Agama-Agama di Indonesia

Agama-Agama di Indonesia

Kondisi sosial suatu masyarakat selalu berkaitan dengan keadaan kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Kondisi kehidupan masyarakat ini bisa dilihat dari segi ras dan etnis nan ada di wilayah itu, mata pencaharian penduduknya, agama nan dianut, taraf kesejahteraan, nilai atau kebiasaan nan dianut masyarakat, dan lain sebagainya. Kondisi sosial sejatinya memang tak terlepas dari kondisi fisik wilayah tersebut. Begitupula nan terjadi dengan kondisi sosial Indonesia .



Kondisi Sosial Indonesia - Ras dan Etnis di Indonesia

Indonesia memiliki kurang lebih 13.667 pulau besar dan kecil dengan keadaan perairan nan luas. Keadaan ini sedikit menimbulkan isolasi geografis nan pada akhirnya menimbulkan kemajemukan masyarakat.

Kemajemukan masyarakat ini tentu memengaruhi keberagaman budaya nan ada seperti dalam hal adat-istiadat dan perbedaan-perbedaan daerah. Termasuk di dalamnya ras dan etnis nan ada.

Beragamnya ras dan etnis nan ada di Indonesia juga tak terlepas dari letak Indonesia nan berada di antara dua samudera. Di mana, kondisi ini menjadikan Indonesia sebagi jalur perdagangan strategis dunia.

Hal ini menyebabkan tingginya hubungan dengan masyarakat luar dan berpengaruh terhadap masuknya ras dan etnis ke Nusantara. Pernikahan antar ras dan etnis juga memiliki pengaruh besar pada keberagaman ras dan etnis di Indonesia.

Adapun ras nan ada di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan tanda-tanda fisik (bentuk rambut, rona mata, ukuran tubuh, bentuk muka, dan lain-lain). Klasifikasi tersebut ialah sebagai berikut.



1. Kelompok Papua Melaniesoid

Kelompok ini termasuk ras negroid dengan ciri-ciri, yaitu rambut keriting kecil-kecil, bibir tebal, dan kulit hitam. Kelompok ini tersebar di daerah Papua, Kepulauan Aru, dan Pulau Kei.



2. Kelompok Negroid

Kelompok ini termasuk ras Negroid, tetapi bukan keturunan Negro Afrika. Ciri-cirinya, yaitu rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal, dan memiliki ukuran tubuh sedang. Kelompok ras ini tersebar di daerah Semenanjung Malaya dan Pulau Andaman.



3. Kelompok Weddoid

Ras ini memiliki ciri-ciri, yaitu ukuran tubuh kecil, kulit sawo matang, dan rambut berombak. Ras ini banyak tinggal di daerah Siak (Riau), Jambi, Pulau Muna, Mentawai, dan Sumatera Selatan.



4. Kelompok Melayu Mongoloid (Austroniesia)

Ras ini memiliki ciri-ciri rambut ikal atau lurus, muka agak bulat, dan memiliki kulit sawo matang atau kuning. Ras ini terbagi menjadi kelompok melayu tua (proto melayu) dan muda (deutro melayu). Proto melayu tersebar di daerah suku Batak, Toraja, dan Dayak. Sedangkan deutro melayu tersebar di daerah Jawa, Bali, Bugis, dan Madura.

Etnis atau suku bangsa di Indonesia juga sangat majemuk. Kemajemukan ini menyebabkan kekhasan nan pada akhirnya terbentuk kelompok-kelompok sosial nan mempunyai kesatuan budaya dan tradisi. Para pakar memiliki beberapa pendapat mengenai suku bangsa nan ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

  1. Clifford Geertz menyebutkan terdapat lebih dari 300 etnis atau suku bangsa di Indonesia.
  1. Skinner menyebutkan bahwa terdapat 35 etnis dan setiap etnis mempunyai bahasa dan adat nan tak sama.
  1. Sutan Takdir Alisyahbana memperkirakan terdapat 200-250 etnis di Indonesia nan bisa dikelompokkan sebagai berikut, yaitu etnis terbesar tersebar di Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis, dan etnis kecil tersebar di Bali, Batak, Melayu dan Banjar.
  1. Van Vollen Hoven membagi etnis di Indonesia ke dalam 19 lingkungan adat. Ke-19 lingkungan adat tersebut oleh Koentjaraningrat di sebut sebagai lingkungan budaya ( culture area ). Sedangkan buat kepentingan administrasi, etnis di Indonesia oleh pemerintah dibagi menjadi 3 golongan, yaitu, etnis/ suku bangsa (Jawa, Madura, Batak, Bali, dan seterusnya), etnis keturunan asing (Cina, Arab, India, dan Indo Eropa), etnis terasing seperti suku Badui (Banten), suku Tarjo, suku Amma Toa (Sulawesi Tenggara), suku Togutil (Halmahera), suku Dongo (Sumbawa Barat), dan sebagainya.

Pengetahuan maupun pembelajaran terhadap kemajemukan atau keberagaman ras ini tak berarti membagi manusia ke dalam sekat-sekat eksklusif dari segi fisik, keturunan, asal daerah, dan sebagainya. Namun, sebagai pengetahuan kepada kita bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam berbagai bentuk buat saling mengenal dan belajar satu sama lain.



Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Petani ialah mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris selain memang kondisi fisik Indonesia nan sangat mendukung buat aktivitas pertanian.

Perkembangan selanjutnya, jumlah penduduk nan memiliki mata pencaharian sebagai petani terus menurun setiap tahunnya. Tercatat saat ini sekitar 39% penduduk ialah petani. Prosentase ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini terjadi sebab asumsi bahwa sektor pertanian tak mampu memberikan kesejahteraan bagi pelakunya. Sangat sporadis kita melihat generasi muda bercita-cita sebagai seorang petani. Kebanyakan memang akan memilih sektor sekunder, dan tersier.

Dengan perairan nan luasnya mencapai 3.287.010 km2 atau hampir 70% membuat Indonesia memiliki sumber daya bahari nan melimpah. Banyak penduduk nan kemudian bergerak di sektor perikanan terutama sebagai nelayan.

Berdasarkan data BPS, penduduk nan bermatapencaharian sebagai nelayan sebesar 2,7 juta jiwa. Sayangnya, 80% dari jumlah tersebut ialah nelayan nan miskin.

Hampir sama dengan nasib para petani, kesejahteraan para nelayan juga masih rendah. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya manusia dan kapital nan belum memadai di sektor perikanan.

Nelayan di Indonesia sebagian besar ialah nelayan kecil nan bekerja serabutan dengan kapital seadanya. Para nelayan kita selalu terkendala dengan tingginya bahan bakar solar, tak memiliki bahtera sendiri, peralatan nan sederhana, bahkan tradisional dan pemasaran hasil perikanan nan masih berskala lokal. Akhirnya, hal ini berdampak pada rendahnya pendapatan para nelayan.

Misalnya, para nelayan di Bahari Banda. Kita ketahui bahwa Bahari Banda dikenal sebagai bahari dengan palung nan cukup dalam di dunia. Kondisi fisik ini tentu memberikan asa besar buat sektor perikanan.

Namun, kenyataannya kesejahteraan nelayan di Bahari Banda masih jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan, para nelayan terkendala pada modal, perahu, peralatan, dan pemasaran. Bagaimana tidak? Hasil tangkapan harus dibagi dengan pemilik perahu. Pemilik bahtera mempunyai jatah lebih besar.

Setelah itu, hasil tangkapan baru dibagi-bagi kepada nelayan nan biasanya berjumlah kurang lebih 10 orang. Ditambah saat ini, bahan bakar solar semakin mahal dan langka.

Selain itu, nelayan Bahari Banda juga terkendala pada pemasaran. Tangkapan mereka hanya dihargai kurang lebih Rp 5000,00 per kilogram. Padahal buat jenis ikan nan sama jika di jual di Jepang atau ekspor dapat mencapai Rp 100.000,00 per kilogram. Namun, sebab tak ada eksportir nan mau masuk ke Banda, maka hasil tangkapan hanya dijual secara lokal saja.

Pada sektor perkebunan, terdapat hal nan perlu diapresiasi, yaitu penanaman sayur dan buah dengan sistem perkebunan secara organik dan ramah lingkungan. Di daerah Jawa Barat , petani-petani nan berhasil ialah mereka nan bergelut pada sektor perkebunan organik, yaitu tanpa pupuk kimia.

Sedangkan pada aktivitas kehutanan, secara garis besar Indonesia tengah mengalami degradasi lahan. Tingginya angka alih fungsi hutan buat huma industri telah menurunkan kualitas hutan kita dan mengancam eksistensi flora dan fauna. Hal ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat di kawasan hutan baik secara ekonomi maupun ekologi (lingkungan).

Di bidang pertambangan, kita ketahui bahwa sumber daya tambang sangat melimpah dan tersebar di setiap wilayah Indonesia. Hal ini tentu menjadi nilai plus buat pemugaran kondisi sosial Indonesia.

Namun, faktanya penduduk terutama di daerah pertambangan hampir sebagaian besar tak menikmati sumber daya alam tersebut. Sebut saja Papua dengan tambang emasnya, Bojonegoro, Blora, dan Tuban dengan Blok Cepunya, Kalimantan Selatan dengan pertambangan batu baranya dan masih banyak lagi.

Namun, kesemuanya masih mengalami kesenjangan sosial dampak dikuasainya sumber daya alam tersebut oleh asing. Perpanjangan kontrak pendayagunaan dengan asing, masuknya investasi asing, dan rendahnya kemandirian pengelolaan sumber daya alam menjadi faktor dominan penyebab kesenjangan tersebut.



Agama-Agama di Indonesia

Kondisi sosial di Indonesia juga ditandai dengan kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Di Indonesia terdapat 6 agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu nan diakui sebagai agama pada pemerintahan Gus Dur.

Berdasarkan data sensus tahun 2010 oleh BPS diketahui bahwa pemeluk agama Islam di Indonesia sebesar 87,2% dengan jumlah terbesar di provinsi Jawa Barat. Pemeluk agama Kristen sebesar 6,9% dengan jumlah pemeluk terbesar di provinsi Sumatera Utara.

Prosentase ketiga ialah pemeluk agama Katholik, yaitu sebesar 2,9% dengan jumlah terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemeluk agama Hindu sebesar 1,7% dengan jumlah terbesar di provinsi Bali.

Pemeluk agama Budha memiliki prosentase sebesar 0,7% dengan jumlah terbesar di provinsi DKI Jakarta. Sedangkan Kong Hu Chu sebesar 0,05% dengan jumlah pemeluk tersebesar di Kepulauan Bangka Belitung.

Selain agama, terdapat banyak kepercayaan di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, genre pangestu, suka sejati (di Jawa), animisme, dinamisme, kaharingan di Kalimantan Tengah, dan sebagainya.

Aliran atau kepercayaan di Indonesia semakin banyak dari tahun ke tahun, sehingga terkadang menimbulkan konflik sebab melanggar ajaran agama tertentu. Sebagai contoh genre lia eden nan terbukti melakukan pelecehan dan penghinaan terhadap agama Islam dan masih banyak lagi.

Konflik antar agama maupun genre memang menjadi bara dalam sekam di kehidupan masyarakat Indonesia. Mudah sekali tersulut dan bisa menjadi konflik nan besar. Hakikatnya, konflik ini bisa diredam ketika terdapat kebijakan tegas dan peraturan nan melindungi agama nan telah diakui secara resmi oleh negara.

Ketika, suatu genre atau kepercayaan baru muncul dan bertentangan dengan agama nan telah diakui secara resmi, tentu sangat bijak jika tak menggunakan asas atas nama demokrasi (kebebasan beragama dan berbuat). Hal ini tak lain buat menjaga kondisi sosial masyarakat dan mencegah konflik nan bisa menimbulkan akibat negatif .



Nilai dan kebiasaan di Indonesia

Dalam Sosiologi, kita mengenal nilai dominan dan norma. Di Indonesia sendiri terdapat nilai dominan dan dua kebiasaan nan kuat di masyarakat, yaitu kebiasaan hukum dan kebiasaan agama.

Di Indonesia, nilai nan dominan berbeda tiap wilayahnya. Di Aceh misalnya, nilai nan dianggap dominan ialah nilai agama, sehingga Aceh menerapkan anggaran syariat agama Islam.

Berbeda dengan Bali, di mana nilai nan dominan ialah nilai adat, sehingga anggaran nan berlaku ialah anggaran sinkron adat. Dengan keberagaman ini, agaknya masyarakat memang dihadapkan pada kondisi harus saling toleransi. Yang terpenting ialah nilai nan berlaku mampu buat mengatur kehidupan sosial masyarakat dan memberikan kesejahteraan.

Jika suatu nilai tak mampu lagi melakukan fungsinya, maka tentu nilai itu harus diganti dengan nan lain agar bisa menjalankan fungsi nan semestinya. Berbeda dengan nilai, kebiasaan nan sampai saat ini tetap kuat di masyarakat Indonesia ada dua, yaitu kebiasaan agama dan kebiasaan hukum.

Norma agama dalam beberapa hal dijadikan sandaran secara nasional buat menyelesaikan masalah dan mengatur kehidupan sosial masyarakat, seperti masalah perkawinan dan hukum waris. Pada beberapa masyarakat penggunaan kebiasaan agama juga lebih meluas buat mengatur pergaulan, berpakaian, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Sedangkan kebiasaan hukum di Indonesia memang masih mewarisi sistem hukum Belanda atau Barat sebab sejarah penjajahan dahulu. Pasal-pasal nan dibuat menggunakan sistem kodifikasi. Hukuman nan berlaku ialah sanksi penjara, sanksi wafat buat pelanggaran berat, dan hukuman denda.

Indonesia memang sebuah wilayah nan memiliki perairan nan luas, tanah nan subur, hutan hujan tropis terbesar kedua di dunia, barang tambang nan melimpah, ditambah keberagaman budaya.

Namun, agaknya hal ini belum cukup buat memperbaiki kondisi sosial Indonesia. Sepertinya, memang masih harus dicari lagi sebuah sistem nan pas buat mengatur wilayah ini. Mungkin dapat dimulai dari nilai dan kebiasaan nan ada di masyarakat.