Rumah tradisional Bajo

Rumah tradisional Bajo

Suku Bajo terletak di Kepulauan Tukang Besi (dulu) nan sekarang berubah nama menjadi Wakatobi, di Sulawesi Tenggara, suatu wilayah nan sangat terkenal dengan estetika alam bawah lautnya. Wakatobi nan menjadi wilayah atau loka berkoloninya suku bahari Bajo merupakan kependekan dari nama pulau-pulau besar, yaitu: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomea, Binongko (Wakatobi).

Suku Bajo betah menetap tinggal di pula Wakatobi, di atas perairannya. Suku ini, belakangan semakin intensif berekspansi ke wilyah nusantara lainnya. Mereka juga semakin banyak terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Johor. Tak hanya di dua loka tersebut, suku tersebut juga semakin banyak terdapat di wilayah lain di berbagai wilayah kepulauan nusantara. Dan mereka membangun komunitasnya sendiri.



Sejarah Suku Bajo

Konon, nenek moyang Suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Alkisah, dahulu kala seorang puteri dari Kerajaan Johor hilang entah kemana. Maka Sang Raja nan bukan main kelimpungan mencarinya menitahkan kepada segenap warganya buat mencari keberadaan Sang Puteri. Tersebarlah orang-orang Johor tersebut, bukan hanya ke seantero negeri di Johor, tapi juga sampai ke daerah Sulawesi.

Menurut sejumlah versi menyebutkan bahwa sang puteri memilih buat menetap di Sulawesi, dan sejalan dengan itu orang-orang nan disuruh paduka raja pun lebih memilih buat menetap di Sulawesi dan tidak kembali lagi ke Johor. Sang puteri nan pada akhirnya menikah dengan seorang raja Bugis tersohor kemudian menempatkan masyarakatnya dari Johor di sebuah kampung bernama Bajo. Maka, sampai sekarang tersebutlah Suku Bajo itu.

Laut, bagi Suku Bajo menjadi andalan satu-satunya. Dari mulai hidup, bertempat tinggal, sampai mencari kehidupan dilakukannya dengan banyak berinteraksi dengan laut. Mereka pun mendapatkan julukan sea nomads, nan artinya hayati di bahari dan tak menetap di suatu tempat. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya Suku Bajo banyak nan menetap di darat meski mungkin dipaksa pemerintah. Meski demikian, loka tinggal mereka di darat pun tidak jauh-jauh dari laut.

Suku Bajo banyak dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dari adanya saling hubungan tersebut menyebabkan suku ini banyak nan tersebar di berbagai daerah di tanah air. Di Jawa Timur misalnya, Suku Bajo banyak tinggal di Kepulauan Kangean, Sumenep, Madura.

Masyarakat Bajo tinggal bersama dengan suku setempat: Bugis dan Madura. Di Bali, Suku Bajo terdapat di Singaraja dan Denpasar. Di Lombok, mereka banyak dijumpai di Labuhan Haji, Lombok Timur. Dan di Sumbawa mereka banyak terdapat di Pulau Moyo.



Kepercayaan

Agama islam menjadi pilihan satu-satunya bagi orang Bajo. Hal ini dikarenakan, agama islam telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Walaupun sudah ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara penduduk beragama Kristen, mereka tetap mempertahankan identitasnya sebagai umat islam nan selalu menjalankan ibadah sholat lima waktu. Hal ini didasarkan pada keteguhan mereka menjaga adat istiadat dari nenek moyangnya agar tak punah termakan zaman.

Meskipun orang Bajo memeluk agama Islam, mereka masih menjalani rutinitas sehari-hari dalam dimensi leluhur. Hal ini dibuktikan dengan budaya nan masih mendominasi kehidupan mereka, yaitu mantra-mantra, kepercayaan akan roh jahat, dan sesajen.

Bukan hanya Norma itu, melainkan juga dukun mempunyai peran krusial dalam kehidupan orang Bajo. Dukun mempunyai berberapa peran, yaitu menyembuhkan penyakit, memberikan berbagai ilmu hitam, dan menolak bala. Orang Bajo juga sangat mempercayai bahwa ada setan-setan di lingkungan sekitarnya.setan-setan tersebut ada di setiap rumah masyarakat Bajo dan biasanya berdiam di area dapur.

Dalam adat Bajo ada majemuk embargo nan harus mereka patuhi. Misalnya embargo meminta kepada tetangga, seperti air, garam, minyak tanah atau apapun setelah magrib. Masyarakat Bajo juga percaya dengan melakukan upacara tebus jiwa (melempar sesajen ke bahari nan berupa ayam), kehidupan pasangan tersebut telah dipindahkan ke bintang sesaji. Upacara ini biasanya dilakukan oleh seorang pemuda ingin menikahi perempuan nan status sosialnya lebih tinggi.



Rumah tradisional Bajo

Rumah tradisional Bajo ialah rumah anjung nan berada di atas laut.

Pada awalnya, rumah tersebut didirikan di pesisir pantai sebagai loka persinggahan orang Bajo setelah mencari karang di laut. Akan tetapi, masyarakat Bajo akhirnya menjadikan loka tersebut sebagai loka tinggalnya sebab dirasa lebih mudah dalam mencari batu karang. Namun, dewasa ini sudah tak tampak lagi keberadaan rumah anjung tersebut.

Sejak tahun 1975, sebagian besar orang Bajo menimbun dasar rumahnya menggunakan batu karang. Hal ini mereka lakukan buat mempertahankan tiang rumah dari agresi tiram dam lapuk dampak terendam air asin secara terus menerus. Hal itulah nan membuat orang Bajo rajin mengumpulkan batu karang daru bahari dan menggali pasir lumpur (tanah lumpur) pada batas air surut buat ditimbunkan pasa tapak rumah.

Apabila timbunan tersebut sudah cukup tinggi, mereka berusaha mengangkat tiang-tiang rumahnya. Hal tersebut dilakukan secara bertahap. Rumah tersebut dinyatakan telah sukses ditimbun secara sempurna, jika tapak pekarangan rumah sejajar dengan rumah di daratan bibir pantai.

Sebelum lokasi ini ditimbun, rumah warga Bajo awalnya berdiri dan berada di atas air nan menjorok sekitar 50-150 m ke laut. Pada tiap-tiap tapak rumah orang Bajo nan sudah meninggi tersebut, dibuat susunan batu karang. Hal ini bertujuan sebagai pelindung ombang supaya tak dapat menembusnya, tak dilekati tiram, dan tak mudah lapuk.

Kemudian dibuat semacam lorong air nan dapat dilalui bahtera mendekati rumah. Sejak itulah rumah bentuk anjung nan berada di atas bahari mulai ditinggalkan. Hal ini didasarkan dengan semakin majunya perkembangan dan pemikiran nan membuat bangunan dan pola hayati orang Bajo pun berubah. Bahkan bangunan nan dibuat orang Bajo kini telah terkontaminasi olah bentuk dan motif moden sinkron arah kemajuan zaman.

Orang Bajo juga mengalami banyak perubahan, selain dari bangunannya. Perubahan nan terjadi di lingkungan orang Bajo terjadi dalam berbagai segi, mulai dari segi sosiologi, budaya, sampai dengan komunikasi. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk pergaulan dan prinsip kebudayaan Bajo nan semakin hari semakin pudar.

Suku Bajo terkenal dengan sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Tidak heran jika kerukunan selalu terpelihara dalam kehidupan orang Bajo.

Rasa persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Bajo sangat kuat. Masyarakat Bajo mampu tetap bertahan, baik dalam bidang sosial, budaya maupun ekonomi. Hal ini didasarkan dengan persatuan dan kesatuan nan dibangun di antara mereka.

Masyarakat Bajo juga terkenal dengan rasa kebersamaannya. Hal ini terlihat dari kolaborasi dalam hal mata pencaharian. Contohnya, ketika satu keluarga belum mendapatkan bahtera buat menangkap ikan, masyarakat lainnya akan menyumbangkan bahtera dengan Cuma-Cuma. Sikap seperti ini lahir secara spontanitas dan telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.



Keunikan Suku Bajo

Suku Bajo memiliki banyak keunikannya tersendiri, diantara salah satunya yakni menjadikan bahtera atau sampan sebagai loka hayati dan alat transportasi utama. Lebih dari itu, sampannya juga digunakan sebagai loka buat mencari nafkah dengan menjual berbagai hasil tangkapan bahari sebagai mata pencaharian primer mereka.

Selain sampan sebagai loka berkegiatan ekonomi, kerajinan kain tenun tradisional juga menjadi kegiatan tidak terpisahkan dari kaum ibu di Wakatobi tersebut. Kain-kain seperti ledja dan kasopa ditenun dengan alat-alat tradisional dengan motif nan khas. Suku Bajo lebih percaya kepada kearifan lokal ketimbang berbagai instrumen modernitas nan masif berkembang di luar kebudayaan bahari suku di Wakatobi tersebut.

Demikianlah artikel mengenai Suku Bajo. Mulai dari sejarah, kepercayaan, rumah tradisional, sampai dengan keunikan nan ada di Suku Bajo. Semoga bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca.