Jenis-jenis Kaligrafi Arab

Jenis-jenis Kaligrafi Arab

Para pelukis senior, A. D. Pirous, Amang Rahman maupun Didin Sirajudin telah membuktikan bahwa di tangan seorang seniman, untaian kalam Illahi nan bersumber dari Al-Quran tidak hanya sarat makna tapi menjadi gambar nan memesona. Gambar memesona itulah nan biasa dikenal dengan istilah kaligrafi Arab .

Hasil karya artis kaligrafi Arab kini tidak hanya menghiasi dinding-dinding masjid atau cover buku-buku Islam, tetapi telah pula menempati ruang nan lebih luas, di dinding-dinding rumah bahkan hotel.

Para penulis kaligrafi Arab memang tak dapat dipisahkan dari kecintaannya pada Al-Quran. Aklaman, dalam bukunya Ekspresi Seni Kaligrafi secara tegas mengatakan bahwa sejak awal perkembangannya menunjukkan bahwa semangat menulis dan melukis kaligrafi lahir dari semangat buat melestarikan Al-Quran.



Apa Sebenarnya nan Dimaksud dengan Kaligrafi Arab?

Dalam bahasa Arab sendiri sebenarnya kaligrafi Arab lebih dikenal dengan nama khatt nan artinya tulisan atau garis. Pengertian ini merujuk pada tulisan nan indah. Kata kaligrafi sendiri berasal dari akar kata kalios dan graphia nan diambil dari bahasa Yunani. Kalios artinya indah, dan graphia berarti tulisan.

Dari kedua acum tersebut, kaligrafi dapat diartikan sebagai seni tulisan indah. Dalam praktiknya seni tulis latif ini diperlukan juga dasar-dasar seni lukis. Seni melukis latif inipun berlaku ketika seseorang menciptakan kaligrafi Arab.

Kaligrafi Arab pertama kali digagas dan dikembangkan oleh masyarakat Himyar sekitar 525 SM. Keterampilan menulis latif masyarakat Himyar nan menghuni semenanjung Arab bagian barat daya ini sebenarnya bersumber dari hierogrif Mesir. Menurut para ahli kaligrafi Arab, dari hierogrif Mesir ini, pada perkembangan selanjutnya terpecah menjadi khatt Arami, Musnad dan Feniqi.



Pandangan Ahli Kaligrafi Arab

Kaligrafi Arab secara khusus, sebenarnya tidak hanya bagaimana menuliskan huruf-huruf atau penggalan ayat dari Al-Quran dengan indah, mengharmonisasikan rona dan bentuk. Secara maknawi kaligrafi Arab seperti ditulis Attauhidi, tak hanya menulis latif tapi bagaimana merefleksikan kebijaksanaan dan kualitas seorang manusia.

Hisyam bin al-Ahkam dalam kaitannya dengan kaligrafi Arab ini mengatakan bahwa kaligrafi ialah tulisan tangan, merupakan perhiasan nan diekspresikan tangan dan estetika serta keaslian intelektualitas seseorang. Ahli lain mengatakan bahwa kaligrafi Arab merupakan perpaduan nan serasi antara perasaan dan pikiran, ketajaman bisikan hati nan berlandas pada ketinggian ilmu.

Menarik ialah definisi nan dikemukakan Syaikh Syamsudin al-Akhfani. Definisi dari Al-Akhfani ini dapat menjadi semacam pedoman bagi artis atau siapapun nan ingin menekuni seni tulis kaligrafi Arab.

Kaligrafi ialah ilmu nan memperkenalkan bentuk huruf tunggal, bagaimana cara merangkainya, memperhitungkan tata letaknya, menentukan mana nan perlu dan tak perlu ditulis sehingga kemudian menjadi susunan kalimat nan tak saja punya makna tapi menampilkannya dengan cara nan memesona. Pun dengan nan terjadi pada kaligrafi Arab.

Seiring dengan perkembangan zaman terutama sebab pengaruh dari seni lukis dan teknologi, dalam global kaligrafi Arab kemudian dikenal dengan kaligrafi murni dan kaligrafi kontemporer. Kaligrafi murni mengacu kepada kepatuhan para artis dalam menulis nan sebenarnya juga melukis, dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah standar sinkron dengan nan telah disepakati bersama.

Para penulis kaligrafi Arab murni senantiasa menjaga diri agar tetap berada pada kaidah generik saat ia membuat torehan, ketepatan sapuan dan menuliskan bentuk huruf. Sementara kaligrafi Arab pada masa ini mengacu kepada perkembangan dan pemikiran para artis sendiri nan memandang bahwa estetika merupakan unsur primer dari sebuah seni kaligrafi dan bukan semata-mata terletak pada huruf.



Jenis-jenis Kaligrafi Arab

Melahirkan sebuah tulisan kaligrafi Arab nan latif dengan tata rona nan memesona, bukan pekerjaan sembarangan. Seperti halnya dalam seni lukis murni, ada kaidah-kaidah tentang tata warna, keseimbangan, kedalaman dan tata letak, demikian pula dalam menulis kaligrafi Arab.

Teknis menulis kaligrafi Arab tak dapat terlepas dari pemahaman akan prinsip-prinsip geometri, yaitu keseimbangan. Pada praktiknya, para artis kaligrafi ini melahirkan ekuilibrium dalam rangkaian tulisannya dengan donasi titik dan huruf alif.

Bertolak dari dasar-dasar seni tulis kaligrafi Arab tadi, di global kaligrafi kemudian dikenal beberapa gaya penulisan. Dari sekian banyak gaya penulisan, gaya Kufi dinilai sebagai gaya penulisan kaligrafi Arab paling tua.

Gaya nan terkenal dalam proses pembuatan kaligrafi Arab ini pertama kali dipergunakan terutama oleh para penulis nan terlibat dalam penyalinan Al-Quran periode pertama. Nama Kufi sendiri mengingatkan orang pada kota Kufah di Irak, sebuah kota nan tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban Islam.

Gaya Kufi pertama kali diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah dengan karakteristik khasnya, yaitu penulisan huruf-hurufnya kaku, terlihat sangat formal, dan patah-patah.

Gaya kedua nan dikenal dalam global kaligrafi Arab ialah gaya Tsuluts. Karakter khasnya tidak jauh dengan gaya Kufi sebab dikembangkan oleh penulis nan sama. Namun, sedikit berbeda dengan gaya Kufi, gaya kedua ini terlihat sangat ornamental, memiliki banyak hiasan tambahan seolah ingin memenuhi ruang-ruang kosong nan tersedia dari areal nan akan ditulis.

Menuliskan huruf-hurufnya lebih terkesan luwes, dapat lurus dan runcing, dapat pula membentuk kurva sehingga pada pekembangannya gaya ini lebih sering dilihat pada ornamen masjid.

Bila Anda memerhatikan tulisan mushaf Al-Quran, gaya penulisannya terlihat seragam, tak terlalu banyak hiasan dengan karakter tulisan nan tajam sehingga mempermudah siapapun nan membacanya. Gaya penulisan mushaf Al-Quran ini mulai dikenal sejak abad ke-10, nan secara sistematis kaidah-kaidah penulisannya diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah. Gaya nan dipergunakan dalam penulisan mushaf Al-Quran ini dalam global kaligrafi Arab dikenal dengan gaya Naskhi.

Gaya penulisan kaligrafi Arab nan keempat ialah gaya Riq’ah. Gaya ini merupakan pengembangan dari dua gaya sebelumnya, yaitu Tsuluts dan Naskhi. Karakter khas dari gaya Riq’ah ini ialah jenis hurufnya terlihat sederhana dan tanpa harakat. Dengan demikian gaya Riq’ah ini memberi keleluasaan kepada penulisnya buat menulis dengan cepat sehingga efektif dipergunakan buat kepentingan praktis dan tulis-menulis sehari-hari.

Gaya Raihani atau dikenal pula dengan Ijazah ialah gaya berikutnya nan dikenal dalam global kaligrafi Arab. Gaya ini dikembangkan para penulis kaligrafi Arab pada masa daulah Usmani, nan masih memadukan gaya Tsuluts dan Naskhi. Karakter khas nan membedakan dari gaya induknya ialah tulisan terlihat lebih sederhana, hiasan-hiasanya simple dan tak mengenal penulisan secara bertumpuk.

Gaya ini dinamakan gaya Ijazah sebab dalam praktiknya sering dipergunakan para guru kaligrafi buat menulis ijazah nan akan diserahkan kepada murid-muridnya. Pada akhir abad ke-15 seorang penulis kaligrafi Arab, Ibrahim Munif, mendapat tugas membuat tulisan kepala surat resmi kerajaan.

Karakter primer tulisannya ialah bulat dan tak berharakat. Lalu gaya nan kemudian dikenal dengan Diwani ini dikembangkan dan disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Estetika kaligrafi Arab gaya Diwani ini terletak pada permainan garis huruf nan meninggi dan menurun melebihi patokan nan telah ditentukan, namun tetap mempertimbangkan keseimbangan.

Sebuah tulisan bismillah nan terlihat seperti berbentuk kubah masjid ialah salah satu kaligrafi Arab bergaya Diwani ini. Tidak mengherankan kalau dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi Arab gaya Diwani ini banyak dipergunakan buat hiasan sampul buku, logo perusahaan, dan ornamen masjid tentu saja.

Seorang penulis kaligrafi Arab terkemuka pada masa daulah Usmani di Turki, Hafiz Usman, mengembangkan gaya penulisan Diwani. Karakteristik khas dari pengembangan nan dilakukan Hafiz Usman ini ialah tulisannya terlihat padat, penuh ornamen dan pada lokasi eksklusif terlihat bertumpuk-tumpuk.

Dalam global kaligrafi, gaya Hafiz Usman ini kemudian dikenal dengan gaya Diwani Jali. Berbeda dengan sumber asalnya, yaitu gaya Diwani nan tak berharakat, dalam penulisan dengan gaya Diwani Jali, harakat ini terlihat melimpah.

Tidak mengherankan sebab banyak harakat dan melimpah dengan ornamen ditambah pada titik-titik eksklusif hurufnya bertumpuk-tumpuk, sepintas tulisan kaligrafi Arab gaya Diwani Jali ini agak sulit dibaca sehingga dalam kehidupan sehari-hari lebih diaplikasikan pada benda hias dan dekorasi mesjid.

Gaya terakhir dari penulisan kaligrafi Arab ini ialah gaya Farisi. Gaya penulisan Farisi dikembangkan oleh orang Persia nan lebih mengutamakan unsur garis, huruf-hurufnya ditulis tipis dan tebal dan tanpa harakat. Gaya Farisi ini menjadi huruf resmi sejak Dinasti Safawi sampai sekarang. Di masjid-masjid Iran, akan dengan mudah menemukan kaligrafi Arab gaya Farisi ini.