Penjajahan Model Baru

Penjajahan Model Baru

Setelah selama 350 tahun berada dalam belenggu penjajahan , akhirnya rakyat Indonesia dapat membebaskan diri dari kaum penjajah. Tepatnya pada 17 Agustus 1945, dan ditandai dengan pembacaan proklamasi oleh Presiden Soekarno, Bangsa Indonesia menyatakan diri kepada global sebagai negara nan bebas. Tak ada lagi penjajahan nan membelenggu Bangsa Indonesia.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, benarkah Bangsa Indonesia tak akan lagi terbelenggu oleh penjajahan? Sukar buat menjawabnya. Karena hingga saat ini, Bangsa Indonesia seakan tengah menghadapi penjajahan baru dengan teknik nan baru pula. Ya, kini bangsa Indonesia tengah berada di bawah penjajahan kapitalisme dan Imperialisme.

Mohammad Hatta berkata, "Kapitalisme itu memajukan imperialisme. Bertambah besar kapitalisme, bertambah kuat pula sepak terjang imperialisme." Bagaimana imperialisme ini dapat dijelaskan hubungannya dengan kapitalisme? Lantas mengapa pula kedua istilah ini dianggap sebagai salah satu bentuk penjajahan terbaru? Sungguh pertanyaan-pertanyaan nan memerlukan analisis nan sangat panjang.

Namun, buat memudahkan analisis terebut, kita awali saja dari pernyataan Rosa Luxemburg, "Pada masa akumulasi primitif, yakni pada akhir abad pertengahan, ketika sejarah kapitalisme di Eropa mulai, dan menjelang abad ke-19, pemisahan petani-petani Inggris dan di Eropa Daratan merupakan senjata ampuh dalam transformasi skala besar saran produksi dan tenaga kerja ke dalam kapital. Kuasa modal juga menampilkan peran nan sama sekarang ini, bahkan dalam skala nan lebih penting, yakni lewat kebijakan kolonial modern."

Apa nan dimaksud akumulasi primitif? Akumulasi primitif ialah suatu bentuk usaha nan dilakukan oleh pengusaha (kaum borjuis) buat meningkatkan modal-modal nan mereka miliki. Kata "primitif" di sini sangat erat kaitannya dengan sejarah perkembangan perekonomian global dan pengelolaan kekayaan.

Zaman dahulu, buat meningkatkan akumulasi kapitalnya, kaum kapitalis memisahkan petani dengan huma nan mereka garap. Sejak abad pertengahan, usaha-usaha dalam bentuk rumah tangga sudah mulai berkembang. Semakin lama, usaha mereka semakin meningkat hingga memerlukan tanah buat membangun usaha nan lebih besar; entah buat pabrik, home industri , atau gudang-gudang.

Oleh sebab itu, kaum kapitalis membutuhkan huma nan lebih banyak. Dengan donasi penguasa (raja), mereka sukses membeli tanah-tanah nan digarap oleh kaum petani. Pada dasarnya, kegiatan nan dilakukan oleh kapitalis ini bukanlah pembelian tanah, tetapi "penjarahan tanah". Mengapa demikian? Karena, mereka membayar tanah petani dengan harga rendah.

Karena tanah mereka (petani) sudah dirampas oleh kaum borjuis, akhirnya mereka kehilangan pekerjaan dan kehilangan interaksi sosialnya dengan mandor (pengawas huma pertanian). Inilah bentuk pemisahan petani dari huma garapan seperti nan disebutkan oleh Luxemburg.



Penjajahan Terhadap Kaum Proletar

Dalam masyarakat feodal, orang-orang miskin masih dilindungi oleh poor law act atau undang-undang kaum miskin. Mereka masih mendapat donasi dari penguasa maupun pinjaman sinkron taraf kemiskinannya. Namun, setelah tanah-tanah mereka dirampas, mereka tak lagi berada dalam poor law act sebab interaksi sosial mereka dalam sistem kefeodalan sudah hilang.

Dengan lepasnya interaksi itu, maka status petani menjadi proletarius (proletar). Dia bukan budak, namun tak memiliki pekerjaan. Apa nan disebut Luxemburg dengan transformasi skala besar tak lain hilangnya interaksi dalam sistem feodal antara petani dan penguasa dan diganti dengan sistem lain nan lebih dominan (kapitalisme).

Sarana produksi (lahan tanah) dan tenaga kerja (petani nan menjadi proletar) kemudian menjadi modal dalam usaha akumulasi kaum borjuis. Singkat kata, akumulasi primitif tak lain ialah penjarahan huma pertanian dengan cara dibeli murah dan keberhasilan kaum kapitalis mengubah status petani menjadi proletar.

Semakin lama usaha modal itu semakin besar dan memerlukan wilayah buat pengembangan akumulasi. Kaum-kaum borjuis di Eropa tak bisa lagi mengandalkan wilayah negara mereka sebab semakin lama semakin sempit wilayah akumulasinya.

Maka, dilakukanlah penjelajahan dunia. Sejarah mencatat istilah Gold , Gosve l, dan Glory. Gold ialah simbol kekayaan, Gosvel ialah simbol keagungan (karena dalam setiap ekspedisi mereka selalu bersama rahib buat menyebarkan ajaran Gereja nan Agung), dan Glory dianggap sebagai kejayaan kaum kapitalis.

Dalam Kapitalisme; Perspektif Sosio-Historis , Mulyanto menjelakan kaitan kapitalisme dengan penjajahan ini. Sebagai contoh, di negeri Balanda banyak kaum borjuis nan melakukan ekspedisi itu hingga ke Asia Tenggara.

Berbagai perusahaan saling bertarung buat mendapatkan wilayah ekspedisi kapital. Untuk mengatasi pertarungan ini, pada 1598, Parlemen Belanda mengajukan usulan penggabungan perusahaan-perusahaan tersebut. Usaha ini akhirnya berbuah manis bagi mereka.



VOC dan Penjajahan di Indonesia

Pada 1602, perusahaan-perusahaan borjuis Belanda disatukan dalam wadah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) nan dipimpin 17 direktur pemegang saham. Inilah wadah kaum borjuis nan menopang penjajahan di Indonesia.

Menurut Mulyanto, di Jawa, usaha kapitalis nan sungguh-sungguh kapitalis barulah dimulai pada 1870. Menjelang 1870, golongan borjuis liberal menguasai Staaten General (lembaga legilatif modern Belanda pascarevolusi 1884 nan mengurangi banyak sekali kekuasaan raja).

Kebijakan kultuur-stelsel nan diusung Van Den Boshi menadai kembalinya sistem paksaan dan monopoli nan dijalankan pada masa VOC (Verplichte Laverantien). Kebijakan Kultuur-stelsel (tanam wajib) nan diplesetkan oleh kaum liberal sebagai Dwang-stelses (tanam paksa) sangat mereka tentang. Kenapa kaum kapitalis liberal sangat menentang kebijakan Kultuur-stelsel ?

Karena, kebijakan tersebut dinilai jauh lebih kejam dibanding dengan monopoli VOC. Kebijakan memiliki sasaran buat pemasukan kas Negara Belanda nan sangat besar. Selain itu, kebijakan itu pun dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah nan korup. Sedangkan, mereka tak kebagian untung dalam proses penjajahan tersebut. Mereka mengajukan agar wilayah koloni dalam pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada kapitalis-kapitalis sinkron hukum pasar.

Karena berbagai kritik nan diterima terkait pemberlakuan dan ketidak adilan kebijakan kultuur-stelsel, maka kebijakan tersebut pun akhirnya dihentikan, bahkan diiadakan. sebagai gantinya, dikeluarkanlah UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, nan mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.



Penjajahan Model Baru

Saat ini, penjajahan tak dilakukan seperti zaman dahulu, tetapi dilakukan melalui cara nan lebih halus. Pemberian pinjaman kapital dengan kembang nan diberikan IMF atau Bank Global kepada negara-negara miskin seperti Indonesia dilakukan kaum kapitalis agar negara-negara miskin terus bergantung dan tetap miskin.

Penjarahan pun dilakukan melalui perusahaan-perusahaan multinasional nan lebih besar. Jika demikian, maka sahih tesis nan diajukan dalam teori ekonomi merkantilis. Teori ekonomi merkantilis berkeyakinan bahwa jumlah kekayaan global itu tetap dan ajeg pertumbuhannya.

Oleh karenanya, penimbunan kekayaan nan dilakukan suatu negara berarti mengambil kekayaan dari negara lain (negara nan kaya semakin kaya, dan nan miskin semakin miskin).

Coba Anda tengok berapa banyak kekayaan kita nan dijarah melalui perusahaan Freeport? Pemerintah Indonesia hanya memegang saham sebesar 9,36%, sedangkan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. nan bermarkas di AS memegang saham sebesar 81,28%.

Sungguh penjajahan nan luar biasa oleh kapitalisme dan antek-anteknya. Itulah nan disebut Rosa Luxemburg sebagai kebijakan kolonial modern. Berkaca dari fenomena ini, rasanya Indonesia masih membutuhkan sosok pejuang-pejuang baru nan mampu membebaskan diri dari penjajahan modern. Siapkan diri Anda.