Bungkus, Penculik Pahlawan Revolusi Mayjen M.T. Harjono

Bungkus, Penculik Pahlawan Revolusi Mayjen M.T. Harjono

Banyak orang masih mempersalahkan PKI atas kematian para pahlawan revolusi . Apalagi propaganda nan dilakukan oleh antek-antek orde baru begitu meyakinkan bahwa pelaku kekejian pembantaian dewan jenderal nan dilakukan pada 1 Oktober 1965 ialah PKI. Hal tersebut dijadikan alasan buat melakukan pembantaian berbagai pihak nan terkait dengan PKI mulai dari 1965 hingga berakhirnya orde baru.

Berbagai buku telah disusun demi mengungkap kejadian nan sebenarnya, di antaranya ialah "Dalih Pembunuhan Massal" garapan John Roosa. PKI menjadi kata nan sensitif, banyak orang takut dicap PKI sebab dapat tiba-tiba hilang atau dibantai secara keji oleh militer. Di tengah kesimpangsiuran mengenai kejadian sebenarnya pada perebutan kekuasaan nan dilakukan oleh Soeharto pada 1965 itu, berikut ini gambaran dari sisi pelaku penculikan para pahlawan revolusi.

Berdasarkan nan ditetapkan oleh orde baru, mereka nan termasuk dalam pahlawan revolusi ialah enam perwira tinggi dan satu perwira pertama. Keenam perwira tinggi itu ialah Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani, Letjen. (Anumerta) Mas Tirtodarmo Harjono, Letjen. (Anumerta) Siswondo Parman, Letjen. (Anumerta) Suprapto, Mayjen. (Anumerta) Donald Isaac Pandjaitan dan Mayjen. (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo. Dan satu perwira tinggi ialah Kapten CZI (Anumerta) Pierre Tendean.



Buntoro, Penculik Pahlawan Revolusi Jenderal S. Parman

Buntoro, anggota Yonif 450 Kodam VII/Diponegoro (Jawa Tengah) nan bergabung dalam resimen Cakrabirawa Yon I/KK ialah salah satu anggota dari pasukan nan bertugas buat menjemput Jenderal S. Parman. Kronologi penculikan para pahlawan revolusi dimulai dari pukul 01.55 dengan diumumkannya hari H operasi 1 Oktober 1965 tepat jam 02.00. Operasi direncanakan berakhir pada pukul 4 dini hari. Tepat pukul 2 dini hari, Buntoro bersama pasukan bergerak menuju target dengan dipimpin oleh Sersan Mayor Satar nan saat itu berpangkat Letda Tituler.

Sasaran mereka ialah rumah Jenderal S. Parman nan bertempat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampai di rumah Jenderal S. Parman, tak ada hambatan, mereka langsung masuk dengan meminta izin terlebih dahulu dari penjaga. Beberapa orang penjaga di bawah koordinasi Danton Serma Satar membangunkan Jenderal S. Parman. Dengan hanya berpakaian piyama, Jenderal S. Parman pun naik kendaraan dan menuju induk pasukan di Lubang Buaya.

Pukul 03.40 pasukan sampai di Lubang Buaya dan Jenderal S. Parman diserahkan pada Letkol. Untung (Danyon I/KK Resimen Cakrabirawa) oleh Serma Satar selaku Komandan Operasi. Kira-kira pukul setengah enam pagi terdengar suara tembakan beruntun dalam jeda dekat. Kemudian, Komandan Operasi Serma Satar bersama sebagian anggota mencari warta apa nan sebenarnya terjadi.

Sebelum Buntoro sampai di lokasi penembakan, Serma Satar mengatakan bahwa para jenderal nan merupakan pahlawan revolusi itu dimasukkan dalam sumur dan ditembak oleh sekelompok orang tak dikenal nan bertubuh kekar. Juga tak terlihat reaksi apa-apa dari Letkol. Untung.

Maka pasukan nan bertugas menciduk Jenderal S. Parman merasa tertipu dan memutuskan buat menghadap Letkol. Untung. Ternyata Letkol. Untung bersama dengan Syam Kamaruzaman telah meninggalkan loka pembantaian para pahlawan revolusi itu secara diam-diam tanpa memberi tahu siapa pun. Maka pasukan pun melakukan pengejaran menuju Jawa Tengah dan melakukan inspeksi pada setiap kendaraan nan berlalu.

Pukul tujuh pagi, ada pengumuman mengenai susunan Dewan Revolusi nan dibacakan oleh Letkol. Untung. Diumumkan juga mengenai kenaikan pangkat dua taraf bagi nan ikut gerakan dan pangkat paling tinggi hanya Kolonel. Pada 4 Oktober 1965, pasukan diperintahkan buat kembali ke Induk Pasukan di Jakarta atas perintah Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur.

Dalam perjalanan, terbetik warta soal perintah Jenderal A. H. Nasution melalui RRI agar menangkap dan mengejar orang-orang PKI dan bila perlu harus dibunuh hingga ke akar-akarnya. Jelas perintah tersebut ialah perintah nan sentimen dan emosional.



Bungkus, Penculik Pahlawan Revolusi Mayjen M.T. Harjono

Serka Bungkus bertugas di Resimen Cakrabirawa sejak satuan itu dibentuk pada 1963. Di bawah komando Lettu Dul Arief, Serka Bungkus bertugas buat menjemput Mayjen M. T. Harjono nan merupakan salah satu dari pahlawan revolusi. Bungkus mendengar perihal "Dewan Jenderal" pada 30 September 1965.

Sekitar pukul tiga sore, Letnan Dul Arief memberi briefing di Halim nan semula bernama Lubang Buaya. Ketika briefing nan datang bukan hanya dari Cakrabirawa, melainkan juga perwira-perwira dari kesatuan lain. Di antaranya Komandan Batalyon Raiders Brawijaya dengan Kompi-kompinya, lalu hulubalang Batalyon Jawa Tengah. Perwira-perwira tinggi juga lumayan lengkap nan hadir. Dalam briefing tersebut, dikatakan bahwa sekelompok jenderal nan kini menjadi pahlawan revolusi tersebut akan menangkap Bung Karno. Mereka itulah nan disebut sebagai Dewan Jenderal.

Demi menculik para pahlawan revolusi, pasukan Cakrabirawa dibagi menjadi tujuh oleh Dul Arief. Pasukan Bungkus berangkat sekitar jam setengah empat pagi. Pasukan diberi ketentuan bahwa waktu operasi hanya lima belas sampai dua puluh menit dari titik pelaksanaan. Hanya satu pasukan Cakrabirawa nan terlambat, yaitu nan menunaikan tugas ke rumah Jenderal D. I. Pandjaitan sebab terjadi pertempuran. Hal tersebut nan menyebabkan jatuhnya korban.

Tiba di rumah Mayjen M. T. Harjono, Bungkus bertanya pada pembantu M. T. Harjono dan oleh pembantu dijawab bahwa beliau baru datang. Memang menurut informasi nan diterima oleh Bungkus, para jenderal nan menjadi pahlawan revolusi itu sedang mengadakan rendezvous di suatu tempat.

Tugas pasukan ialah mencegat kedatangannya. Setelah itu, Ibu Harjono nan keluar dan menginformasikan bahwa Bapak tak bisa, kemudian beliau menutup pintu. Maka Bungkus pun mendobrak pintu tersebut, pintu terbuka namun kondisi sudah gelap sebab lampu dimatikan. Tiba-tiba, ada bayangan putih lari, Bungkus terkejut dan mengangkat senjata.

Namun tiba-tiba, anak buahnya menembak dan bayangan putih itu jatuh. Mayjen M. T. Harjono tertembak dengan luka tembak tembus dari punggung ke perut. Pak Hajono pun diangkat ke truk buat dibawa ke Lubang Buaya.

Suasana di Lubang Buaya begitu mencekam. Para jenderal pahlawan revolusi nan masih hayati digandeng dua-dua. Tidak ada penyiksaan, seorang jenderal ditaruh di pinggir lubang, lalu ditembak masuk ke lubang. Lalu datang lagi, duduk, tembak. Eksekusi tersebut bukan dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa, tapi nan bertugas teritorial.

Tidak ada penyiksaan seperti diiris-iris atau diseret-seret, apalagi sampai cungkil mata. Para jenderal pahlawan revolusi hanya digandeng dan dibimbing buat ditembak jatuh ke dalam lubang.

Sebelum film mengenai Gerakan 30 September demi mengenang pahlawan revolusi dibuat, Bungkus nan sudah dipenjara sekitar tahun 1980an didatangi oleh seorang letnan satu. Orang tersebut mengatakan bahwa pemerintah berencana membuat dokumentasi negara. Film tersebut jelas mendiskreditkan PKI, padahal PKI nan saat itu merupakan partai besar dan menjadi kesayangan Soekarno tak ada kaitannya.

Jika memang sahih PKI nan bergerak, niscaya sulit mengatasinya sebab memiliki basis massa nan besar. Peristiwa pemberontakan tersebut murni antar tentara dalam Angkatan Darat. Isu perebutan kekuasaan dilakukan oleh PKI tak logis sebab pada pemilu mendatang sudah niscaya dimenangkan oleh PKI tanpa sine qua non kudeta. PKI hanya menjadi kambing hitam dalam pembantaian pahlawan revolusi.