Nadhatul Ulama dalam Kancah Politik

Nadhatul Ulama dalam Kancah Politik

Nahdlatul Ulama dikenal luas sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Bahkan saat ini sudah banyak poilitikus nan berasal dari Nadhatul Ulama ikut berkecimpung dalam birokrasi pemerintahan di Negara Republik Indonesia.

Nahdlatul Ulama sebetulnya bukanlah pemain baru dalam percaturan politik nasional. Organisasi Islam ini sudah mulai terjun dalam politik praktis pada pemilihan generik tahun 1955 sebagai partai politik dan sukses meraih 45 kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan 91 kursi Konstituante.

Partai Nahdlatul Ulama pada era pemerintahan Presiden Soekarno dikenal sangat loyal sebagai pendukung setia Presiden Republik Indonesia pertama tersebut.



Sejarah Perjalan Nadhatul Ulama

Nahdlatul Ulama pada awalnya berdiri sebagai sebuah organisasi masyarakat berbasis ajaran Islam. Nahdlatul Ulama resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 1926, dan menunjuk K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar atau pimpinan paling tinggi organisasi.

Nahdlatul Ulama nan memiliki makna kebangkitan ulama atau kebangkitan cendekiawan Islam, didirikan sebagai wujud keprihatinan atas keterbelakangan mental, sosial dan ekonomi nan dialami bangsa Indonesia dampak penjajahan ratusan tahun dan tradisi nan dibelenggu.

Nahdlatul Ulama peduli di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi dengan mengaplikasikan paham Ahlussunah waljama'ah. Paham ini ialah paham moderat nan merupakan jalan tengah di antara dua paham ekstrem paham ekstrem aqli (rasionalis) dan paham ekstrem naqli (skripturalis).

Paham Ahlussunah waljama'ah dipilih sebagai landasan dan cara berpikir penganut Nahdlatul Ulama, dicetuskan oleh para tokoh pendiri organisasi, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mereka tersohor sebagai tokoh Nadhatul Ulama nan sangat memahami persoalan keagamaan atau teologi.

Nahdlatul Ulama memiliki basis massa nan sangat besar. Basis massa Nahdlatul Ulama terbagi dalam beberapa golongan, yaitu : anggota, pendukung atau simpatisan, serta kaum muslim tradisionalis nan memiliki visi dan paham nan sejalan dengan Nadhatul Ulama.

Basis massa Nahdlatul Ulama sebagian besar berada di daerah pedesaan, nan terdiri dari kaum santri dan para petani. Namun seiring dengan perkembangan tingkat hayati masyarakat, pengikut Nahdlatul Ulama kini tak hanya berasal dari kalangan petani dan rakyat jelata di pedesaan, namun juga berasal dari profesi nan beragam.

Ditinjau dari asal daerah, mayoritas pendukung Nahdlatul Ulama berdomisili di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pada umumnya, basis massa Nahdlatul Ulama mereka nan memiliki interaksi kuat dengan pesantren nan merupakan pusat pendidikan rakyat dan juga sebagai cagar budaya NU.

Saiful Mujani pada tahun 2002 melakukan penelitian, diperoleh bahwa sekitar 48 % santri di Indonesia merupakan anggota dan simpatisan Nahdlatul Ulama. Sementara dalam penelitian lain nan dilakukan oleh Suaidi Asyari, didapat hasil bahwa sekitar 51 juta warga muslim santri di Indonesia merupakan pendukung atau pengikut paham keagamaan nan dimasyarakatkan oleh Nahdlatul Ulama.



Pesantren Sebagai Basis Islam Lokal Nahdlatul Ulama

Pengembangan pondok pesantren dan madrasah menjadi konsentrasi Nahdlatul Ulama dalam mewujudkan komitmen buat memperkuat basis penguata Islam lokal di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terjadinya kelunturan nasionalisme dan rasa kebangsaan di kalangan masyarakat dengan tradisi keislaman nan kuat.

Kekuatan Islam nan membumi dengan tradisi lokal diwujudkan dengan mengangkat pesantren sebagai institusi pendidikan khas Indonesia nan sarat dengan muatan lokal dan toleran. Nahdlatul Ulama ingin mengubah pandangan pesantren di mata masyarakat global Internasional nan menyamakan pesantren di Indonesia dengan forum pendidikan serupa di Timur Tengah nan sering dianggap sebagai basis teroris.

Nahdlatul Ulama menilai perlu adanya advokasi dan pengenalan kepada masyarakat nasional dan internasional tentang global pesantren nan sebenarnya. Nahdlatul Ulama sangat ingin menyampaikan bahwa pesantren dan madrasah ialah forum pendidikan nan memiliki tugas menggali kearifan lokal nan selaras dengan nilai-nilai Islami. Tradisi dan kearifan lokal tersebut memiliki kontribusi nan besar terhadap bukti diri bangsa dan mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia.



Nadhatul Ulama dalam Kancah Politik

Nahdlatul Ulama bukanlah sekadar organisasi kemasyarakatan nan bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan. Nahdlatul Ulama juga dikenal sebagai partai politik nan sangat jaya di era tahun 1950an.

Peran Nahdlatul Ulama di kancah politik nasional, dimulai pada 1952 setelah resmi menyatakan berpisah dari Partai Masyumi. Nahdlatul Ulama kemudian mengikuti pemilihan generik tahun 1955, dan sukses memenangi 45 kursi di DPR dan 91 kursi di Konstituante. Nahdlatul Ulama kemudian menjadi sebuah partai politik nan sangat disegani dan dikenal sebagai pendukung setia Presiden Soekarno.

Pada era pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Nahdlatul Ulama sangat aktif menekan konvoi PKI melalui Gerakan Pemuda GP Ansor. Dalam perjalanannya dalam kancah politik nasional, Nahdlatul Ulama kemudian menggabungkan diri dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973.

Bersama dengan PPP, Nahdlatul Ulama mengikuti 2 kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1977 dan 1982. Setelah era orde baru, yaitu pasca reformasi tahun 1998, bermunculan partai-partai politik baru nan mengatasnamakan Nadhatul Ulama.

Salah satu partai Nahdlatul Ulama terbesar ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nan pendiriannya dideklarasikan Kyai Abdurrahman Wahid Atau Gus Dur. Sebelumnya, Gus Dur telah dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama nan sangat kritis terhadap pemerintah, dengan pola pikir moderat nan acapkali dipandang sebagai sebuah pemikirian nan kontroversial.

Pemilu tahun 1999, PKB sukses mengantarkan Gus Dur dalam tampuk kepemimpinan sebagai Presiden Republik Indonesia, dan memeroleh 51 kursi di DPR. Kemudian dalam pemilu tahun 2004, PKB kembali memeroleh 52 kursi di DPR. Menyongsong pemilu tahun 2014, beberapa partai politik berbasis Nahdlatul Ulama siap berkoaliasi, yaitu PKB, PKNU, PPNU dan PBR.

Dalam kancah politik nasional, kita mengenal beberapa nama politikus populer nan berasal dari Nahdlatul Ulama. Sebut saja Gus Dur nan sangat legendaris dan menjadi tokoh panutan bagi pengikut Nahdlatul Ulama, Muhaimin Iskandar nan saat ini menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Chofiffah Indar Parawansa mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Hasyim Muzadi mantan Ketua Generik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yeni Wahid nan merupakan putri Gus Dur, dan masih banyak nama lainnya.



Sembilan Panduan Berpolitik Warga Nadhatul Ulama

Dalam kiprah politiknya, warga Nahdlatul Ulama memegang 9 panduan berpolitik, nan merupakan hasil Muktamar NU XdlVIII di Krapayak Yogyakarta pada tahun 1989. Sembilan Panduan berpolitik warga Nahdlatul Ulama tersebut ialah :

  1. Terlibat secara menyeluruh sebagai warga negara sinkron dengan Pancasila dan UUD 1945.

  2. Berpolitik dengan wawasan kebangsaan menuju integritas bangsa dengan menjunjungtinggi persatuan dan kesatuan demi terwujudnya masyarakat nan adil dan makmur lahir dan batin.

  3. Mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan nan hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa buat menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam mencapai kemaslahatan bersama.

  4. Berpolitik dengan moral, etika, dan budaya nan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan nan adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan nan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

  5. Menjunjung tinggi kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sinkron dengan peraturan dan norma-norma nan disepakati serta bisa mengembangkan prosedur musyawarah dalam memecahkan masalah.

  6. Berkomitmen buat memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sinkron dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah.

  7. Tidak dibenarkan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

  8. Perbedaan pandangan dan aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain.

  9. Harus melaksanakan sistem komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional buat mengembangkan organisasi kemasyarakatan nan lebih berdikari dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai wahana buat berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.