereka.

Meskipun pekerjaan sehari-hari mereka bercocok tanam dan berladang serta menghasilkan berbagai macam pangan nan dapat dikonsumsi, namun kegiatan mengukir kayu tak ditinggalkan begitu saja buat memenuhi kebutuhan rohani mereka. Selain tradisi mengukir kayu, tradisi nan masih digunakan oleh masyarakat suku Asmat ialah berperang.

Perang antarsuku dijadikan sesuatu nan biasa dalam kehidupan mereka, seperti halnya suku-suku lain nan tinggal di Papua. Tradisi ini bahkan tak dianggap sebagai tradisi purba nan mengerikan sebab musuh nan sukses dibunuh akan dibawa ke kampung dan dibagikan ke seluruh isi kampung buat kemudian dijadikan santapan. Namun, sekarang ini acara santap hidangan dari daging musuh sudah sporadis dilakukan.



Rumah Adat Suku Asmat

Rumah adat tak akan dapat dijauhkan dari suku adat mana pun, termasuk dari budaya suku Asmat nan masih memiliki kepercayaan dan tradisi purba nan sulit dihilangkan. Rumah adat tentu memiliki fungsi buat loka penampungan kelompok masyarakat dan juga berbagai kegiatan ritual nan berhubungan dengan kelompok adatnya. Setiap rumah adat tentu memiliki karakteristik khas eksklusif nan disesuaikan dengan kehidupan dan filosofi masyarakat nan tinggal di dalamnya.

Suku Asmat memiliki rumah adat nan kaya akan filosofi dan nilai-nilai kesopanan sehingga tak ada keinginan dari mereka buat ikut campur dalam urusan di luar suku mereka. Pembuatan rumah adat masih dilakukan oleh kelompok adat di sukunya dengan kepercayaan bahwa pembuatan rumah adat tersebut akan dilindungi oleh leluhur mereka.

Rumah adat suku Asmat terbagi menjadi dua macam, yakni rumah Jew dan rumah Tsyem. Rumah Jew merupakan rumah adat nan dibangun secara berkelompok oleh masyarakat suku tersebut demi kepentingan bersama saat melakukan kegiatan tradisional nan sinkron dengan hukum adat. Berbagai kegiatan nan dilakukan di rumah ini antara lain ialah kedap adat, kegiatan membuat kerajinan tangan tradisional, membuat ukiran kayu, dan loka tinggal bagi para lelaki nan belum menikah. Oleh sebab itulah maka rumah Jew ini sering disebut sebagai rumah bujang oleh masyarakat suku Asmat.

Jenis rumah nan kedua ialah rumah Tsyem. Rumah ini ialah rumah nan ditinggali oleh semua anggota keluarga dengan jumlah kepala keluarga dua sampai tiga orang. Rumah adat Tsyem diletakkan di sekeliling rumah adat Jew dengan ukuran nan lebih kecil dibandingkan rumah Jew. Kedua rumah adat tersebut dibangun secara bersama-sama, tanpa campur tangan suku lain, dan dibuat dari bahan-bahan atau materi bangunan nan masih tradisional.