Tahap Penyelesaian Masalah Konkurensi Sipadan dan Ligitan

Tahap Penyelesaian Masalah Konkurensi Sipadan dan Ligitan

Tahukah Anda hal-hal tentang konkurensi Sipadan dan Ligitan . Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lebih dari 27.000 pulau nan tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari pulau nan ukurannya kecil tidak berpenghuni hingga pulau berukuran besar nan padat penduduk, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian. Adanya banyak pulau nan belum berpenghuni dan belum diberi nama membuat konflik mengenai kepemilikan sebuah pulau kerap timbul, misalnya konkurensi Sipadan dan Ligitan.

Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar, yaitu selat nan ada di antara Kalimantan Timur dan Sabah (Malaysia Timur). Luas pulau ini kurang lebih 50.000 meter persegi, sedangkan Pulau Ligitan memiliki luas 18.000 meter persegi.



Awal Mula Persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan

Dimulainya persengketaan kedua pulau ini berawal dari rendezvous hukum bahari pada 1967 dalam rangka membahas batas kontinen antara Indonesia dan Malaysia. Ternyata, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diklaim menjadi batas wilayah kedua negara tersebut. Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki alasan kuat mengapa pulau tersebut dimasukkan ke wilayahnya.

erujuk pada isi pasal IV konveksi Belanda dan Inggris pada 1891, pada intinya Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan ialah bekas jajahan Belanda sehingga kepemilikannya diwariskan pada bangsa Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Bukti lain nan memperkuat kepemilikan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan ialah keterangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Kutai nan berdiri di Kalimantan Timur.

Sebaliknya, Malaysia pun juga memiliki bukti nan kuat mengenai kepemilikan kedua Pulau Sipadan dan Ligitan. Berdasarkan perjanjian perbatasan antara Malaysia dan Filipina nan tertuang dalam Traktat Paris pada 1809 serta perjanjian antara Spanyol dan Amerika. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diwariskan oleh Sultan Sulu pada Malaysia setelah sempat diserahkan pada negara nan menjajah Malaysia.

Selain itu, hukum internasional menyatakan bahwa hak atas suatu wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga apabila wilayah tersebut ditelantarkan pada kurun waktu eksklusif oleh pemilik asli. Indonesia menjadi kurang bukti buat mengklaim kedua pulau tersebut sebab Indonesia sempat membiarkan Pulau Sipadan dan Ligitan terbengkalai pasca jajahan Belanda.



Penetapan Status Quo Pulau Sipadan dan Ligitan

Akhirnya, kedua negara sepakat menempatkan kedua pulau ini dalam status quo pada 1988 setelah merasa bahwa perundingan bilateral nan dilakukan tak membuahkan hasil. Ternyata, memang ada disparitas pengertian antara kedua belah negara sebab Malaysia justru membangun resort pariwisata.

Pihak Malaysia menganggap bahwa keadaan status quo akan ada di bawah kekuasaan Malaysia selagi persengketaan kedua pulau tersebut selesai. Indonesia sendiri menganggap bahwa keadaan status quo ialah keadaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan memang tak boleh ditempati apalagi digunakan sampai masalah konkurensi keduanya selesai.

Banyak masalah nan timbul selama ditetapkannya status quo pada kedua pulau tersebut, di antaranya pada 1991 protes nan disampaikan Menlu Ali Alatas dari Indonesia mengenai pembangungan fasilitas generik di kedua pulau nan seharusnya tak boleh dilakukan. Selain itu, terjadi pula penangkapan kapal pukat MV Pulau Banggi di perairan Sipadan. Kapal nan sedang menangkap ikan tersebut akhirnya dibawa ke perairan Tarakan.



Tahap Penyelesaian Masalah Konkurensi Sipadan dan Ligitan

Mula-mula, masalah perebutan kedua pulau ini diselesaikan menggunakan perundingan bilateral dengan mengirimkan wakil dari kedua negara. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan dibentuknya Komisi Bersama (JC) dan Kelompok Kerja Bersama (JWG). Setelah itu, berbagai rendezvous pun dilangsungkan demi membahas status Pulau Sipadan dan Ligitan hingga empat kali berlangsung. Namun, rendezvous tersebut tak membuahkan hasil sebab masing-masing pihak tetap memegang prinsipnya masing-masing.

Sengketa nan berlangsung selama kurang lebih 30 tahun ini tak kunjung menemukan titik terang. Awalnya, Indonesia berencana menyelesaikan masalah persengketaan ini dengan donasi Dewan Tinggi ASEAN, namun saran ini tak diterima Malaysia sebab pernah terlibat beberapa konkurensi pula dengan negara ASEAN, seperti Filipina. Akhirnya, masalah ini ditangani oleh Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda pada 1998.

Masalah konkurensi Sipadan dan Ligitan pun selesai pada 17 Desember 2002. Keputusan mengenai kedua pulau ini dikeluarkan IGC. Dalam sidang, berbagai alasan berupa fakta nan diungkapkan Indonesia dan Malaysia, bukti-bukti sejarah, keterangan pro-kontra, dan berbagai dokumen lainnya dibahas dalam sidang oleh pengacara.

Sayangnya, keputusan mengapa Malaysia dapat mendapatkan hak kepemilikan dua pulau tersebut tak mempertimbangkan sikap Malaysia nan membangun resort saat keadaan status quo, melainkan sebab pemerintah Inggris nan sempat melakukan banyak kontribusi pada pulau ini sewaktu menjajah Malaysia, seperti kegiatan konservasi satwa burung.

Berdasarkan voting nan sudah dilakukan oleh 17 orang hakim, nan 15 di antaranya hakim tetap dari Mahkamah Internasional , sedangkan dua orang hakim lainnya dipilih oleh Indonesia dan Malaysia. Indonesia hanya mendapatkan 1 suara, sedangkan 16 lainnya menjatuhkan suara pada Malaysia. Pulau Sipadan dan Ligitan pun resmi menjadi milik Malaysia.

Mahkamah Internasional tak menyetujui alasan nan dikemukakan Indonesia mengenai pulau Sipadan dan Ligitan nan dulunya dikuasai Belanda. Keterangan tersebut didasarkan pada penafsiran pasal IV Konvensi 1891.

Menurut Mahkamah Internasional, peta Memori van Toelichting nan memuat gambar wilayah pulau Sipadan dan Ligitan dan ditafsirkan oleh Indonesia, selain sebab bukan merupakan bagian konvensi 1891, peta tersebut juga tak bisa memberikan citra nan bisa memperkuat bukti hukum.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi mendasarkan keputusannya dari kuatnya bukti nan diberikan kedua negara. Indonesia menggunakan bukti berupa kegiatan nan pernah dilakukan oleh Belanda dan para nelayan, sedangkan Malaysia menggunakan bukti nan mengandung unsur hukum.

Keputusan nan dibuat Mahkamah Konstitusi juga didasarkan pada instrumen hukum nan ada, tak hanya terbatas pada kegiatan nan berlangsung di pulau Sipadan dan Ligitan sehingga adanya kegiatan pembangunan resort nan dilakukan oleh Malaysia beserta penangkapan ikan di perairan Sipadan dan Ligitan tak mempengaruhi keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu dikarenakan masalah tersebut tak didasarkan pada peraturan perundang-undangan.

Secara objektif, dalam proses penentuan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dilakukan dengan effective occupation berserta bukti hukum sejak 1969. Dilakukannya effective occupation pada proses ini didasarkan pada konsep nan berlaku pada zaman Romawi Kuno, tindakan administratif seperti perundang-undangan serta hukum nan berlaku menjadi prioritas utama. Prinsip ini hanya bisa diberlakukan pada daerah nan tak sedang dikuasai siapa pun dan sedang menjadi objek persengketaan.

Selama masalah ini berlangsung, Indonesia telah banyak mengucurkan dana. Menteri Luar Negeri Hassas Wirayuda mengatakan bahwa hampir Rp 16.000.000.000 rupiah dikeluarkan buat menyelesaikan konkurensi ini. Sebagian besar dana tersebut digunakan buat membayar pengacara. Dengan melihat kenyataan konkurensi Pulau Sipadan dan Ligitan, bangsa Indonesia perlu memperhatikan aset nan dimiliki negerinya sendiri. Jangan sampai ketika aset itu hilang, barulah kita semua bergerak.