Kasus HAM - DOM Berakhir, Permasalahan HAM Aceh Belum Tuntas

Kasus HAM - DOM Berakhir, Permasalahan HAM Aceh Belum Tuntas

Aceh ialah daerah nan pernah dilanda konflik dalam kurun waktu nan cukup lama. Sebagai daerah konflik, berbagai kasus HAM sering kali ditemukan di sana. Setidaknya, ada beberapa catatan krusial terkait kasus HAM Aceh, di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Operasi Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM)
  2. Konflik bersenjata
  3. Darurat militer
  4. Darurat sipil

Dari sekian kasus tersebut, Operasi Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM) merupakan kasus HAM nan banyak disoroti oleh banyak kalangan. Sebab selama DOM diberlakukan di Aceh, berbagai kasus HAM berulang kali terjadi di sana.



DOM dan Kasus HAM (1989 - 1998)

Munculnya konflik di Aceh ialah sebuah bentuk perlawanan dampak adanya ketidakadilan nan dirasakan masyarakat Aceh. Aceh nan terkenal dengan kekayaan alamnya berupa minyak dan gas bumi, ternyata harus gigit jari sebab semua kekayaan tersebut justru diserahkan pemerintah kepada pihak asing.

Melalui sebuah perusahaan Amerika nan bernama Mobil Oil nan kelak bergabung dengan Exxon membentuk Exxon Mobil Indonesia, kekayaan gas alam Aceh nan terletak di Arun dibiarkan begitu saja dikeruk habis oleh mereka. Ditambah lagi dengan akibat lingkungan nan ditimbulkannya serta pengambil alihan huma secara curang, semakin melengkapi kegusaran masyarakat Aceh waktu itu.

Masyarakat Aceh sadar betul bahwa limpahan kekayaan alam nan seharusnya mereka nikmati ternyata justru diberikan pemerintah pusat kepada asing. Laba sumber daya alam nan semestinya dikelola pemerintah buat menyejahterakan masyarakat di sana, malah digelontorkan buat kepentingan elit penguasa maupun investor asing.

Padahal, masyarakat Aceh telah menorehkan perjuangan luar biasa dalam mengusir penjajah dari bumi Serambi Mekkah. Namun pada kenyataannya, mereka justru menjadi anak tiri bagi ibu kandungnya sendiri. Rasa sakit hati sebab diperlakukan tak adil inilah nan menyulut berbagai reaksi protes di sana.

Berbagai reaksi protes masyarakat Aceh nan menuntut keadilan serta gerakan-gerakan nan menentang akibat industrialisasi justru oleh pemerintah dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Munculnya GPK maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nan sudah eksis sejak tahun 1976, akhirnya membulatkan tekad Presiden Soeharto buat memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di sana. Dengan sandi Operasi Jaring Merah, DOM resmi diberlakukan pada tahun 1989.

Sayangnya, selama DOM berlangsung bukannya rasa kondusif dan kesejahteraan nan dirasakan masyarakat Aceh. Namun malah sebaliknya, keamanan masyarakat Aceh sangat terancam. Mereka seakan menjadi pesakitan. Berbagai teror dan tindak kekerasan menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sejumlah kasus HAM mewarnai sepak terjang aparat militer selama mereka bertugas di sana. Selama masa operasi DOM digelar, korban dari masyarakat terus berjatuhan.

Dalam kurun waktu 1989 hingga 1998 sudah tercatat 8.344 masyarakat sipil tewas, 4.670 anak-anak menjadi yatim, 1.465 wanita menjadi janda, 875 orang dinyatakan hilang, 298 orang cacat, 809 rumah dibakar, serta sejumlah kasus perkosaan ialah kisah tragis nan harus dirasakan oleh masyarakat Aceh. Ironisnya, pelaku semua tindakan pelanggaran HAM berat tersebut justru aparat keamanan nan seharusnya melindungi mereka.

Berdasarkan sejumlah kasus HAM di atas, jumlah janda nan paling tinggi dampak DOM disinyalir terjadi di daerah Pidie. Jumlah total janda di Pidie mencapai 5,5% dari total penduduknya (1990). Setidaknya pada waktu itu jumlah janda mengalami kenaikan hingga menembus angaka 24 ribu.

Banyaknya jumlah janda di Pidie menyebabkan rasio jumlah penduduk pria dan wanita menjadi tak proporsional. Disparitas nan mencolok tersebut sangat terlihat dalam rentan waktu antara tahun 1990 hingga tahun 1997, yaitu sebagai berikut.

  1. Tahun 1990 : jumlah penduduk pria 204.900, wanita 216.447
  2. Tahun 1991 : jumlah penduduk pria 205.549, wanita 217.608
  3. Jumlah nan serupa terjadi hingga tahun 1995
  4. Tahun 1996 : jumlah penduduk pria 219.533, wanita 238.012
  5. Tahun 1997 : jumlah penduduk pria 220.844, wanita 239.547

Persebaran jumlah janda di Pidie sangat merata di hampir setiap kecamatan. Peringkat teratas terdapat di kecamatan Pidie, Bandar Dua, Meuredu, Bandar Baru, Glumpang Tiga, dan Mutiara. Tidak hanya itu saja. Taraf pertumbuhan penduduk di Pidie juga terkena imbasnya.

Jika sebelumnya taraf pertumbuhan penduduknya rata 1,4% per tahun, maka kemudian terjadi kemerosotan hingga mencapai 0,4% per tahun. Padahal rata-rata pertumbuhan penduduk secara nasional pada waktu itu ialah 2%. Rendahnya taraf pertumbuhan penduduk Pidie disinyalir bukan sebab faktor KB, namun cenderung dampak tingginya angka kematian jika dibandingkan dengan angka kelahiran hidup.



Kasus HAM Aceh Menyebabkan Mental Disorder

DOM telah menyisakan trauma psikis nan berkepanjangan bagi masyarakat Aceh. Luka nan mendalam dampak DOM telah tertoreh dalam di hati anak-anak, wanita, pria, baik nan muda hingga nan tua. Mereka nan mengalaminya langsung tentu merasakan trauma psikis nan lebih berat bila dibandingkan dengan nan tak mengalaminya langsung.

Kasus HAM selama DOM berlangsung ternyata berpotensi menyebabkan mental disorder (kekacauan mental). Setidaknya, ada lima bentuk kekacauan mental nan timbul dampak hal tersebut. Di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Paranoid . Dimana timbul rasa takut, sehingga memunculkan rasa curiga dan sikap bermusuhan kepada orang nan tak dikenalnya.
  1. Neurosa Depresif . Semacam gangguan perasaan nan ditandai dengan tak bersemangat, merasa tak memiliki harga diri, apatis, menyalahkan diri sendiri, bahkan menimbulkan keinginan buat bunuh diri.
  1. Neurosa Phobia . Merupakan bentuk ketakutan nan luar biasa terhadap hal-hal nan mampu menimbulkan rasa trauma pada diri nan bersangkutan. Sebagai contoh, wanita nan mengalami tindak perkosaan akhirnya merasa takut terhadap sosok pria nan mirip dengan pelaku perkosaan.
  1. Neurosa Histerik . Sebagai tandanya ialah hilangnya fungsi fisik maupun mental nan tanpa dikehendaki. Bentuknya antara lain berupa konversi kecemasan nan berbentuk gangguan fungsional syaraf, misalnya buta, tuli, atau lumpuh pasca menjalani pengalaman traumatis. Reaksi lain nan muncul dapat berbentuk disosiasi, yakni terpisahnya sejumlah fungsi kepribadian. Salah satu contohnya ialah timbulnya amnesia dampak keinginan nan kuat buat melupakan trauma pada dirinya.
  1. Gangguan Seksual . Para wanita nan pernah diperkosa atau disiksa pada bagian alat vitalnya akan berpotensi mengalami frigid atau vaginismus (ketegangan pada vagina sehingga tak dapat melakukan interaksi secara normal).

Kekacauan mental lainnya nan muncul sebagai akibat trauma psikis tersebut dapat berbentuk neurosa maupun psikosa. Jenis neurosa masih bersifat temporer sehingga berpeluang buat disembuhkan. Sedangkan psikosa sifatnya menyeluruh dan dapat menimbulkan salah tujuan terhadap lingkungan. Oleh sebab itu peluang buat sembuh sangat minim.



Kasus HAM - DOM Berakhir, Permasalahan HAM Aceh Belum Tuntas

Meskipun akhirnya DOM tak lagi diberlakukan pada masa Presiden Habibie, bukan berarti kasus HAM Aceh dapat terselesaikan dengan tuntas. Setidaknya, ada sejumlah indikasi nan menunjukkan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Pertanggunjawaban Pemerintah

Masyarakat Aceh belum melihat sepenuhnya pertanggungjawaban pemerintah dalam mengatasi akibat DOM. Pemerintah belum menjalankan pertanggungjawaban secara hukum, sosial maupun politik. Pemerintah tak berani bertindak totalitas buat membongkar pihak-pihak nan harus bertanggung jawab dalam masalah ini.

Begitu pula dengan janda-janda korban DOM. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab melakukan rehabilitasi ekonomi kepada mereka. Belum lagi trauma psikis nan harus diderita oleh korban DOM. Sudah seharusnya mereka mendapatkan perhatian nan intensif dari pemerintah. Namun, nampaknya pemerintah belum menunaikan tanggung jawabnya secara totalitas buat semua itu.

2. Keadilan bagi Masyarakat Aceh

Keadilan nan selama ini dituntut masyarakat Aceh nampaknya hanya tinggal asa belaka. Buktinya hingga kini nan menikmati sebagian besar sumber daya Aceh tetaplah korporasi asing. Bahkan, keadilan HAM nan selama ini dikampanyekan di seluruh penjuru global ternyata tak berlaku bagi masyarakat Aceh.

Bumi Aceh nan telah menjadi saksi bisu ladang pembantaian keji aparat militer, hingga kini tak mampu berbuat apa-apa. Masyarakat pun dibuat menunggu dalam ketidakpastian, menanti itikad baik dari pemerintah.

Demikianlah, kasus HAM Aceh telah menorehkan tinta jelek di negeri ini. Semoga kasus nan serupa tak akan pernah lagi terjadi. Dimana nan diharapkan di negeri ini, khususnya oleh masyarakat Aceh ialah rasa keamanan serta tegaknya masalah HAM di bumi tercinta, Indonesia.