Mata Pencaharian dan Sistem Pemerintahan Masyarakat Baduy

Mata Pencaharian dan Sistem Pemerintahan Masyarakat Baduy

Suku Baduy ialah suku nan berdiam di daerah Pegunungan Keundeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, propinsi Banten.

Masyarakat Suku Baduy masih memegang tradisi dan adat nan sangat kuat. Sebenarnya, masyarakat tersebut lebih bahagia menyebut dirinya sebagai "urang Kanekes" nan berarti “orang Kanekes”. Nama Badui pertama kali diberikan oleh seorang peneliti Belanda. Peneliti itu memberi nama Baduy, karena orang-orang Kanekes dianggap sama seperti orang Badawi atau Bedouin Arab nan hidupnya berpindah-pindah (nomaden). Nama Baduy dapat juga diambil dari sungai Badui dan Gunung Badui nan berada di daerah utara Kanekes.

Salah satu hal nan menjadi karakteristik khas dari suku tersebut ialah keengganan masyarakatnya buat mencampuri atau dicampuri urusan orang luar Baduy. Mereka beranggapan bahwa segala hal nan berada di luar masyarakat Kanekes lebih bersifat duniawi ketimbang ukhrawi sehingga nilai-nilai primordial nan ditanamkan di daerah mereka sejak kecil dianggap akan terganggu apabila mereka ikut campur dalam urusan duniawi seperti nan dilakukan oleh masyarakat modern.

Dengan kekhasan tersebut, masyarakat Baduy memiliki pengaruh nan sangat besar terhadap nilai budaya masyarakat Indonesia sehingga tak heran jika banyak kaum akademis nan berusaha membuat berbagai makalah Suku Baduy buat meneliti lebih jelas bagaimana corak kehidupan masyarakat nan terkenal tertutup tersebut.

Sementara itu, dalam hal politik dan sosial, masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama nan berbasis tradisional. Mereka membagi wilayahnya menjadi tiga bagian sehingga secara pemerintahan, sosial, dan budaya pun ketiganya memiliki disparitas masing-masing.



Tiga Bagian Suku Baduy

Seperti nan sudah dijelaskan di atas, masyarakat baduy memiliki tiga bagian wilayah nan merupakan tanda kekhasan mereka. Pembagian ini dibuat berdasarkan anggaran dan adat istiadat nan berlaku di daerah Kanekes.Tiga bagian suku Baduy tersebut ialah Bduy Dalam atau biasa juga disebut Kanekes Dalam, Baduy luar nan dapat juga disebut Kanekes Luar, dan Kanekes Dangka. Tiga bagian tersebut dibedakan sebab alasan sebagai berikut.

  1. Baduy Dalam


Disebut juga kelompok Tangtu. Kelompok ini benar-benar ketat menjalankan tradisi dan adat. Kampung nan termasuk ke dalam Badui Dalam ialah kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Karakteristik khas baju nan selalu dikenakan oleh masyarakat Baduy Dalam berupa ikat kepala berwarna putih, dan pakaian berwarna biru tua atau putih. Penggunaan baju tersebut bukan tak memiliki makna. Sandang putih nan dikenakan masyarakat baduy dalam merupakan bukti bahwa masyarakat mereka masih memegang teguh prinsip tradisional nan diturunkan oleh para leluhur.

Prinsip nan dimaksud tersebut ialah meliputi segala hal nan bernilai tradisional. Masyarakat Baduy dalam tak boleh menggunakan segala sesuatu nan bernilai modern buat kebutuhan apa pun, seperti barang elektronik, barang hasil industri, dan semua nan berbaur dengan zat kimia. Selain itu, masyarakat Baduy dalam juga dilarang menggunakan baju nan sudah dijahit secara modern. Sandang nan dikenakan oleh mereka haruslah apa nan berasal dari alam, dengan cara nan tradisional atau alami, yakni dengan menjahit sendiri tanpa menggunakan mesin jahit.

Keteguhan terhadap nilai tradisional seperti inilah nan tak dimiliki oleh masyarakat suku Baduy lainnya sehingga disparitas fundamental ketiga bagian suku Baduy tersebut bisa dilihat dari sistem perekonomian, pemerintahan, sosial, dan budaya nan digunakan oleh ketiganya.

  1. Baduy Luar


Disebut juga dengan kelompok Panamping. Karakteristik khas masyarakatnya, yaitu selalu memakai ikat kepala nan berwarna hitam, sama dengan rona pakaiannya. Desa nan termasuk ke dalam wilayah Badui Luar ialah desa Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cikadu, dan Cisagu.

Masyarakat tersebut menggunakan baju berwarna hitam sebab dianggap telah tercemar dari segi budaya, berbeda dengan masyarakat Baduy dalam nan serba putih. Oleh karena itulah mereka dikeluarkan dari Baduy dalam sebab telah melanggar berbagai anggaran karuhun nan melarang mereka buat berhubungan dengan global dan Norma modern.

  1. Baduy atau Kanekes Dangka


Berbeda dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar, masyarakat Baduy Dangka tak tinggal di dalam daerah Kanekes. Mereka tinggal di luar wilayah tersebut. Desa nan termasuk dalam suku Baduy Dangka ada dua desa, yaitu Desa Cibengkung atau disebut juga Padawaras, dan Desa Cihandam (disebut juga Desa Sirahdayeuh). Selain telah keluar secara geografis, mereka juga dianggap telah keluar secara budaya sebab sudah tak lagi memegang prinsip budaya leluhur urang Kanekes.



Kepercayaan Masyarakat Baduy

Awalnya, masyarakat Suku Baduy menganut paham animisme. Mereka menyembah nenek moyang mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan mereka dipengaruhi oleh agama Islam, Hindu, dan Budha. Meskipun demikian, mereka masih tetap menjalankan adat dan tradisi nan telah mereka lakukan sejak jaman nenek moyang dahulu.

Arca Domas ialah sebuah objek krusial nan dianggap sakral bagi masyarakat Kanekes. Lokasi Arca Domas ini dirahasiakan. Setahun sekali, masyarakat setempat mengunjungi Arca Domas buat melakukan pemujaan. Yang diperbolehkan mengunjungi Arca Domas hanyalah orang-orang tertentu, seperti ketua adat tertinggi, beserta orang-orang kepercayaannya.

Di sekitar Arca Domas terdapat sebuah batu nan disebut Batu Lumping. Batu tersebut bisa menampung air. Jika pada saat pemujaan batu itu penuh dengan air, maka dipercaya bahwa hujan akan sering turun. Itu berarti panen di Desa Kanekes akan berhasil.

Begitu pula sebaliknya. Jika Batu Lumping ditemukan kosong atau hanya berisi sedikit air, atau airnya berwarna keruh pada saat pemujaan, maka alamat buruk. Hujan akan sporadis turun, dan panen kurang berhasil.



Mata Pencaharian dan Sistem Pemerintahan Masyarakat Baduy

Masyarakat Kanekes hayati dari bertani. Selain itu, hutan di daerah Kanekes juga sangat menghasilkan. Berbagai macam buah tumbuh di hutan mereka. Karena itu, mereka hayati dari berjualan hasil bumi dan buah-buahan nan mereka peroleh dari hutan.

Hingga saat ini, masyarakat Kanekes masih melakukan upacara seba. Yaitu upacara tanda patuh pada penguasa. Upacara seba ini dilakukan setahun sekali. Dalam upacara itu, masyarakat memberikan hasil bumi mereka kepada Gubernur Banten, nan dianggap sebagai penguasa setempat.

Selain mata pencaharian, hal nan perlu diketahui saat hendak membuat makalah Suku Baduy ialah mengetahui sistem pemerintahan nan berlaku di dalam masyarakat tersebut.

Sesuai dengan apa nan sudah dipaparkan di atas, masyarakat Baduy sangat pantang buat mengubah segala sesuatu nan sudah ada secara kodrati dan alam. Hal tersebut juga berlaku buat sistem pemerintahan nan dipergunakan buat mengatur segala hal nan berkaitan dengan kondisi masyarakat Kanekes.

Dengan dua sistem pemerintahan, yakni sistem adat istiadat dan sistem pemerintahan nasional, masyarakat Kanekes dipimpin oleh kepala desa nan disebut dengan jaro pamarentah. Namun, secara adat istiadat, pimpinan tertintggi nan dianggap mampu mengatur masyarakat Kanekes dengan baik disebut dengan sebutan pu'un. Jabatan tersebut ditempati oleh orang nan benar-benar dipercaya oleh masyarakat Kanekes sehingga tak ada jangka waktu nan ditentukan buat mengetahui seberapa lama seorang pu'un akan memimpin masyarakat tersebut.

Tulisan mengenai Suku Baduy ini bisa digunakan buat menyusun sebuah makalah Suku Baduy . Namun, buat menghasilkan makalah dengan kualitas nan baik, sebaiknya Anda mencari tambahan bahan dengan cara mendatangi perkampungan Suku Baduy secara langsung agar datanya lebih akurat.