Dunia Politik

Dunia Politik

Dai nan politikus, begitu kira-kira ungkapan nan cocok, meminjam sebuah judul buku, bagi tokoh Melayu nan pernah menjadi Perdana Menteri ke-5 Republik Indonesia. Tak hanya seorang dai nan mendakwahkan Islam ke kancah internasional, tapi juga politikus nan cerdas. Kecerdasan nan mungkin dapat dikatakan cukup luar biasa. Dia ialah seorang pendebat nan baik dan berkarakter. Ia tidak akan menyerah begitu saja walau keadaan nan bagaimanapun. Kesederhanaannya malah menjadi kekuatannya nan selalu diingat orang.



Karakter Pejuang

Ia nan tidak ingin anak-anaknya terpengaruh keadaan politik dan budaya nan sedang bergejolak, menyisihkan waktunya buat mendidik anak-anaknya sendiri. Dia memperlakukan Home Schooling bagi anak-anaknya. Ia nan pernah menolak beasiswa dari Belanda sebab merasa bahwa sebenarnya beasiswa itu bukan untuknya melainkan untik RA. Kartini. Ia tidak mau menerima atas belas kasihan. Ia ingin sesuatu memang diberikan untuknya dan bukan sebab limpahan dari orang lain. Lantas ia memilih buat memperdalam agama Islam ke Mekkah.

Berangkatlah ia melalui perjalanan nan jauh, lama, dan penuh dengan perjuangan. Semua itu menjadi satu keberkahan tersendiri sebab ilmu agama nan didapatkannya dari negeri Haram itu telah membentuk karakternya nan sangat tega dan penuh dengan dedikasi. Hingga akhir hayatnya, ia tidak mempunyai harta. Ia dengan rasa afeksi nan begitu tulus menulis surat kepada istri, kekasih hatinya, bagaimana keadaannya di loka ia di asingkan. Ia menghibur hati istrinya sekaligusnya hatinya sendiri dan menguatkan agar mereka tetap berada pada jalan nan diridhoi oleh Allah Swt.

Orang mengaguminya bukan sebab kecerdasannya dan logikanya nan begitu cemerlang. Pemikiran dan gaya hidupnya serta caranya mendidik anak-anaknya menjadi seoalh teladan nan tidak pernah diragukan lagi. Komitmennya terhadap pendidikan dan kemajuan bangsa membuatnya membela Indonesia mati-matian. Dia nan tak akan memutuskan kata-kata versus nan sedang mendebatnya. Ia membiarkan orang mengakhiri kalimat mereka,, baru setelah itu ia akan memberikan pemikirannya nan terkadang membuat tersenyum. Namun, apa nan dikatakannya sahih adanya dan tidak terbantahkan. Itulah Muhammad Natsir, tokoh melayu , laki-laki berjenggot dan berkacamata dengan pandangan mata nan tajam namun penuh kelembutan.



Muhammad Natsir

Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Jika nan terjadi saat ini agama dijadikan media politik demi kepentingan pribadi dan golongannya, maka beliau menjadikan politik sebagai media agama dan dakwah. Natsir sangat berpegang pada apa nan ia yakini bahwa semua jalan nan ia lalui ialah sebagai ladang mencari amal. Ia sangat paham tentang kegunaan ilmu nan diberikannya kepada orang lain baik melalui apa nan ia lakukan ataupun nan ia ajarkan. Ia nan pernah belajar di Mekkah ini seakan telah mewakafkan hidupnya demi perjuangan nan tidak boleh usai hanya sebab banyaknay hambatan.

Muhammad Natsir mengenyam pendidikan dasar HIS (SD pada masa penjajahan Belanda) dan sekolah agama. Karena mendapatkan beasiswa, beliau melanjutkan pendidikan pada tahun 1923 – 1927 di MULO (SMP), lalu AMS (SMA) di Bandung dan lulus pada 1930. Bagi seorang Natsir, ilmu ialah sesuatu nan sangat berharga. Mungkin jika ia harus memilih antara makan dan membaca atau mencari ilmu, ia akan memilih mencari ilmu. Ia sangat tahu apa nan harus ia pilih. Pribadinya sangat kuat dan ia bukan seseorang nan peragu. Ia selalu konfiden dengan pilihannya sebab ia tahu bahwa pilihan itu berdasarkan hukum Allah Swt.

Sandaran terhadap hukum Allah Swt inilah nan membuat seorang Natsir tetap memilih menjadi seseorang nan tidak berharta. Betapa naifnya bila berharta namun harta itu didapatkan bukan dengan acra nan halal. Ia lebih memilih tak berharta global namun berhati akhirat nan selalu condong kepada alam akhirat. Ia niscaya tahu bahwa siapa nan mengharapkan dan mengupayakan akhiratnya dengan sungguh-sungguh niscaya akan mendapatkan dunia. Sebaliknya, siapa nan menginginkan global dan berupaya sekuat tenaga mendapatkan dunia, maka tak akan mendapatkan akhirat.

Hal inilah nan membuat seorang Natsir menjadikan semua apa nan ia kerjakan sebagai ladang mengumpulkan semua upaya agar menambah tabungan akhiratnya. Ia sangat konfiden bahwa ia harus bertanggung jawab terhadap apapun nan telah ia lakukan di global ini. Ia takut membawa dosa nan tidak terperihkan walaupun hanya sedikit. Keberkahan hayati tak dapat dilihat dari seberapa banyak harta telah dikumpulkan. Keberkahan hayati bisa dilihat semakin kaya, semakin terkenal, semakin tua, maka hati akan semakin condong kepada kehidupan akhirat nan damai dan tenang yang abadi.



Dunia Politik

Pada masa Muhammad Natsir aktif dalam politik praktis, sebagaimana kita tahu beliau termasuk salah satu pendiri mendirikan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) pada 7 November 1945. Saat itu kondisi politik Indonesia boleh dikatakan bermuara pada tiga ideologi nan bersaing ketat, yaitu nasionalis, Islam, dan komunis. Natsir memilih jalur keislaman atas apa nan ia yakini. Ia tidak akan pernah ragu dengan pilihannya itu.

Inilah nan membuat orang segan dengan sosok satu ini. Ia tidak dapat ditembus dengan korupsi atau hal-hal nan akan membuat hatinya menjadi kotor. Ia tahu kalau ia melakukan dosa, maka ilmunya dapat saja tak manfaat. Sudah barang tentu, seorang Natsir tidak akan membuang akhiratnya demi global nan fana. Ia dengan sikap nan sangat hati-hati dan selalu waspada berusaha buat selalu lurus dalam pemikiran dan perbuatan. Ia nan mengisi usianya nan panjang dengan hal-hal nan akan membuatnya senang di alam kuburnya.

Islam nan didukung oleh para ulama, sebab tidak dapat dipungkiri, kontribusinya cukup besar dalam memperjuangkan Indonesia sehingga dorongan buat menjadikan Islam sebagai dasar negara cukup kuat. Meskipun pada akhirnya ideologi nasionalis nan diterima sebagai hasil perdebatan nan sangat alot. Bagaimanapun sejak zaman dahulu ada ketakutan tersendiri ketika akan memilih Islam sebagai dasar negara. Ada banyak ketakutan nan akan membuat semua orang menjadi mundur ketika berhadapan dengan konsep Islam nan benar-benar islami.

Beliau mulai aktif berpolitik demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ketika menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), kemudian kecerdasannya dalam berpolitik tergambar pada saat mengajukan mosi integral pada sidang parlemen 5 April 1950 nan misinya menyatukan Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan Repiblik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya sempat menjadi Negara Serikat.

Mosi tersebut disetujui secara aklamasi oleh anggota parlemen. Hal itu pula nan mengantar beliau menduduki posisi Perdana Menteri ke-5 Indonesia dari tahun 1950 – 1951, setelah sebelumnya menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 – 1947 dan 1948 – 1949. Jabatannya itu diterimanya sebagai satu amanat dan ia tak mengambil laba apapun dari jabatannya itu. Seandainya ada seratus Natsir sekarang ini, maka bangsa ini mungkin tak akan ragu lagi menembak wafat setiap koruptor nan akhirnya akan membuat bangsa ini menjadi bangsa nan barokah. Pemimpin nan berkah itu akan membuat bangsanya hayati damai dan sejahtera.



Dunia Dakwah

Kesungguhan beliau dalam berdakwah dibuktikan dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Bahkan sepak terjangnya di global dakwah sampai skup internasional. Beliau pernah menjabat sebagai anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy nan pusatnya di Mekkah, presiden Perserikatan Muslim Global ( World Moslem Congress ), dan Ketua Dewan Mesjid se-Dunia.

Meskipun beliau tak mengenyam pendidikan kuliah setelah lulus dari AMS, namun sebab pergaulan nan luas dengan tokoh konvoi nasional ketika sekolah di Bandung, seperti Sutan Syahrir, Muhammad Roem, atau Syafruddin Prawiranegara, beliau mampu mengimbangi mitra dan versus dakwah atau politiknya dalam berpikir dan bertindak. Terbukti dengan menduduki jabatan pucuk pimpinan, baik dalam politik maupun dakwah.

Pengalaman dan pengetahuan beliau nan luas ternyata dihargai oleh beberapa Universitas Islam Libanon dan Universitas Kebangsaan Malaysia dengan gelar DHC (Doctor Honoris Causa) serta penghargaan Faisal Award dari Raja Fadh, Arab Saudi. Muhammad Natsir, sang tokoh melayu itu, tutup usia menginjak 84 tahun, tepatnya pada 3 Februari 1993 di Jakarta. Atas kontribusinya nan besar bagi bangsa Indonesia, pada 2008 Muhammad Natsir mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Presiden Republik Indonesia walaupun tentu saja bukan gelar pahlawan nan beliau harapkan, melainkan generasi penerus Islam Indonesia sebagai politikus nan religius.