Contoh-contoh Puisi Bala Alam

Contoh-contoh Puisi Bala Alam

Bagaimana isi puisi bala alam ? Puisi merupakan salah satu jenis bentuk karya sastra nan lebih padat dalam penggunaan wahana artisitiknya (bahasa: pemilihan diksi atau kata), namun memiliki makna nan sangat luas. Sebab sebab ruang nan terbatas ini, maka artis akan berusaha memilih diksi nan padat dan universal agar mampu mewakili hal-hal nan lebih luas. Oleh sebab itu, berbagai penafsiran nan berbeda juga akan muncul buat memaknai sebuah puisi.

Puisi memiliki keindahan kebahasaan nan lebih tinggi dibandingkan karya sastra lain. Selain makna nan padat, dalam memilih diksi-diksinya, sang penyair juga harus menyelaraskan dan membentuk harmonisasi bunyi pada puisi-puisinya.

Selain mengandung keindahan nan besar, seringkali puisi juga digunakan sebagai katarsis, yakni penyucian jiwa bagi penyairnya. Dalam konteks kehidupan sosial, puisi seringkali digunakan sebagai sebuah bentuk protes atau kritik terhadap kehidupan nan semerawut nan disebabkan oleh sebagian orang, misalnya terhadap birokrasi pemerintahan atau ulah tangan-tangan manusia nan dapat menimbulkan kerusakan ekosistem atau ekuilibrium semesta nan akhirnya menyebabkan bala alam.

Puisi bala alam, selain sebagai kritik pada sesama manusia dan alat buat memotret sebuah peristiwa bala nan terjadi, juga sebagai teks perenungan maupun pengaduan terhadap Tuhan. Misalnya mempertanyakan mengenai kesalahan pada diri sendiri (instrospeksi)? Mengapa Tuhan memberikan sebuah bencana? Atau mengenai pertanyaan-pertanyaan dari manakah sebenarnya bala ini datang, dari perbuatan manusia atau murni sebab Tuhan?

Puisi nan berfungsi sebagai kritik, seperti puisi tentang bala alam ini, akan lebih dapat telihat estetikanya ketika kita juga menelusuri mengenai konteks sejarah maupun sosial nan melingkupi lahirnya puisi tersebut. Berbeda dengan puisi dengan tema-tema lain (percintaan, perjalanan, dan sebagainya), letak estetikanya justru lebih pada kontekstualitasnya tersebut, walaupun keindahan bahasa juga tetap ada.



Contoh-contoh Puisi Bala Alam

Berikut ini ialah beberapa contoh dan sedikit komentar mengenai puisi tentang bala alam .

Siapakah Bala Itu?

Oleh Dedi Ashari

“Tuhan, adakah kau turunkan makhluk nan bernama bencana?”

Ketika para manusia bergema merubah rona bianglala. Rasa dan jiwa terbakar di tepian durja. Logika tandas oleh silabus-silabus culas. Akal semakin liar berkelekar. Membidik kata dan menggiring makna menuju rumah-rumah kremasi bergaris dusta.

Lalu, langit menjadi semakin landai dan menyala merah. Darah bercucuran merembes di pipi matahari. Lengkung pepohonan menguakkan duka. Luka tidak lagi terseka. Barisan burung gagak mulai menyatukan suara, selaraskan nada. Merapalkan mantra kematian. Dan, kau manusia, sambil terisak berkata “Ini ialah bala karunia Tuhan”.

Sementara sahda alam terus berdo’a. Agar terlepas dari kutukan dosa-dosa bencana. Gunung-gunung bersujud, bercium rumput. Lautan menjadi semakin khusyuk dalam renung ombaknya nan tenang. Tapi benarkah semua noda dosa bala ini ialah milikmu?

Lalu, ada desir angin turun pelan bergaul bulan. Ia bilang membawa pesan dari Tuhan.

“Tak pernah Kuciptakan makhluk bernama bencana, kecuali manusia nan melahirkannya”

Pare, Februari 2012

Puisi nan berjudul “Siapakah Bala Itu?” merupakan sebuah perenungan penyair tentang berbagai bala alam nan terjadi di Indonesia, seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya. Puisi tersebut lebih bersifat kontemplasi daripada sebuah pemotretan mengenai peristiwa. Sang penyair mencoba mempertanyakan apa penyebab dari suatu bencana, apakah memang sudah takdir Tuhan atau merupakan akibat-akibat nan disebabkan oleh manusia sendiri.

Dalam puisi ini, seolah-olah sang penyair sedang mengajak berbicara kepada Tuhan. Namun obrolan antara manusia dengan Tuhan ini bukan dalam arti harfiah, seperti obrolan antara manusia dengan manusia. Obrolan ini mungkin dapat terjadi ketika manusia sedang beribadah maupun berdo’a. Melalui obrolan dan pertanyaan-pertanyaan nan diajukan, ternyata di akhir larik puisi tersebut, seolah-olah Tuhan membisikkan suatu dan memberikan kesadaran bahwa “Tak pernah Kuciptakan makhluk bernama bencana, kecuali manusia nan melahirkannya”.

Ditinjau dari segi jenis, puisi di atas termasuk dalam puisi prosaik. Puisi prosaik merupakan puisi nan menyerupai prosa, namun tetap memiliki kepadatan dalam bahasa dan nisbi pendek dari prosa , sebab hanya terdiri dari beberapa baris saja. Bahasa nan digunakan cenderung lebih lugas. Hal ini berbeda dengan jenis puisi lirik nan menggunakan bahasa-bahasa nan bersifat samar dan liris.

Nyanyian Debu-debu Merapi

Oleh Dedi Ashari

Ada pasir nan tertidur
ada juga nan berlarian
saling berkejaran dengan kehidupan
Batu-batu murung menunduk pilu
berjajar serupa nisan-nisan pekuburan
memekuri nafas-nafas nan terhenti
terbakar pasir api

Peradaban telah terpendam
tenggelam bersama isi perut Merapi
terpanggang oleh jelaga langit
yang turun pelan membelai bumi
Kini, bumi telah menjadi hamparan abu kematian
seiring menjadi permulaan
‘tuk membangunkan kembali
batu-batu nan telah lama bermimpi

Kini...
semua telah tersapu
semua telah berlabuh
semua menjadi baru

Lereng Merapi, 2012

Puisi tentang bala alam nan berjudul “Nyanyian Debu-debu Merapi” tersebut merupakan puisi nan berusaha memotret keadaan di sekitar Gunung Merapi pasca meletus. Namun dengan memotret keadaan di sekitar Gunung Merapi setelah meletus, kita juga bisa mengetahui seberapa dahsyat letusan-letusan nan terjadi sewaktu Gunung Merapi meletus, seperti bagaimana kenyataan “wedus gembel” nan saat itu menelan banyak korban, salah satunya ialah juru kunci Gunung Merapi nan sangat terkenal, Mbah Marijan. Keganasan “wedus gembel” tersebut digambarkan dengan jelaga langit nan turun memanggang bumi.

Selain itu, pasca meletusnya Gunung Merapi, kampung-kampung di sekitar lereng Merapi musnah. Kini nan tampak hanyalah padang luas dengan berbatuan dan pasir-pasir bekas letusan Gunung Merapi. Banyak orang nan meninggal dalam peristiwa itu, sehingga digambarkan dengan “Kini, bumi telah menjadi hamparan abu kematian”.

Namun, ketika ada awal niscaya ada akhir dan begitu juga sebaliknya. Ketika semua telah habis diterkam kedahsyatan dari letusan Gunung Merapi, hal itu menjadi suatu proses dialektika nan akan menjadi awal lagi. Hal ini termaktub pada baris “seiring menjadi permulaa//‘tuk membangunkan kembali//batu-batu nan telah lama bermimpi//semua telah tersapu//semua telah berlabuh//semua menjadi baru.”

Puisi selain mengandung keindahan juga harus dapat memberikan sebuah kesadaran atau spirit pada pembacanya. Dari baris terkahir nan dikutip di atas, sebenarnya mengandung sebuah semangat nan ditujukan pada para korban Merapi buat dapat segera bangkit kembali. Sebab melalui bala Merapi tersebut, sebenarnya Tuhan menghendaki agar semua manusia tersebut kembali pada permulaan buat menjadi baru, seperti bayi nan terlahir kembali.

Dari kedua puisi di atas, bisa kita lihat perbedaannya dari pilihan isi nan terkandung di dalamnya. Puisi nan pertama cenderung menggambarkan tentang sebuah kontemplasi pengarang terhadap terjadinya bala alam, yakni cenderung menhadirkan interaksi antara manusia dengan Tuhannya, karena dalam kontemplasinya tersebut seolah-olah si manusia meminta sebuah petunjuk mengenai asal-usul bencana. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai introspeksi diri (benarkah bala tersebut berasal dari Tuhan? Bukan sebab ulah manusia itu sendiri?).

Sedangkan dalam puisi nan kedua, cenderung memotret suatu loka setelah terjadinya bencana. Dalam puisi bala alam nan kedua ini, kontekstualitas merupakan hal nan memberikan penekakanan nan besar terhadap keindahan puisi. Artinya, ketika kita mengetahui bagaimana keadaan loka atau peristiwa nan diceritakan dalam puisi tersebut, maka akan terasa isi dan “ruh” dalam puisi tersebut.