Anti Dewey, Filsafat Hancurkan Sekolah

Anti Dewey, Filsafat Hancurkan Sekolah

Ada masanya manusia hayati dalam mitos-mitos nan tak ada pembuktian. Tidak ada realisme. Tidak ada logika. Tidak ada pengamatan. Tidak mengenal institusi pendidikan. Namun, masyarakatnya mampu mengorganisasi diri dan hayati lebih lama, lebih tenteram, lebih bebas dari kelompok lain nan mengenal sekolah.

Suku-suku tribal Britania seperti Saxon, Angle, Pictish, Irish, Welsh, menolak mentah-mentah peradaban Romawi walaupun mereka dijajah dan dikangkangi. Anak-anak mereka memboikot sekolah. Namun, bangsa itu hayati lebih ajeg dibanding penduduk kota Roma nan punah belasan kali sebab diserang bangsa lain, dibinasakan, sampai digantikan oleh manusia baru. Filsafat ilmu pendidikan tribal tak pernah mendorong orang buat membangun sekolah dan memprogram jenis asupan makna apa nan berhak diisikan secara berkelompok.

Sebelum tulisan ini jatuh pada kisah sendi ujian nasional di Indonesia, perlu ditekankan bahwa ada beberapa genre filsafat pendidikan tumbuh di luar tensi akademis nan ada. Mereka tumbuh bagai benalu, mengisap sari-sari pemikiran para akademis, lantas mempraktikannya dengan mengabsenkan kertas ijazah.

Aliran semacam itu nan tampaknya diperlukan buat menyaingi peran sekolah nan semakin kolutif dengan tujuan pedagogis nan ingin menyempurnakan nilai manusia.

Terkecuali dari tokoh-tokoh seperti C.S Pierce, John Dewey, Soren Kierkegaard, atau Thomas Aquinass. Pendidikan ialah penerapan teorinya dengan tepat. Oleh sebab itu, harus setia dengan ragam pendekatan pedagogis dari model penyuluhan, penerapan hukum, pemasangan rambu-rambu, dan penyisipannya dalam bentuk kertas ujian. Semuanya demi membangun generasi nan baik.



Perlombaan Generasi demi Kolapsnya Bumi

Yang tak disadari para filsuf pendidikan ialah apa nan mereka canangkan sebagai antisipasi generasi, rekayasa generasi, atau pendidikan terpadu, telah membawa bumi ke posisi kritis.

Perlombaan sumber daya manusia oleh segenap negara bangsa, ekuivalen dengan pemborosan sumber daya alam, pengerukan nan lebih cepat pula menghabiskan, dari para terdidik nan mereka tumbuhkan di sekolah.

Bumi lebih cepat ambruk, ekologi semakin tersingkirkan justru ketika para sarjana tehnik tercetak lebih banyak. Namun, setiap bangsa tak mau tertinggal SDM-nya dari segi IPTEK.

Amerika Perkumpulan merupakan corong besar nan memperlihatkan kesuksesan dominasi IPTEK. Oleh sebab itu, perlu ditiru habis sistem pendidikannya.

Di Indonesia, misalnya, dipaksakan satu model pendidikan kelas internasional nan digemari para ibu rumah tangga nan ingin anaknya terlihat keren. Sangat sophisticated dan bloon , mengingat hasilnya nan tak jelas mau di kemanakan. Mengingat ekonomi Indonesia ditopang oleh pertanian dan perikanan, bukan alih teknologi.

Sudah jelas Indonesia tengah ikut dalam perlombaan generasi. Dalam filosofis pendidikannya, meremix paduan progesivitas dengan behavioritas. Melupakan sisi perrenialis dan esensialis dari pendidikan nan hendak diajukan.

Manusia apa nan hendak di bentuk para pendidik? Itulah pertanyaan krusial dari ilmu pendidikan nan dipelajari para guru. Di tengah kerja berat mereka. Di tengah gaji kecil nan mustahil mereka. Di tengah para birokrat kementerian pendidikan nan korup. Orang tua murid penuntut. Dan anak-anak pelajar nan diasuh televisi.



Filsafat Sederhana dan Pragmatis

Adalah John Dewey nan memberikan kepada kita kisah pendidikan modern, yakni pendidikan di sekolah nan mengajarkan pragmatisme pada anak didik. Dalam konsep ini, setiap dari kita ialah bundel hadiah nan unik nan memiliki talenta dan pengembangan diri kepada suatu keterampilan. Namun nan memberatkan di siniketerampilan tersebut ternyata di tentukan nilainya oleh negara atau setidaknya kebutuhan industri di masyarakat.

Sehingga pandangan akan keberhasilan nisbi dalam hayati tergantung pada seberapa banyak mereka tak percaya pada diri sendiri, tak percaya pada sisi jenius mereka pribadi, dengan membuatnya tak terpelihara dan membiarkannya tumbuh bebas.

Pragmatisme mengajarkan suatu jalan kepada peserta didik buat mengisi kolom kolom kerja nan sudah tersedia. pendidikan ialah nan memberikan kita kesempatan buat tak mengungkap dan menyadari talenta bawaan sendiri, sambil memberikan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah pada kita sendiri. Karena soal ujiannya sudah dalam bentuk pilihan berganda.

Baik pendidikan dan kesuksesan ialah konsep nan absolut dalam filsafat Dewey ini dalam arti bahwa disparitas pendapat ialah sesuatu nan dapat menghalangi keteraturan nan hendak di ciptakan dari pendidikan itu sendiri.



Anti Dewey, Filsafat Hancurkan Sekolah

Pendidikan nan sesungguhnya pada titik anti Dewey bukanlah salah satu nan memungkinkan Anda buat berpikir buat diri sendiri dan menerapkan apa nan telah Anda pelajari. Murni mengetahui fakta dan mampu secara efektif mengingat merasa diri sedang dididik buat sesuatu.

Dididik walau pada akhirnya mampu membuat keputusan sendiri dan membentuk pendapat sendiri berbagai hal-hal. Yang tetap saja koridornya ialah tujuan pragmatisme sekolah. Dalam hal ini global kariri.

Dunia inilah nan menanamkan keterampilan nan memungkinkan siswa buat sukses dalam setiap bidang usaha manusia nan membuat kontribusi pengulangan. Apa nan dimaksud sebagai kontribusi pengulangan, adalah, peserta didik kelak di PROYEKSIKAN menjadi tenaga nan melakukan pekerjaan berulang menggantikan mereka nan tua, entah di pabrik, di bank,di perkantoran. Dan itulah nan diserang oleh anti Dewey. Bagi mereka sekolah ialah loka berseminya kejahatan. Loka para peserta didik menjadi zombie, dan bagi mereka lebih janggal lagi konsep itu dipraktikan di wilayah keagamaan.



Pendidikan dalam dua Faktor

Ada dua faktor pendidikan nan harus membentuk dua aspek nan berbeda dari jiwa manusia - satu ialah kecerdasan analitis dan nan lain ialah kecerdasan emosional. Yang pertama berkaitan dengan kemampuan buat memecahkan masalah teknis sedangkan penawaran kedua dengan kemampuan buat berempati, berkomunikasi, berhubungan dengan sesama kita manusia.

Filsafat ini gabungan antara Pemahaman gestalt dengan Jungian. Pendidikan harus menjadi manusia bukan secara kognitif melainkan juga secara emosional. Maka dari itu mulai di cobakan di sekolah sekolah eksklusif metodenya.

Dan jadi sebuah sistem pendidikan nan sehat dan ideal di mana kedua aspek dari jiwa manusia buat membentuk karakter dengan semua kemampuan nan dibutuhkan buat hayati senang dan berhasil di pelajari.



Mengapa Pendidikan Kunci Sukses

Manusia ialah apa nan pikirannya menjadi. Pendidikan memberikan arahan kepada pikiran-pikiran. Sukses ialah lebih dari sekedar akumulasi kekayaan materi. Saya percaya bahwa kesuksesan bukanlah tujuan tetapi sebuah perjalanan tak pernah berakhir dalam eksplorasi diri.

Hal ini membuka potensi sejati buat membuat hayati sendiri sebuah karya seni. Sukses memiliki lebih dari satu dimensi buat itu. Mendapatkan kekayaan materi bukanlah satu-satunya.

Untuk apa gelar nan telah di taklukkan dan mencapai pembebasan dari global pendidikan jika orang tak menginginkan dan membutuhkan indikator hal-hal lain nan namanya keberhasilan. Pendidikan telah memainkan peran besar dalam menentukan potensi kita buat mencapai kesuksesan ini. Dan semua sepakat, pendukung filsafat ilmu pendidikan baik anti sekolah dan pendukung sekolah, nan namanya pendidikan harus punya kualifikasi dan level..

Karena pengetahuan spesifik nan diperoleh melalui level demi level membuka peluang dalam bentuk pekerjaan nan baik, dengan profil pekerjaan nan menantang. Sementara pendidikan tinggi tak bisa menjamin kesuksesan, tentu menempatkan Anda dalam posisi buat bekerja dengan nan terbaik di lapangan dan mendapatkan pengalaman berharga, nan dapat didapatkan DI MANA SAJA, tanpa menyebut sekolah, namun nan lebih krusial ada GURU nan diakui oleh masyarakat sebab keahliannya. Meneruskan keahlian guru bahkan memperbaikinya menjadikannya lebih baik, itulah puncak makna filsafat ilmu pendidikan sebenarnya.