Affandi nan Eksentrik

Affandi nan Eksentrik

Affandi merupakan maestro seni lukis Indonesia nan paling dikenal global internasional. Sang maestro lahir pada 1907 di Cirebon. Ia ialah putra R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug.

Pendidikan nan diperoleh sang maestro cukup tinggi. Dia dapat bersekolah di HIS, MULO, dan AMS. Pada zaman penjajahan Belanda, sedikit sekali pribumi nan berkesempatan menamatkan sekolah menengah.

Meskipun berpendidikan tinggi, ia tak tertarik bekerja pada pemerintah kolonial. Dia memilih menjadi pelukis. Sebelum menjadi pelukis, ia pernah menjalani beberapa pekerjaan. Dia pernah menjadi guru, penyobek karcis bioskop, dan pembuat poster film.



Kehidupan dan Awal Karir Affandi

Sedari muda, sang maestro sudah memiliki talenta di bidang seni lukis. Kemampuan melukisnya sangat kental sehingga ia sudah melukis sedari muda.

Di usianya nan ke-26, ia menikahi Maryati, seorang wanita Bogor. Kedua pasangan ini dikaruniai putri bernama Kartika Affandi. Putri sulung sang maestro ini kelak diketahui mewarisi talenta sang ayah dalam bidang lukis-melukis.

Demi menafkahi keluarga, sang maestro sempat menjadi guru, pembuat gambar reklame bioskop, dan pekerja nan bertugas menyobek karcis bioskop di Bandung. Barulah pada usia 30-an ia mulai benar-benar fokus di global lukis.

Pada usia 30-an, bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi, ia membentuk Kelompok Lima Bandung, nan merupakan kelompok lima pelukis Bandung.

Kelompok ini bukan sebuah organisasi, melainkan kelompok belajar bersama dan wadah kolaborasi para pelukis. Kelompok Lima Bandung berperan besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, ia bergabung dalam Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), organisasi nan dipimpin empat serangkai, Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur.

Dalam Poetera, sang maestro mengurusi seksi kebudayaan bersama S. Soedjojono. Kontemporer juga, tepatnya pada 1943, ia mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera di Jakarta.

Pada masa Revolusi pascaproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia, bersama pelukis dan artis lain membuat poster-poster perjuangan pembangkit semangat melawan Belanda nan bermaksud menjajah kembali Indonesia.

Seniman nan terlibat dalam pembuatan poster tersebut antara lain S. Soedjojono, Dullah, Trubus, dan Chairil Anwar. Salah satu poster nan paling terkenal ialah poster seorang laki-laki memutuskan rantai nan membelenggu tangannya, dengan tulisan “Boeng, Ajo Boeng”. Poster ini diperbanyak dan disebarluaskan ke desa dan kota.

Kemudian berkat talenta melukisnya ia memperoleh beasiswa kuliah melukis di Santiniketan, India. Namun saat tiba di sana ia ditolak sebab dianggap tak membutuhkan pendidikan melukis lagi. Dengan kata lain, ia ialah seorang maestro, buat apa belajar seni melukis lagi? Alhasil uang beasiswa nan terlanjur diterimanya ia manfaatkan buat mengadakan pameran lukisan di beberapa loka di dunia.

Selain ke India, ia juga melanglangbuana ke Eropa dan baru kembali ke Indonesia tahun 1950-an. Kepulangannya disambut oleh Partai Komunis Indonesia nan mencalonkan sang maestro mewakili orang-orang tidak berpartai dalam pemilihan.

Dalam sidang, terlihat bahwa sang maestro tidak tertarik di bidang politik. Ia kebanyakan diam bahkan tidur selama persidangan. Ia cuma berbicara pada sidang komisinya, yakni komisi perikemanusiaan.

Akan tetapi fokus pembicaraannya ialah ‘perikehewanan’, di mana ia menggagas ide buat lebih menjaga dan menyayangi hewan serta alam. Idenya tak digubris, malah dianggap lelucon belaka. Saat itu pencerahan masyarakat Indonesia buat mencintai dan menjaga alam masih sangat rendah.

Walaupun memiliki talenta seni nan luar biasa, mendapatkan banyak penghargaan, dan melanglangbuana ke banyak negara, ia tetaplah sosok sederhana nan rendah hati. Sang maestro menghembuskan nafas terakhirnya pada 23 Mei 1990 di Jogjakarta.



Affandi Menuju Puncak Karir

Pada 1950-an, sang maestro mulai membuat lukisan ekspresionis. Menggendong Cucu Pertama (1953) merupakan karya nan menandai gaya melukis temuannya, melukis dengan memencet cat langsung dari tube. Dia menemukan teknik tersebut tanpa sengaja.

Suatu hari ia ingin menggambar garis. Karena pensilnya hilang, ia tak sabar dan langsung mengoleskan cat dari tubenya. Hasilnya, objek lukisannya tampak lebih hidup. Dia juga merasa lebih bebas mengekspresikan perasaannya ketika menggunakan tangannya sendiri dibandingkan menggunakan kuas lukis.

Sebagai artis ternama, ia mengikuti berbagai pameran di luar negeri. Selain di India, ia memajang karya-karyanya di Biennale Brazil (1952), Venesia (1954), dan Sao Paolo (1956).

Pada 1957, sang maestro mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika Perkumpulan buat mempelajari metode pendidikan seni. Ia tinggal di Amerika selama empat bulan. Di negara Paman Sam ini, ia sempat mengadakan pameran tunggal di World House Galleries di Press Club, New York.



Affandi nan Eksentrik

Sepanjang hidupnya, sang maestro telah menelurkan lebih dari 2.000 lukisan nan dipamerkan di berbagai negara di semua benua. Lukisannya cenderung abstrak dan ekspresionis, terutama sebab ia menggunakan jari-jarinya sebagai media lukis, bukannya kuas. Inilah nan menjadi karakteristik khas dan daya tarik karya sang maestro.

Seorang kritikus seni dari global Barat sempat menanyakan konsep dan genre melukis Affandi . Menurutnya, lukisan Affandi memberi rona baru dalam genre ekspresionisme. Ditanya seperti itu, Affandi malah bertanya, “Aliran apa itu?” Ini menunjukkan cara berpikirnya nan bebas dan tak ingin kreativitasnya dikekang berbagai teori seni lukis. Ia tidak suka membaca buku, apalagi buku teori lukis.

Ia menjuluki dirinya sendiri sebagai pelukis kerbau, maksudnya pelukis nan dungu dan bodoh. Ia melukis sebab merasa hanya itu nan dapat ia lakukan. “Saya melukis sebab aku tak dapat mengarang, aku tak pandai omong. Bahasa nan aku gunakan ialah bahasa lukisan.” Katanya suatu ketika. Bahkan ia enggan disebut pelukis, hanya ingin disebut tukang gambar sebab menurutnya ia tidak pantas disebut pelukis.

Meski cintanya kepada global lukisan begitu besar, cintanya pada keluarga jauh lebih besar lagi. Ia mencintai dan mengutamakan keluarganya dibandingkan apa pun, termasuk dibandingkan melukis.



Penghargaan Internasional Affandi

Pada 1962 Affandi diangkat menjadi Guru Besar Kehormatan (Honorary Professor) mata kuliah Ilmu Seni Lukis di Ohio State University di Columbus, Amerika Serikat. Sementara itu, pada 1974 ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore.

Selanjutnya, Dag Hammarskjoeld Foundation menganugerahkan Peace Award kepada Affandi pada 1977. Selain itu, sang maestro juga menerima gelar Grand Maestro di Florence, Italia.

Inilah rangkuman penghargaan nan diterima Affandi dari dalam dan luar negeri:

  1. Piagam Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969)
  2. doctor Honoris Causa dari Universitas Singapura (1974)
  3. Dag Hammarskjold, Penghargaan Kedamaian Internasional (di Florence, Italia tahun 1997)
  4. Penghargaan Bintang Jasa Primer (1978)
  5. Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia dari Koran International Herald Tribune
  6. Penghargaan Grand Maestro di Florence, Italia


Museum Affandi nan Unik

Di tepi Sungai Gajah Wong di Jalan Solo, Jogjakarta, ia merancang dan membangun rumahnya, nan sekaligus digunakan sebagai museum buat memajan karya-karyanya. Konstruksi bangunan tersebut sangat unik, dengan atap menyerupai daun pisang. Di museum tersebut tersimpan sekitar 250 lukisan sang maestro.

Affandi mati pada 23 Mei 1990. Dia dimakamkan di kompleks museum, seperti nan dinginkannya, selalu berada di antara keluarga dan lukisannya. Meski telah tiada, karyanya tidak kan pernah lekang dimakan waktu dan namanya selalu tertoreh di sejarah seni lukis Indonesia.