Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Palestina

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Palestina

Pelanggaran hak asasi manusia saat ini menjadi pemandangan nan sangat familiar. Kita dapat menyaksikannya dengan gamblang dari gambar-gambar di televisi. Betapa banyak terjadi pelanggaran asasi manusia nan meresahkan dan melukai rasa keadilan dan humanisme kita sebagai makhluk berbudi.

Ketika Anda memaksakan seseorang buat melakukan sesuatu nan tak disukainya, itu berarti Anda sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai manusia nan bebas dan merdeka, kita mempunyai hak dan kewajiban nan sama dengan orang lain di sekitar kita. Rona kulit, suka, agama, ras, ataupun kebangsaan seseorang tak dapat membuat haknya berkurang atau bertambah. Manusia mempunyai kedudukan nan sama di mata Tuhan dan hukum.Itu idealnya. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.

Pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi di sekitar kita. Kalau kita menyaksikan film-film Hollywood, kesan nan didapat ialah seragam. Bahwa negara-negara nan tak sepaham dengan Amerika Perkumpulan merupakan negara nan dipenuhi teroris dan siap melakukan berbagai tindakan keji nan merugikan orang lain. Negara-negara di luar Amerika sendiri digambarkan sebagai negara nan tak pernah mengenal HAM.

Apakah sahih demikian? Silakan Anda melihat ke sekeliling dan saksikan apa nan terjadi. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di mana-mana. Tidak pandang bulu, negara maju atau negara miskin, sama-sama menjadi pelakunya. Orang tak lagi memandang hak orang lain sebagai sesuatu nan penting. Yang paling primer ialah kepentingan pribadinya. Sepanjang dirinya mendapat keuntungan, tak ada nan salah dengan apa pun keputusannya.

Anda tentu tak dapat melupakan peristiwa 9 September 2001. Meski terjadi di sebuah negeri nun jauh dari Indonesia kengerian nan ditimbulkan masih terasa hingga kini. Film-film nan membahas tentang para korban dari peristiwa ini masih terus dibuat. Hingga membuat bulu kuduk penonton meremang karenanya. Mengatasnamakan agama, sekelompok orang memutuskan buat melakukan tindakan mengerikan nan memakan korban luar biasa besar.

Saat itu, terjadi pelanggaran hak asasi manusia nan tak termaafkan. Para korban dan keluarganya niscaya masih sangat trauma dengan peristiwa itu, meski sudah berlalu sekitar satu dekade. Imbasnya, bagi agama eksklusif nan dituding sebagai penyebabnya pun masih terasa hingga kini. Perilaku-perilaku pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat peristiwa 9 September masih terus menghantui hingga saat ini. Entah kapan semuanya akan pulih lagi seperti semula.

Negara nan maju dan masyarakat nan berpendidikan tinggi tak menjamin bebas dari pelanggaran hak asasi manusia. Di Amerika Perkumpulan sendiri nan katanya merupakan negara paling demokratis di dunia, rasisme masih meraja lela. Entah itu rasisme terhadap bangsa lain, maupun terhadap agama tertentu. Sekali lagi, contoh nyatanya ada di film. Umumnya dalam film-film bertema terorisme, para penjahat ialah mereka-mereka nan berkebangsaan Arab. Sebelum ini, para penjahat ialah wajah-wajah dari negara komunis.



Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Televisi

Televisi ialah media nan menyajikan informasi dalam paket nan sangat lengkap. Mengapa lengkap? Karena televisi menyajikan gambar dan suara sekaligus. Ini membuat penonton seakan menyaksikan sendiri apa nan tersaji di layar gelas. Kini, semuanya bisa kita lihat di televisi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia.

Ketika terjadi perang dan tembak-menembak antara dua pihak nan berseteru, berarti telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Adegan-adegan seperti itu sudah tak asing lagi bagi kita nan hayati di era digital ini. Begitu juga dengan aksi demo nan berakhir ricuh, pemukulan terhadap seseorang, atau tawuran warga nan melibatkan banyak pihak.

Tayangan-tayangan nan sifatnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia begitu gencar menggempur televisi. Ingatkah Anda pada acara penjatuhan sanksi wafat terhadap Saddam Hussein nan diliput media dan disiarkan secara luas? Hal tersebut membuat George W. Bush nan saat itu menjadi presiden Amerika Perkumpulan mendapat sorotan dari seluruh dunia.

Bush dihujani oleh kecaman sebab tindakannya itu dianggap tak patut. Entah apa nan akan diutarakan oleh Abraham Lincoln, andai saja dia masih hidup. Lincoln ialah tokoh nan sangat gemar bersuara membela hak asasi manusia sekaligus demokrasi. Semasa hidupnya, pembebasan para budak menjadi salah satu hal nan diperjuangkannya.

Tayangan nan merupakan pelanggaran hak asasi manusi a lainnya ialah “pembantaian” terhadap Moammar Qadhafy. Penguasa Libya tersebut akhirnya meninggal global dalam kondisi nan mengenaskan, dibunuh di jalanan oleh rakyatnya sendiri. Hal nan sama juga dialami oleh salah seorang anaknya. Biadabnya lagi, saat-saat terakhir Qadhafy malah disiarkan secara luas di seluruh dunia. Bagaimana dia dalam kondisi berdarah-darah dan tak berdaya, mendapat penyiksaan nan mengerikan.

Lalu, apakah reaksi Amerika Perkumpulan nan mengaku sebagai negara paling demokratis di dunia? Mereka malah berkesan “mendorong” pendayagunaan warta tersebut secara besar-besaran sekaligus menyatakan kelegaan sebab pemimpin Libya tersebut sudah meninggal dunia. Kecaman justru datang dari pemimpin Rusia, Vladimir Putin nan menilai warta tersebut sudah sangat berlebihan.

Televisi pun tak pernah sepi dari tayangan tentang demo. Ada nan berjalan damai, namun lebih banyak lagi nan berakhir ricuh. Tidak sedikit pula nan memakan korban jiwa, wafat sia-sia. Atau tawuran warga. Semuanya niscaya menampilkan tindakan-tindakan nan tak sepatutnya dilakukan. Melukai dan merugikan orang lain, dipertontonkan secara nasional bahkan ada nan sudah berskala dunia. Apalagi jika informasi bisa diakses melalui internet. Otomatis seisi global dapat tahu sekaligus menyaksikan apa nan sedang terjadi si salah satu pelosok Indonesia, misalnya.

Pelanggaran hak asasi manusia nan ditayangkan monoton di televisi tentu akan berakibat jelek bagi para penontonnya, terutama anak-anak. Anak selalu menjadi korban terbesar dalam banyak peristiwa. Mereka masih lemah dan muda, belum mempunyai pertahanan diri nan cukup buat menghadang berbagai pengaruh jelek dalam hidupnya. Itulah sebabnya orangtua harus bijak dalam memilihkan tontonan televisi untuka anak.



Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Palestina

Bicara tentang pelanggaran hak asasi manusia, tentu tak dapat lepas dari kondisi sebuah bangsa nan sedang terjepit, Palestina. Hingga detik ini, belum ada titik terang nan membahagiakan buat masa depan bangsa ini. Sementara di sisi lain Israel terus melancarkan agresinya tanpa ampun. Segala alasan dibuat demi membenarkan tindakan mereka. Penyerangan ke pemukiman penduduk ataupun ke loka ibadah, dilakukan tanpa pikir panjang.

Kondisi di Palestina sudah berjalan selama puluhan tahun. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia sudah terjadi di sana. Awalnya, Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris dan orang Yahudi menetap di sana. Namun, Holocaust membuat situasi berubah. Hitler melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menghabisi sekitar 6 juta orang Yahudi. PBB kemudian turut campur setelah Perang Global II berakhir dan membagi dua Palestina.

Keputusan PBB ini kemudian menimbulkan masalah baru, hingga perang pun tak dapat dielakkan. Israel akhirnya memenangkan “Perang Enam Hari” dan menguasai Sinai, Jalur Gaza, serta West Bank. Sejak itu, Palestina terus bergolak hingga detik ini. Pelanggaran hak asasi manusia tak berhenti. Aksi militer kerap dilakukan oleh Israel demi “mengamankan” wilayah mereka. Perjanjian Camp David akhirnya ditandatangani pada 1978 antara Mesir dan Israel. Itu ialah salah satu upaya damai nan sangat bersejarah bagi kedua belah pihak.

Perjanjian ini juga sekaligus menjadi tanda dikembalikannya Sinai kepada Mesir. Meskipun pelanggaran hak asasi manusia nyata-nyata terjadi di Palestina, anehnya global tak bereaksi. Termasuk PBB nan harusnya dapat menjadi penengah nan tepat. Amerika Perkumpulan dengan hak vetonya selalu berupaya menggugurkan semua hukuman nan sepatutnya dijatuhkan kepada Israel. Sampai kapankah pelanggaran hak asasi manusia ini akan terus bertahan? Semoga tak lama lagi.