Filsafat Budaya dan Gejala Postmodernisme

Filsafat Budaya dan Gejala Postmodernisme

Filsafat budaya merupakan filsafat atau filosofi nan berkaitan dengan kebudayaan suatu daerah atau masa. Filsafat budaya melandasi pemikiran para pelaku di global budaya. Filsafat ialah filosofi, cara pandang terhadap sesuatu, begitulah kira-kira.

Istilah filsafat budaya bukan lagi hal nan asing bagi mereka nan memang berkecimpung di global filsafat dan budaya. Kedua cabang keilmuan tersebut telah melahirkan semacam pemikiran baru nan lahir dari penggabungan keduanya. Sebuah pemikiran nan pada akhirnya tetap mengena pada filsafat maupun budaya.



Postmodernisme - Bagian dari Filsafat Budaya

Filsafat budaya lalu melahirkan banyak gejala perubahan dalam tubuh budaya itu sendiri, dan salah satunya ialah istilah postmodern. Bagi orang kita, orang Indonesia istilah postmodern masih asing ditelinga. Kita hanya mengenal istilah "ini zaman modern" kata orang Indonesia sambil mereka tak tahu modern itu apa? Yang kita tahu bahwa zaman modern itu ialah zaman canggih. Semuanya telah menggunakan mesin dengan teknologi tinggi.

Filsafat budaya sebenarnya telah lahir jauh sebelum istilah postmodern itu muncul. Tahukan Anda bahwa kita sudah hidup, jauh melampaui zaman modern. Zaman modern itu sudah berlalu sejak seratus tahun silam. Zaman nan dikatakan modern ialah zaman saat berkembangan pesatnya ilmu pengetahuan saat zaman Renaissance pada abad ke-15. di benua eropa.



Tokoh-tokoh dalam Filsafat Budaya

Dalam filsafat budaya, Ranaisance dianggap sebagai tokoh permulaan pelaku dari budaya zaman modern. Renaisance bisa diartikan sebagai lahirnya kembali jiwa atau semangat baru dari manusia setelah terbelenggu dan diliputi mental incactivity pada abad pertengahan.

Pada saat zaman Renaissance orang-orang mulai meninggalkan tradisi lama nan dianggap kolot dan mengadakan pembaharuan dengan mencari nilai-nilai baru sebagai usaha buat mendobrak paham-paham konservatif nan umumnya menolak pemikiran-pemikiran baru atau menentang kebebasan berpikir. Pemikiran seperti itu merupakan satu hal nan berperan krusial dalam cara pandang filsafat budaya.

Salah satu tokoh dalam filsafat budaya nan berpengaruh ialah Immanuel Kant dan Herbert Marcuse nan mengatakan bahwa kebebasan pemikiran itu harus diperjuangkan meskipun pada akhirnya manusia akan terbelenggu sebab di global ini sering terjadi kontradiksi dan ketegangan antara kebebasan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Herbert Marcuse menggambarkan lingkaran hayati manusia nan pada akhirnya akan tetap terkurung oleh kemuajuan teknologi sebab berkat teknologi manusia bisa mengendalikan alam.

Ketika seseorang mengeluarkan sebuah filsafat budaya, maka apa nan ada dipikirannya bukan hanya sebatas budaya, tapi lebih dari itu. Hal-hal nan mendukung berjalannya kebudayaan atau hal-hal nan memengaruhi kebudayaan baik secara langsung maupun tak langsung juga ikut dibicarakan, begitupun dengan teknologi.

Teknologi tersebut bisa menjamin kehidupan manusia. Akan tetapi manusia dalam menggunakan kesempatan itu pada akhirnya tetap sengsara, terbelenggu, dan tak bebas. Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin bebasnya pemikiran maka selalu terjadi kegelisahan-kegelisahan nan menimbulkan pemikiran baru. Pemikiran-pemikiran baru itulah nan berjalan seiring dengan pemikiran tentang filsafat budaya.



Filsafat Budaya dan Gejala Postmodernisme

Kelahiran potsmodernisme dalam pemikiran budaya atau filsafat budaya juga taklepas dari pengaruh para tokoh nan berdiri dibelakangnya. Salah satu tokoh penggagas era postmo ialah Nietzshe dan Heidegger mereka melontarkan kritiknya bahwa modern telah kehilangan kritisnya, toh filsafat modern ternyata tak mampu menjawab semua tuntutan zaman. Modern hanya alat buat memisah-misahkan pemikiran dan budaya.

Seperti nan telah disebutkan tadi, jika filsafat budaya bukan hanya membicarakan budaya, tapi faktor pendukung dari budaya itu sendiri. Hal nan tak dapat dipungkiri ialah budaya juga berkembang sinkron zaman, apapun bentuknya. Pada akhir abad ke-19 segala perkembangan pemikiran sebenarnya telah terhenti. Seperti nan dikatakan Nietzsche dalam buku nan berjudul the Genology of morals, " Kini kita tak melihat lagi Sesuatu nan akan tumbuh besar, sebaliknya, kita curiga bahwa segalanya akan terus merosot turun."

Hal ini bisa tergambar oleh kita, bahwa kita tak lagi melihat penemuan-penemuan baru di bidang sains nan sangat fenomenal seperti pada zaman modern. Manusia-manusia sekarang hanya melanjutkan perkembangan nan sudah memang canggih sejak zaman dulu. Tak ada lagi tokoh tokoh baru nan menciptakan mesin baru, seperti Thomas Alpa Edison, Alexander Grahambel, James Watt, dan lain-lain. Stagnansi pada global penemuan, nyatanya juga berpengaruh terhadap hasil kebudayaan nan secara langsung juga membentuk filsafat budaya sendiri.

Inilah nan dinamakan era postmo, surat keterangan dan empiris bersama-sama lenyap dan bahkan makna dihadapkan pada suatu masalah. Kita dibiarkan dalam permainan rambang penanda-penanda nan kita sebut posmodernisme nan tidak lagi menghasilkan karya-karya nan monumental seperti pada modernisme, akan tetapi secara tidak henti-hentinya mengaduk-ngaduk fragmen-fragmen nan sudah ada. Berhentinya terciptanya karya-karya baru juga ikut memengaruhi filsafat budaya itu sendiri.

Mungkin kita tidak pernah sadar bahwa postmodermisme telah masuk dalam diri kita. Dalam budaya postmo semua telah membaur menjadi satu. Antara empiris dan idealitas sudah tak memiliki batas. Begitulah kiranya jika berbicara filsafat budaya dalam lingkup postmodernisme.

Lalu, sebuah filsafat pun dihasilkan, mengatakan bahwa banyak karya seni nan mencipta bentuk-bentuk nan hyperreal dan kepalsuan dikemas sebagai kebenaran. Dan teori semiotika dijadikan alat buat berdusta. Maka jika begitu dimanakan relalitas pada zaman ini kalau ia memang ada.

Postmodern dikatakan nyata sebab menyangkut apa pun nan nyaris ada di global sekarang. Postmodern dikatakan abstrak sebab kebudayaan telah berkembang begitu rumit, skeptis dan penuh kontroversi. siapa pun nan mengikuti kebudayaan postmo akan melihat kekacauan makna dalam melihat realitas. Ini ialah sebuah pandangan, sebuah filsafat budaya nan lahir dari pemikiran dan proses pemahaman.

Postmodernisme telah memunculkan berbagai klaim atau pengakuanya nan prasangka subtansif-objektif atau empiris-positivitistik. Seperti nan dilakukan Malaysia terhadap beberapa budaya Indonesia.
Jika dilihat secara filsafat budaya, sebenarnya kita tak perlu marah dengan kelakuan Malaysia sebab kebudayaan dareah itu berkembang bukan secara politis, melainkan secara sosialis. Budaya daerah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat nan egaliter kemudian secara arbitrer atau sesuka hati mereka menerima budaya setiap kebudayaan nan masuk.

Jika kemudian ada budaya nan serupa, hal ini sesuatu nan wajar sebab zaman dulu sebelumnya terbentuk sebuah negara Malaysia dan Indonesia merupakan satu kawasan nusantara.

Jika kemudian malaysia mengaku-ngaku kebudayaan kita sebagai kebudayaannya, kita tak harus mengaku-ngaku bahwa itu memang kebudayan kita. Apalagi dengan segera mempopulerkan ke global internasional dan mengajak perang Malaysia, toh perkara budaya dapat diselesaikan dengan jalan diplomatis.

Inilah posmodernisme nan segalanya menjadi rancu dalam melihat kebenaran realitas. Marilah kita berpikir lebih objektif dengan melihat berbagai sudut pandang dalam menyikapi masalah. Agar konklusi nan bisa kita ambil ialah konklusi nan paling mendekati kebenaran.

Bicara filsafat budaya, terutama budaya postmo memang sangat menarik kita bahas dalam berbagai sudut pandang dan teori. Rasanya, kita tidak akan kehabisan bahan buat membicarakan budaya ini.