Solusi Menghadapi Kenaikan Harga BBM

Solusi Menghadapi Kenaikan Harga BBM

Beberapa waktu nan lalu, pemerintah Indonesia menyampaikan planning kebijakan buat menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Mengetahui planning kenaikan tersebut, timbul majemuk reaksi dari masyarakat.



Kebijakan Harga BBM

Sebagian besar reaksi tentu ditujukan buat menolak kebijakan tersebut. Penolakan terhadap planning kenaikan ini dimaksudkan buat menghindari kenaikan harga-harga kebutuhan lain nan sangat dipengaruhi oleh kenaikan BBM, seperti kenaikan pada harga-harga biaya transportasi umum, kenaikan harga bahan pokok, dan berbagai harga kebutuhan hayati lainnya.

Harga-harga tersebut ikut mengalami kenaikan sebab setiap kebutuhan tersebut menggunakan bahan bakar minyak sebagai bahan produksi maupun proses distribusi. Sehingga, ketika harga BBM meningkat akan berpengaruh terhadap harga-harga lainnya.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dunia, meski demikian berkaitan dengan kebijakan harga, Indonesia masih mengikuti patokan harga minyak dunia. Kebijakan harga nan ditetapkan pemerintah saat ini ialah penyesuaian harga minyak global lalu dibantu dengan subsidi BBM.

Subsidi ditujukan buat membantu meringankan masyakat tak mampu agar mereka bisa memenuhi kebutuhan BBM. Melalui subsidi BBM ini, perusahaan minyak milik negara Pertamina membuat premium, sebagai BBM bersubsidi, dijual dengan harga nan terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. Sementara pertamax, sebagai BBM dengan harga nan lebih mahal, dengan tujuan pasar kalangan menengah ke atas.

Pada kenyataannya, pembelian premium masih banyak dilakukan oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini menjadikan target subsidi menjadi tak sinkron atau salah sasaran. Sehingga, muncul pendapat bahwa nan menikmati subsidi BBM lebih banyak ialah kalangan-kalangan bermobil. Negara pun akhirnya harus mengeluarkan subsidi nan lebih besar.

Kebijakan kenaikan BBM pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimulai sejak tahun 2004 silam. Sebelum harga nan berlaku saat ini, BBM dijual dengan harga Rp 1.800,-. Kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga menjadi Rp 2200,-.

Tidak lama waktu berselang, pemerintah kembali menaikkan harga BBM menjadi Rp 4500,-. Kemudian pada tahun 2008, pemerintah menaikkannya kembali menjadi Rp 6000,-. Lalu, kembali diturunkan pada tahun 2009 menjadi harga sebelumnya, yaitu Rp. 4500,- dan berlaku hingga saat ini.

Menurut pemerintah, kebijakan harga BBM bukanlah suatu hal nan mutlak. Oleh sebab itu, kenaikan dan penurunannya bisa saja terjadi berkali-kali mengikuti perkembangan harga minyak dunia.

Sayangnya, beberapa kalangan di masyarakat menilai, kebijakan nan demikian menunjukkan perencanaan aturan nan tak matang. Sehingga, harus mengorbankan BBM buat membantu stabilitas anggaran. Majemuk pandangan mengenai kebijakan kenaikan BBM ini terus bergulir di masyarakat, sehingga menimbulkan pro dan kontra.



Pro dan Kontra Kenaikan Harga BBM

Sepanjang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak periode 2004-2009 dan berlanjut pada periode 2009-2014, telah dilakukan beberapa kali kenaikan BBM dan meskipun kebijakan tersebut lebih sering menuai kontra, namun pada akhirnya tetap dilaksanakan.

Meski demikian, berbeda halnya dengan planning kenaikan BBM tahun 2012 ini. Tahun 2012 ini pemerintah berencana buat menaikkan harga BBM, maksimal pada harga Rp. 6000,- nan artinya naik sebanyak Rp 1500,- per liter. Kenaikan harga ini direncanakan ditetapkan pada bulan April 2012.

Menghadapi planning kenaikan harga BBM ini, timbul pro dan kontra di tengah masyarakat. Mereka nan kontra terhadap kenaikan harga BBM ini tentu mempertimbangkan imbas nan ditimbulkan bagi harga-harga kebutuhan lain apabila harga BBM naik. Mereka juga berpendapat bahwa subsidi BBM ialah hak bagi masyarakat dan telah menjadi kewajiban pemerintah buat membantu masyarakat.

Bentuk konkret penolakan terhadap kenaikan ini banyak dilakukan oleh mahasiswa dan buruh nan melaksanakan demonstrasi kepada pemerintah serta beberapa partai nan menyatakan menolak BBM dinaikkan harganya, seperti nan dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Bagi mereka nan pro terhadap kenaikan ini, pertimbangan nan mereka miliki ialah pertimbangan realistis atau berdasarkan realita. Realita nan dimaksud ialah meski Indonesia merupakan negara penghasil minyak, namun Indonesia hanya penghasil minyak mentah. Untuk memperoleh minyak jadi, Indonesia melakukan impor minyak.

Hal ini disebabkan sebab teknologi perminyakan Indonesia belum memiliki alat nan bisa digunakan buat mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi nan siap digunakan. Pertimbangan realistis tersebut kemudian menunjukkan bahwa pembelian minyak jadi membutuhkan pengeluaran biaya nan lebih besar dibandingkan pendapatan hasil penjualan minyak mentah.

Oleh sebab itu, buat mencukupi kebutuhan impor minyak, pemerintah memberikan subsidi agar minyak jadi nan dikonsumsi masyarakat memiliki harga nan terjangkau. Sayangnya, subsidi ini kemudian menjadi semakin berat saat harga minyak global mengalami kenaikan. Selain itu, subsidi tersebut juga dianggap salah target sebab nan menikmati subsidi BBM lebih banyak mereka nan kalangan menengah atas nonindustri daripada kalangan tak mampu.

Ketidaktepatan target subsidi ini, kemudian dipandang sebagai suatu hal nan bisa mengganggu stabilitas anggaran. Artinya, ketika harga minyak global naik dan subsidi nan diberikan harus ditingkatkan, pemerintah harus mengorbankan subsidinya di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan.

Hal ini tentu akan menimbulkan imbas nan tak baik bagi penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, apabila harga BBM dinaikkan maka subsidi buat BBM bisa diperuntukkan bagi kantong-kantong subsidi lain nan berkaitan dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.



Solusi Menghadapi Kenaikan Harga BBM

Solusi nan dilakukan pemerintah buat membantu rakyatnya menghadapi kenaikan BBM ini ialah dengan mengeluarkan kebijakaan program Donasi Langsung Tunai (BLT) nan diberikan langsung kepada masyarakat miskin atau golongan tak mampu.

Program Donasi Langsung Tunai ini berjalan efektif sejak harga BBM naik menjadi Rp 4500,- dan Rp 6000,- pada tahun 2008. Sistem nan digunakan dalam penyaluran dana BLT ialah melalui informasi pendataan masyarakat miskin. Setelah data diterima, melalui forum pemerintah terdekat dengan masyarakat, dana BLT disalurkan kepada masyarakat nan berhak menerimanya.

Data nan digunakan pemerintah buat menyalurkan BLT ialah data nan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) berupa data rumah tangga miskin. Belajar dari pemberian BLT tahun 2008 nan juga ditujukan buat menghadapi kenaikan BBM, permasalahan penyaluran BLT terletak pada data, sistem penyaluran, serta pertimbangan psikologi sosial.

Mengenai data, permasalahan nan muncul kemudian memberikan tudingan kesalahan kepada penyedia data, yaitu BPS nan menggunakan data rumah tangga miskin pada tahun 2005.

Kemudian berkaitan dengan penyaluran, BLT diberikan kepada keluarga miskin nan memiliki kartu BLT dengan sistem nan tak tertata rapi. Sehingga, masyarakat harus antre dan berebut buat mendapatkannya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kejadian, di mana masyarakat pemilik kartu BLT tak mendapatkan sejumlah uang nan harus diterimanya.

Selanjutnya, ditinjau dari psikologi sosial, BLT dipandang tak mendidik masyarakat buat berdikari dan menimbulkan saling kecurigaan di antara mereka.

Berdasarkan beberapa pandangan, terhadap permasalahan nan terjadi pada pemberian BLT tahun 2008, pemerintah dinilai tak mengambil pelajaran dari permasalahan nan timbul jika hendak memberlakukan kembali program ini buat dijadikan solusi menghadapi kenaikan harga BBM di tahun 2012.

Namun, apabila pemerintah beranggapan BLT menjadi solusi buat membantu masyarakat miskin menghadapi kenaikan harga BBM, maka pelaksanaannya perlu dilakukan perbaikan, baik dalam hal data, penyaluran, dan pembangunan kemandirian masyarakat. Artinya masyarakat perlu didorong buat menjadi masyarakat nan berdikari tak hanya menerima dan menunggu bantuan.

Solusi nan menjadi asa masyarakat mengenai kenaikan BBM ialah kebijakan pemerintah bukan hanya mengenai BLT, tetapi pemerintah harus belajar buat menghasilkan minyak jadi secara berdikari sehingga beban subsidi impor minyak bisa berkurang, pemberlakukan restriksi pembelian premium oleh kalangan masyarakat menengah ke atas, serta tak menjadikan harga BBM sebagai alat politik.

Dengan demikian, subsidi nan diberikan tak salah arah dan harga BBM nan ditetapkan merupakan hasil pertimbangan nan baik bagi penyelenggaraan negara buat kemakmuran rakyat.