Jangan Sampai Jadi Negeri Kleptokrasi

Jangan Sampai Jadi Negeri Kleptokrasi

Ada aksioma lama dari Lord Acton nan sering diterapkan pada orang-orang dengan ambisi politik: Power corrupts; absolute power corrupts absolutely.. Dalam kasus ini, "korupsi" berarti penyalahgunaan jabatan publik buat laba pribadi atau laba ilegal atau tak bermoral lainnya.

Kasus korupsi kolusi dan nepotisme ialah pelanggaran pidana nan diakui, bersamaan dengan penyuapan, pemerasan dan penggelapan. Beberapa bentuk di atas mungkin luput dari perhatian hukum, seperti mempekerjakan kerabat buat posisi kunci (nepotisme), namun mereka tak mungkin lepas dari supervisi dari pemilih pada hari pemilihan umum.

Setiap kali seseorang menerima janji politik atau memenangkan pemilihan ke kantor, dia harus mengambil sumpah buat menegakkan kepercayaan publik. Meskipun hal ini mungkin terdengar mulia di atas kertas, penegakan sumpah ini bisa membuktikan bermasalah.

Kandidat politik sangat sedikit sukses mencapai kantor pemerintahan tanpa membuat janji-janji kampanye beberapa di sepanjang jalan, dan banyak dari janji-janji nan tak berbahaya, seperti mensponsori tagihan atau melobi buat lebih banyak dana buat sekolah.

Janji lainnya, bagaimanapun, mungkin mendekati melintasi garis etis, seperti mempekerjakan kerabat atau pemberian kontrak pemerintah buat kontributor berpengaruh.



Korupsi Politik

Korupsi politik telah menjadi fenomena hayati selama ribuan tahun, dimulai dengan upaya pertama pada bentuk pemerintahan nan demokratis di Yunani antik dan Roma. Hampir semua perwakilan politik negara-negara 'berasal dari kelas kaya, nan niscaya menyebabkan perpecahan antara kaya dan berpengaruh hampir berdaya si miskin.

Benih-benih kekerasan ditanam segera setelah senator dan pemimpin politik lainnya menyadari bahwa kekuasaan dan kekayaan dapat diraup. Korupsi politik seringkali dimulai dengan pilih kasih terhadap orang-orang dengan kekayaan dan pengaruh nan besar, alias berdekatan dengan para cukong.

Dalam pengertian modern istilah, jenis kegiatan ini ialah kanker pada integritas dari badan pemerintah. Pejabat publik sangat sedikit memulai karir mereka dengan tujuan menjadi korup, tetapi beberapa menyerah pada bentuk dursila dari tekanan teman sebaya dari waktu ke waktu.

Ada pula beberapa politisi nan berpengalaman, namun, buat siapa korupsi politik ialah keadaan alami menjadi. Sejarah penuh dengan contoh pejabat publik nan korup, seperti kisah penggelapan dana keluarga Marcos saat menjadi presiden Philiphina.

Penggelapan lewat pengelembungan biaya, juga dari suap dan gratifikasi buat nepotisme, pemerasan, dan penipuan semuanya ditujukan pada pemerintahan Tweed, tapi dia mampu menjaga penegakan hukum di teluk selama bertahun-tahun. Sejumlah hakim dan penegak hukum sudah di gaji misteri Boss Tweed itu. Korupsi politik selalu bisa tetap menjadi perhatian bagi pemerintah nan demokratis, tetapi ada sejumlah inspeksi independen dan balances nan dapat mencabutnya sebelum mempengaruhi integritas tubuh politik secara keseluruhan.

Kasus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) nan terjadi di republik ini pun makin memprihatinkan. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) nan dikeluarkan sebuah badan evaluasi korupsi nan legitimate, dengan angka 0 sebagai terkorup dan angka 10 terbersih dari praktik korupsi, Indonesia masih ditempatkan dengan angka 2,8. Betapa taraf korupsi negara kita masih tinggi.

Perkara korupsi kolusi dan nepotisme memang seperti (maaf) kentut nan terasa bau namun tidak kelihatan wujudnya. Di negara manapun, sekalipun negara maju persoalan korupsi ini masih menjadi bahaya laten nan mengancam kehidupan bernegara, nan sulit sekali dienyahkan. Amerika, Australia, dan negara-negara Eropa menghadapi persoalan hampir serupa dengan Indonesia dimana korupsi para elite masih merajalela.



Era Orde Baru

Jika melihat kembali catatan sejarah negeri ini, awal mula munculnya praktik korupsi kolusi dan nepotisme zaman orde baru. Ditenggarai banyak pejabat (mungkin lebih dari separuh) nan melakukan tindakan tidak terpuji tersebut dari pusat sampai ke daerah.

Sistem nan otoriter membuat supervisi masyarakat, LSM, dan elemen lain sulit buat dilakukan. Jangankan mengawasi sekali menyebut bahwa pejabat A korupsi kolusi dan nepotisme jangan harap ia akan hayati tenang. Perselingkuhan dan persekongkolan diantara sesama elite negeri ini makin tidak beraturan dan bertahan sampai jangka waktu nan sangat lama.

Korupsi kolusi dan nepotisme di era orde baru telah banyak meninggalkan warisan berupa akhlak pejabat nan masih saja mengidap sindroma KKN tersebut. Susah sekali membersihkan pejabat dari kultur-kultur kotor dan bobrok nan tidak seharusnya mereka miliki sebagai pejabat pelayan rakyat. Tak dapat ditampik, 32 tahun bukan waktu sebentar dan dianggap sukses buat menanamkan ideologi korup kepada para birokrat nakal negeri kaya raya ini.



Jangan Sampai Jadi Negeri Kleptokrasi

Istilah "kleptokrasi" nan merendahkan diterapkan ketika pemerintah dinodai oleh keserakahan dan korupsi nan meluas dan dipimpin oleh seseorang nan telah digunakan pemerintah buat pengayaan pribadi dan laba keluarganya.

Sementara akhiran "-ocracy" sering menyiratkan suatu bentuk pemerintahan, kleptocracies tak bentuk pemerintahan, melainkan pemerintah begitu fundamental korup bahwa mereka sulit, jika bukan tak mungkin, buat menyelamatkan.

Paling umum, situasi ini muncul dalam pemerintahan otoriter. Pemerintah tersebut meminjamkan diri buat korupsi sebab ada pertanggungjawaban sedikit dan kepala pemerintahan biasanya menunjuk teman-teman, anggota keluarga, dan rekan dekat dengan posisi kunci dalam pemerintahan dalam rangka buat mempertahankan kontrol dnia maling mereka.

Ini menetapkan sebuah kelas penguasa, dan dengan tak ada akuntabilitas, anggota pemerintah dapat leluasa menyalahgunakan dana pemerintah.

Dalam kleptokrasi, pendapatan pemerintah nan paling berakhir di tangan para pejabat, dan tak diterapkan buat proyek-proyek pekerjaan umum, kesejahteraan, dan kegiatan lainnya. Instansi pemerintah sering disfungsional sebagai dampak keterbatasan dana dan sedang dipimpin oleh orang nan tak memiliki kualifikasi.

Bantuan organisasi asing nan berusaha buat memberikan donasi dalam negeri mungkin akan frustrasi dengan melihat semua donasi dialihkan buat laba pribadi, dengan pemimpin nasional menjual donasi humanisme kepada penawar paling tinggi bukannya memungkinkan buat didistribusikan buat kebaikan rakyat.

Penyuapan umumnya diperlukan buat menyelesaikan tugas-tugas mulai dari mendapatkan izin bangunan buat membuka bisnis baru. Orang-orang dengan lebih banyak uang telah membeli negara dengan harga murah dari pejabat inilah kleptokrasi, alias negerinya para maling. Apakah Indonesia negeri para maling?



Reformasi

Zaman telah berganti. Sistem nan otoriter telah runtuh dan diganti oleh sistem nan biasa disebut oleh orang “lebih manusiawi”. Orde reformasi nan mengantarkan negeri ini ke demokrasi sebagai sistem bernegara nan dianut kita, kini. Satu dasawarsa pasca orde otoriter menjurus ke totaliter memang terlihat ada pemugaran di sana-sini. Namun belum menyentuh aspek reformasi birokrasi, terutama dalam “meluruskan” kembali moril para birokrat nan masih saja seolah terkooptasi oleh mental KKN warisan dari orde nan lalu.

Kini, praktik korupsi kolusi dan nepotisme masih menjadi PR bersama negeri ini. Dengan dibentuknya lembaga-lembaga negara nan baru, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Satuan Tugas Anti Mafia, dsb menandakan ada upaya-upaya buat melangkah menjemput pemugaran sistem, khususnya dalam penanganan korupsi. Namun demikian, munculnya Gayus dan praktik korupsi besar dan kecil lainnya membuat kita masih bertanya: sampai kapan negara ini kondusif dari praktik-praktik kotor korupsi kolusi dan nepotisme ini?