Kritik Feminisme terhadap Kisah Cinderella

Kritik Feminisme terhadap Kisah Cinderella

Rasanya semua tak asing dengan cerita dongeng nan tokoh utamanya ialah seorang wanita cantik tertindas nan pada akhirnya justru bersuamikan seorang pangeran tampan. Ya, tokoh dongeng nan dimaksud ialah Cinderella . Cerita ini sudah banyak dibukukan atau bahkan dijadikan inspirasi dalam pembuatan film. Dan semuanya mendapat apresiasi nan cukup baik.

Asal mula cerita ini sendiri sepertinya susah dipastikan. Beberapa negara mengklaim bahwa negara merekalah nan pertama kali menciptakan dongeng sebelum tidur nan fenomenal ini. Ada nan mengatakan bahwa asal mula dongeng ini berasal dari Cina, dan ada juga nan mengatakan cerita ini berasal dari Yunani Kuno. Semuanya memiliki versi cerita nan berbeda, namun tetap memiliki benang merah nan sama.

Cinderella ialah seorang gadis cantik nan jalan hidupnya tak secantik rupanya. Ia memiliki seorang ibu tiri, lengkap dengan dua orang saudara tiri. Cerita ini seolah mencitrakan bahwa ibu tiri ialah neraka dalam sebuah keluarga.



Cinderella di Berbagai Kebudayaan

Teman kisah seperti ini (gadis malang dengan ibu tiri dan saudara tiri nan jahat) sepertinya telah ada sejak era klasik zaman Yunani dan Romawi Kuno. Sejarawan Yunani Kuno, Strabo, menyebutkan bahwa pada abad pertama sebelum Masehi terdapat kisah tentang seorang gadis Yunani nan tinggal di Mesir bernama Rhodopis. Kelihatannya inilah kisah tertua tentang Cinderella.

Pada kisah Rhodopis, disebutkan bahwa saat Rhodopis sedang mandi, seekor elang mengambil sandalnya lalu membawanya ke loka di mana Raja berada. Ia menjatuhkannya tepat di depan sang Raja. Sang Raja terpesona pada estetika bentuk sandal tersebut dan kemunculannya nan tiba-tiba. Akhirnya ia memerintahkan sejumlah pengawalnya buat mencari tahu pemilik sandal tersebut. Akhirnya Rhodopis dan Raja berjumpa kemudian mereka menikah.

Sementara itu di kebudayaan China, dikenal kisah Ye Xian, nan ceritanya pun mirip kisah Cinderella. Kisah ini dikenal sejak tahun 860 Masehi. Alkisah, Ye Xian nan malang hayati bersama ibu tiri dan saudara tirinya. Sang ibu tiri kemudian membunuh ibu kandung Ye Xian, sehingga ia bereinkarnasi menjadi seekor ikan. Ketika kemudian ikan itu mati, Ye Xian menyimpan tulang belulangnya sebagai kenang-kenangan.

Rupanya tulang belulang tersebut ajaib, membantunya membuat pakaian nan sangat latif buat pergi ke acara festival tahun baru. Ye Xian pergi ke acara tersebut diam-diam. Ternyata ibu dan saudara tirinya memergoki ia di sana, sehingga ia harus lari menghindar. Saat itulah sandalnya lepas dan ditemukan oleh Raja. Raja jatuh cinta kepada Ye Xian kemudian menikahinya.

Versi lain kisah ini juga ada di Filipina. Seorang perempuan bernama Maria di dalam cerita berjudul "Mariang Alimango" atau "Mari si Kepiting" merebut hati seorang pangeran di seremoni ulang tahun pangeran tersebut. Ini membuat hati ibu tiri dan saudara tirinya geram dan iri sehingga menyiksanya. Ibu kandungnya nan telah meninggal muncul dalam bentuk kepiting dan membantunya menyelamatkan diri. Dalam cerita ini juga ada selop terlepas nan ditemukan pangeran hingga akhirnya Maria dan pangeran menikah.

Di Vietnam, ada Tam Cam. Cerita ini mirip dengan kisah Ye Xian di China, di mana Tam memiliki ikan nan wafat dan dimakan ibu dan saudara tirinya lalu tulang belulangnya membawa keajaiban. Akhir ceritanya pun sama, Tam menikah dengan sang raja. Sayangnya, Tam berubah menjadi sadis dengan merebus saudara tirinya hidup-hidup dan memaksa sang ibu tiri buat memakan daging anaknya sendiri.

Versi lainnya ialah Kongjee Patjee dari Korea. Kongjee ialah gadis nan disiksa oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Cerita ini sama persis dengan Cinderella . Perbedaannya ialah detail-detail kecil seperti gaun pesta dan kereta kuda, sebab disesuaikan dengan kebudayaan Korea.



Cinderella dalam Cerita Pop Culture

Kisah Cinderella nan kita kenal sekarang (dan nan diadaptasi oleh Walt Disney) ialah kisah nan ditulis oleh Charles Perrault, seorang sastrawan Prancis. Cerita ini diberi judul "Cendrillion" atau "La petite Pantoufle de Vere" (Sepasang Sepatu Kaca Mungil). Di tahun 1697, Perrault memasukkan cerita "Cendrillion" ini ke dalam bukunya "Histoires ou contes du temps passé".

Dalam kisahnya, ia ialah seorang gadis cantik. Kecantikannya bukan hanya rupa tapi jiwa. Kesengsaraan nan dideritanya dalam dongeng bermula ketika ia ditinggalkan oleh ibu kandungnya. Ibu kandungnya meninggal, dan ayahnya pun kembali menikah dengan seorang wanita nan mempunyai anak sebaya dengannya.

Dalam kehidupan barunya, ia selalu diperlakukan tak baik oleh ibu tirinya, terlebih jika sang ayah sedang tak berada di rumah. Cerita ini pada dasarnya sama dengan cerita dari Indonesia, Bawang Merah dan Bawang Putih . Sang ibu tiri akan bersikap baik jika sang ayah berada di rumah, lepas dari itu, perlakuan jahatlah nan akan diterima olehnya.

Suatu hari, kerajaan nan berada di sekitar loka tinggalnya akan mengadakan sebuah pesta. Pesta tersebut diadakan spesifik buat wanita-wanita cantik nan ada di sekitar kerajaan.

Pihak kerajaan ingin mencarikan pendamping buat sang pangeran melalui pesta dansa tersebut. Sebagai seorang wanita nan berparas cantik, ia tentunya juga berhak datang ke pesta dansa tersebut, namun tentu apa nan akan terjadi sudah dapat ditebak.

Ibu tiri beserta kedua saudara tirinya nan mengakui jika ia sangat cantik berusaha sekuat tenaga agar ia tak pergi ke pesta dansa tersebut. Mereka "menghadiahi" ia dengan banyak pekerjaan rumah. Hingga ia tak punya waktu buat mempersiapkan penampilan dan datang ke pesta dansa tersebut.

Mengetahui hal itu, seorang peri baik hati datang menolong. Peri itu menyulap gadis itu menjadi lebih cantik. Ia memberikan sang gadis gaun nan sangat cantik, sepasang sepatu kaca, dan kereta kuda. Estetika itu hanya akan menemaninya hingga jam 12 malam. Selepasnya, Cinderalla akan kembali berubah jadi gadis biasa dengan baju nan lusuh.

Melihat kedatangan putri cantik ke pesta dansa, sang pangeran pun langsung jatuh cinta, dan memilihnya sebagai calon pengantinnya. Mengetahui jam hampir menunjuk ke angka 12, ia pun pergi dan meninggalkan pangeran sendiri. Hingga tanpa sadar, sebelah sepatu nan ia kenakan tertinggal. Sepatu kaca itulah nan kemudian membawa pangeran kembali berjumpa dengan sang gadis, dan cerita pun berakhir bahagia. Happily-ever-after .



Kritik Feminisme terhadap Kisah Cinderella

Kisah ini, terutama versi nan dianimasikan oleh Disney, menuai banyak kritik dari aktivis feminisme. Pasalnya, film tersebut tak mengajarkan nilai kemandirian kepada anak perempuan (karena film ini banyak ditonton dan disukai anak perempuan di seluruh dunia).

Ia dianggap sebagai perempuan pasif nan hanya dapat menangisi takdirnya. Ia tidak berusaha mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Perhatikanlah, sepanjang jalan cerita, ia tidak melakukan apa pun nan merupakan keputusannya. Untuk menjahit gaun sederhana, ia dibantu oleh tikus dan para burung. Untuk dapat pergi ke pesta, ia dibantu ibu peri setelah menangis sendirian di taman tanpa melakukan apa pun. Dan di akhir cerita pun, ia dibantu petugas istana buat mencocokkan sepatunya.

Ia hanya berkhayal, bernyanyi, dan berharap tanpa berusaha. Ini berbeda dengan kisah putri-putri Disney nan lain, misalnya Belle dalam "Beauty and the Beast" nan suka membaca, pemberani, dan membuat keputusan sendiri buat menolong ayahnya nan dikurung oleh Beast. Begitu juga dengan putri duyung Ariel di "The Little Mermaid" nan berusaha mengubah nasibnya sendiri dengan menjadi manusia-memiliki kaki.

Perbedaan nan mencolok antara Cinderella dan tokoh putri Disney nan lain ialah dengan Mulan dan Rapunzel. Mulan, tentunya, memiliki kepribadian nan sangat bertolak belakang dengan gadis cengeng sebatang kara itu. Adapun Rapunzel dalam film "Tangled" lebih suka berpetualang, lebih pintar, dan cekatan menolong dirinya sendiri (tidak menunggu diselamatkan oleh pangeran tampan).