Prediksi Masalah Yang Muncul

Prediksi Masalah Yang Muncul

Problematika di global pendidikan nampaknya selalu menjadi bahasan nan tidak akan pernah habis. Mulai dari kondisi sekolah, peserta didik, dan pendidik sendiri. Hal ini tentu mengundang berbagai kebijakan nan harus sinkron dengan asa masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam pendidikan saat ini sangat dibutuhkan.

Pemerintah pun nampak serius membenahi sistem pada global pendidikan nan dapat dilihat dari gelontoran aturan pendidikan nan selalu ditambah. Hal ini pun langsung dirasakan warga pendidikan.

Salah satu contohnya ialah dilaksankannya kebijakan pemerintah di global pendidikan dalam bentuk Donasi Operasional Sekolah (BOS), donasi bagi siswa tidak mampu, pembangunan fisik gedung sekolah, hingga tunjangan sertifikasi bagi para guru, dan masih banyak lagi kebijakan pemerintah lainnya dalam global pendidikan.

Namun ada nan sporadis sekali terdengar terkait banyaknya anak-anak Indonesia nan mempunyai kecerdasan istimewa nan secara alamiah tidak dapat disamakan dengan anak-anak biasanya. Tentunya ini membawa problem tersendiri dalam global pendidikan.

Lantas seperti apakah kebijakan pemerintah dalam menangani anak-anak nan super cerdas ini sehingga keberadaannya mendapat loka nan sinkron demi keberlangsungan mereka sebagai aset negara. Maka dari itu diperlukan pendidikan khusus. Salah satunya dalam hal perekrutan dan angka baku pada tes IQ.

Beasiswa

Sebagaimana tertuang dalam undang-undang No 20 tahun 2003 nan membahas dan mengamanatkan Sistem Pendidikan Nasional tentang perlunya pendidikan spesifik peserta didik nan memiliki potensi dan kecerdasan istimewa. Tujuannya agar potensi mereka berkembang optimal. Upaya ini telah dilakukan pemerintah sejak 1974 dalam hal pemberian beasiswa bagi peserta didik SD, SMP, SMA, dan SMK nan notabene berprestasi tinggi namun miskin.

Akselerasi

Mengenai pelayanan dalam hal akselerasi belajar atau nan biasa dikenal dengan istilah percepatan sudah dijajaki sejak tahun 1998. Pada waktu itu, uji coba pelayanan percepatan pendidikan anak dengan potensi kecerdasan istimewa dilakukan di dua sekolah partikelir di Jakarta dan satu sekolah partikelir di Jawa Barat.

Hal ini dilaksanakan sinkron arahan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Sejalan dengan mengalirnya waktu, kebijakan ini terus saja disempurnakan terkait dengan permasalahan-permasalahan nan timbul kemudian.

Tes IQ

Pola percepatan pun semakin diperjelas mengingat tak semua anak seragam secara kemampuan. Maka dari aspek peserta didik, tes perekrutan program percepatan harus berdasarkan tiga komponen nan terdiri dari:

- Tes IQ,
- Kreativitas,
- Task commitment .

Terkait spesifik dengan masalah mengenai tes IQ, pemerintah menetapkan angka skala minimal menurut para psikolog yakni 130 di mana anak berada pada strata very superior .

Masalah berikutnya ialah masalah kurikulum dan tenaga pengajar nan tidak dapat disamakan dengan siswa kebanyakan. Hal ini pun menjadi pembahasan nan selalu menuntut penyempurnaan dari waktu ke waktu.

Namun apa pun kondisinya, pemerintah setidaknya selalu melakukan kebijakan-kebijakan demi generasi bangsa nan berkembang optimal sinkron dengan talenta dan kecerdasannya masing-masing.



Penerapan Sistem SKS di Sekolah Menengah?

Salah satu wacana kebijakan pemerintah dalam pendidikan ialah penerapan sistem SKS. di sekolah menengah pertama maupun atas mulai membahana. Wacana ini sudah pernah didengungkan sebelumnya di tahun 2005, dan diklaim sinkron dengan amanah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat 1 dan 2.

Sekilas, wacana SKS ini kelihatan inovatif, sebab dinilai mampu menambah kekayaan pengelolaan pembelajaran nan selama ini hanya menggunakan satu-satunya cara, yaitu sistem paket. Atau, seperti nan termaktub di Pedoman SKS Di Sekolah Menengah nan Badan Baku Nasional Pendidikan (BSNP), bahwa penerapan SKS ini dimungkinkan peserta didik bisa menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat sinkron dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

Sayangnya, niat buat menerapkan SKS tersebut terkesan kurang dikaji secara sistemik. Tidak melihat tingkat kompetensi guru nan ada selama ini secara umum, tak melihat bagaimana tipe-tipe orang tua terhadap pendidikan anaknya, tak melihat perkembangan psikologis siswa dan juga tak melihat sisi metode pembelajaran seperti apa nan sinkron dengan usia peserta didik. Sehingga, tampaknya teori, prosedur dan hakikat praktek transfer ilmu nan selama ini dipahami buat anak usia puber (13-18 tahun) mulai, terasa, tak diindahkan lagi.

Penulis menilai demikian, sebab di dalam juklak SKS nan akan diterapkan di sekolah menengah terdapat penekanan, bahwa peserta didik diminta menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran nan diikuti setiap semester dalam satuan pendidikan. Tentunya menjadi pertanyaan, sejauh mana kemampuan peserta didik dalam memilih jika ditinjau dari usia mereka? Bukankah mereka masih tergolong dalam kelompok nan kerap mengambil keputusan “gamang” dan suka imitasi? Meski mereka mengambil beban belajar didampingi oleh pembimbing akademik ( Academic Adviser ), cenderung ketika mereka memilih masih suka ikut-ikutan dengan teman.

Sehingga, hakikat belajar seperti nan dikatakan Cronbach dalam “Educational Pyshcology”, Learning is shown by a change in behavior as resulf of experiene, kurang mengena, nantinya, buat mereka. Alasannya, kebelum-matangan mereka dalam berpikir dan memilih dapat menyebabkan belajar tak membawa mereka kepada perubahan konduite nan aktual dan potensial. Karena sulit diterima, bahwa keaktualan dan kepotensialan dapat diraih oleh mereka nan kerap berpikir dan masih memilih dengan model ikut-ikutan.



Dalam Analisis Teknologi Pendidikan

Bagi penulis, pengusungan ide SKS terhadap sekolah menengah juga tak mengacu pada prinsip belajar seperti nan diperankan konsep Teknologi Pendidikan. Boleh dibilang, wacana SKS ini cenderung hanya menilai dari sisi bagaimana memanajemen anak didik agar dapat menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat. Bukan terlebih dahulu ditinjau dari segala lini dan sektor nan mampu menyukseskan pendidikan nan etis buat peserta didik.

Jika sistem SKS ini dianalisis dalam konsep Teknologi pendidikan, maka harus mengacu pada tiga komponen. Pertama , harus dipaparkan dahulu seperti apa dan bagaimana teori dan praktik sistem SKS nan bakal diterapkan; Kedua , harus dilihat dahulu sejuah mana desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian terhadap sistem SKS tersebut; Ketiga , bagaimana proses, sumber dan sistem buat belajar nan diterapkan dalam sistem SKS tersebut. Acuan ini tidak luput dari hakikat Teknologi Pendidikan sebagai suatu pendekatan nan sistematis dan kritis tentang pendidikan.

Sehingga bagi Teknologi Pendidikan nan seharusnya dilakukan adalah, melahirkan usaha spesifik nan terarah dan terencana terhadap program atau sistem nan sudah ada, bukan menambahi apa nan kurang. Atau seperti kata Banathy, bukan hanya “Doing more of the same” , ataupun “Doing it better of the same”, akan tetapi “Doing it differently” buat menjamin hasil nan diharapkan. (Miarso, 2009)



Prediksi Masalah Yang Muncul

Selain itu, jika sistem SKS ini diterapkan, dikhawatirkan sifat ‘suka-suka’ atau egoistis nan selama ini tumbuh dalam diri peserta didik nan berusia puber akan berperan dalam pemilihan beban pelajaran nan akan diambilnya. Apalagi sistem ini akan mengacu dibukanya mata pelajaran secara paralel. Tentunya, hal ini berbahaya. Karena peserta didik menjadi lebih leluasa dalam memilih guru nan disukainya. Maka akan muncul dan terjadi kelas nan banyak siswa dan sedikit siswanya.

Demikian halnya dari sisi orang tua. Munculnya sistem SKS ini akan membuat mereka makin hanyut dalam kebingungan. Selama ini saja mereka sudah dibuat pusing dan penuh ketakutan dengan formula pendidikan nan diterapkan di negeri ini – melalui baku nilai kelulusan UN--, apalagi jika difungsikan sistem SKS. Karena selama ini mereka kerap menyerahkan, hampir, secara total kepada sekolah beban belajar apa nan layak buat anaknya. Kini, mereka pun harus sibuk mencari tahu beban belajar apa nan tepat dan sinkron dengan kemampuan anaknya. Bukankah ini menyusahkan orang tua peserta didik?

Selain itu, dalam masalah ujian akhir. Di dalam juklak BSNP 2010 ditetapkan bahwa kelulusan peserta didik harus melalui beberapa jenjang. Salah satunya ialah UN. Jika sistem SKS jadi diterapkan, akan terjadi masalah baru lagi. Jika ada peserta didik nan menyelesaikan studinya 2,5 tahun, tentunya akan menjadi masalah bila UN masih dilakukan hanya satu tahun sekali. Artinya, jika ada siswa nan mampu menyelesaikan pendidikannya dalam 2,5 tahun maka ia harus menunggu satu semester lagi buat dapat mengikuti UN. Karena itu, jika sistem SKS ini jadi diterapkan, maka UN harus dilakukan 2 kali dalam setahun.

Maka penulis menilai, sistem SKS nan berorientasi bagaimana program belajar peserta didik agar dapat lebih cepat dan sinkron dengan kemampuan, bakat, dan minatnya cukup sulit dilakukan, jika tanpa benar-benar memikirkan prosedur dan proses nan tepat. Penulis khawatir, jika sistem SKS tetap dipaksa buat diterapkan di sekolah menengah, maka dapat mengesampingkan tiga dasar falsafah pendidikan: ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Inilah kajian sederhana seputar kebijakan pemerintah dalam pendidikan , baik nan bersifat positif dan wacana nan dapat menimbulkan indikasi negatif. Semoga bermanfaat.