Budaya “Cinta Mati” Romeo dan Juliet

Budaya “Cinta Mati” Romeo dan Juliet




Sinopsis Drama Legendaris Romeo dan Juliet

Seorang pemuda dari keluarga Montague bernama Romeo Montague berjumpa dan jatuh cinta pada Juliet Capulet. Kedua keluarga (Montague dan Capulet) bermusuhan. Dengan demikian, Romeo dan Juliet tak dapat berhubungan.

Kehidupan pasangan nan dimabuk asmara itu semakin rusak ketika Romeo memiliki “dosa asal” membunuh seorang Capulet. Dikisahkan, Mercutio sahabat Romeo dihabisi sepupu Juliet, Tybalt. Romeo membalas tindakan tersebut dengan membunuh Tybalt.

Kejadian ini tentu saja menjadi catatan tersendiri dalam percintaan mereka. Sementara itu, Juliet juga hendak dinikahkan dengan orang lain, Paris. Juliet berkonsultasi kepada Friar Laurence. Sang Friar mengusulkan planning agar Juliet berpura-pura wafat dengan meminum racun nan diolah sedemikian rupa.

Juliet memang akan “mati”, tapi sebenarnya ia hanya kelenger atau tidur sementara waktu. Dengan demikian, Juliet akan dimakamkan. Saat itulah Romeo akan menjemputnya dan membawa Juliet pergi.

Naas bagi Romeo, ia sama sekali tak mengetahui planning Friar Laurence sebab surat nan dikirimkan Friar gagal sampai. Ia buru-buru mendatangi makam dengan membawa racun nan dibelinya dari The Apothecary, melihat Juliet nan “mati”, berkelahi dengan Paris hingga Paris mati. Melihat sang kekasih sudah “mendahuluinya”, Romeo menangis dan memutuskan bunuh diri. Ketika Juliet tersadar dan mendapati Romeo mati, ia bunuh diri pula.




Makna Dramatis dalam Drama Romantis Romeo dan Juliet

Banyak nan berpendapat bahwa kisah Romeo Juliet ditulis Shakespeare buat menunjukkan betapa buruknya feodalisme; mengurung cinta nan merupakan kebebasan hakiki manusia.
Kematian Romeo dan Juliet nan tragis menggambarkan bahwa ketika kehidupan sudah dipenuhi sekat-sekat, perseteruan antarmanusia, kehidupan tersebut tak mampu lagi menampung mimpi. Bunuh dirinya Romeo kemudian Juliet ialah bentuk pencarian mimpi tersebut, atau dalam kata lain, “jika cinta memang tak dapat terjangkau; maka buatlah segalanya benar-benar tak terjangkau”.

Para peneliti biasanya berpendapat bahwa ketika Shakespeare menulis Romeo and Juliet, Eropa tengah memasuki zaman Ressaisance. Pada saat itu, tatanan ekonomi dan sosial nan lama mulai berganti. Gereja Katolik, sebagai otoritas paling tinggi Barat saat itu, diserang habis-habisan oleh Reformasi Gereja; nan membuka kedok Gereja dalam memperjualbelikan pahala dan dosa.

Sementara itu, orang-orang Eropa tengah melakukan penjelajahan global demi membuka cakrawala perdagangan nan lebih luas. Kemudian berimplikasi pada kolonialisme pada benua-benua Afrika, Asia, dan Amerika.

Di lain pihak, pengagungan Tuhan dan akhirat (hidup sesudah mati) berubah menjadi pengagungan manusia dan kepuasan hayati duniawi. Shakespeare dengan jitu membuat Romeo dan Juliet menjadi oposisi terhadap pandangan masyarakat baru ini sekaligus oposisi pula terhadap pandangan feodalisme nan berkausa di Eropa sebelumnya.

Kematian Romeo dan Juliet ialah pemberontakan kepada tatanan. Romeo dan Juliet seolah melontarkan pertanyaan, “manusia nan sukses lepas dari sistem nan lama dan mulai terjebak sistem nan baru, bisakah kalian seperti kami nan tak terkungkung apa pun? Ketika kungkungan terhadap kami meluas, kami merusaknya; merusak diri kami pun tidak masalah sebab cinta tak boleh terkungkung”.

Lantas, berbagai pendapat pun kemudian mengalir dari berbagai sisi. Ada nan menganggap bahwa pemberontakan nan disiratkan dalam kisah tersebut merupakan sebuah pemberontakan nan bernilai negatif sebab berakhir dengan sebuah tabu nan pada zaman tersebut ialah sebuah dosa besar (yakni bunuh diri).

Akan tetapi, ada juga nan berpendapat bahwa dengan pengorbanan dan pemberontakan seperti itulah maka sebuah sistem nan salah mampu ditohok agar benar-benar memahami kondisi masyarakat nan ada di bawahnya.

Perdebatan seperti ini mungkin harus dikaji lagi dari berbagai sudut pandang, baik dari seghi sosiologis, psikologis, maupun teori dan pendekatan lain nan mampu menguak berbagai penanda dan petanda dalam kisah kanon tersebut.




Budaya “Cinta Mati” Romeo dan Juliet

Selain memberikan pengaruh nan cukup besar terhadap khasanah sastra di dunia, kisah legendaris tersebut juga ternyata mampu menciptakan budaya massal di berbagai kalangan nan membuat makna “cinta mati” menjadi benar-benar bertendensi ke arah kematian.

Padahal, kisah tersebut sebetulnya bukan hanya meberikan makna percintaan bagi para pembacanya, tapi juga makna lain mengenai keutuhan sebuah sistem. Tanpa sistem nan baik, maka sebuah tubuh atau pertubuhan tak akan dapat menjalankan apa nan ditujunya dengan sempurna.

Kebobrokan sistem menjadi satu tanda bahwa manusia dalam sebuah sistem sama halnya dengan organ intim dan alat vital dalam sebuah sistem fungsi nan terdapat di dalam tubuh.
Jika salah satu organ tubuh manusia mengalami disfungsi, maka bukan tak mungkin tubuh pun akan mengalami kerusakan dan bahkan mengalami kematian. Oleh karena itu, ada satu sistem kolaborasi nan diharapkan mampu dibentuk oleh suatu sistem agar tujuan aplikasi sebuah sistem dapat berjalan dengan baik, sebagaimana mestinya.

Pemahaman seperti inilah nan kurang dipahami oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Hampir seluruh pembaca awam mengenal kisah legendaris Romeo dan Juliet sebagai sebuah penggalan kisah romantis nan menjunjung tinggi nilai cinta mati.

Tidak heran jika budaya cinta wafat nan tak mengenal logika dapat berhamburan dalam budaya percintaan di Indonesia sebab hal tersebutlah nan ditangkap oleh kebanyakan masyarakat pembaca di Indonesia.

Penanda dan petanda nan seharusnya dianalisis lebih dalam dari kisah tersebut hanya dibahas secara permukaannya saja sehingga nilai-nilai konotatif dan denotatif dari kematian Romeo dan Juliet menjadi sama dengan nilai kematian sebenarnya nan kita temui dalam sebuah upacara kematian.

Lantas, apa nan dihasilkan dari budaya cinta wafat tersebut? Tentu saja bukan hal nan melulu buruk. Ada sebuah pengorbanan dan rasa tanggung jawab terhadap orang nan dicintai nan muncul dari budaya tersebut.

Namun, kurangnya pendidikan serta kualitas pemikiran masyarakat di Indonesia ini membuat pengertian “cinta mati” sebagai sebuah nilai nan agung dan merupakan hal nan baik apabila seorang pasangan menghilangkan berbagai nalar demi membuat orang nan dicintainya bahagia.

Secara sosiologis, mungkin hal itulah nan dapat ditangkap oleh masyarakat budaya di Indonesia. Meskipun masih banyak hal lain nan sebetulnya dapat diambil sisi positifnya mengenai pemikiran sistemik nan mengungkung suatu nilai-nilai kehidupan dalam kehidupan masyarakat.

Namun, ada satu hal nan dapat diambil dari sudut pandang sosiologis, yakni mengenai refleksi sistem tatanan masyarakat nan berada pada masa Shakespeare. Hal tersebut merupakan bukti bahwa sastra merupakan cermin dari kehidupan konkret nan melatarbelakangi munculnya kesusastraan tersebut.

Bukan hanya sebatas hiburan mengenai percintaan, atau insinuasi mengenai sebuah tatanan sosial nan tak apik, tapi juga sebuah cermin nan secara tak langsung memperlihatkan kepada global bahwa karya sastra ialah kehidupan nan diminiaturkan oleh manusia lewat bahasa.

Konflik sosial, budaya, dan politik dalam kehidupan masyarakat selalu menjadi isu nan tak pernah lepas dari ketegangan sistem. Sebuah sistem nan baik maupun jelek akan tetap memiliki konflik tersebut nan pada akhirnya berkaitan pula dengan konflik budaya.

Segala aspek dalam kehidupan akan muncul dengan sendirinya lewat celah nan disediakan konflik tersebut. Sistem nan bekerja pada suatu massa akan melahirkan sistem lainnya nan terus menerus beranak-pinak hingga akhirnya manusia dapat sadar bahwa nan tinggal dari segala kekacauan ialah sebuah konflik.