Kajian Primer dalam Pembelajaran Jurnalistik

Kajian Primer dalam Pembelajaran Jurnalistik

Untuk apa seh pendidikan jurnalistik itu? Begini, informasi, ilmu, berita, hiburan, atau apapun itu nan krusial berisikan suatu hal dan memberi pengetahuan bagi kita dapat muncul dalam sesuatu nan sifatnya dapat dibaca, didengar, juga dilihat. Jurnalistik sebagai sebuah keilmuan nan mampu menghadirkan informasi kepada kita mampu memenuhi keinginan kita terhadap berbagai keingintahuan.

Untuk bisa menyediakan informasi nan bisa memenuhi keingintahuan masyarakat tak serta merta kita menulis begitu saja. Ada beberapa hal nan mesti diketahui terlebih dahulu agar tulisan nan kita untuk menjadi benar-benar bernas dan berimbang. Sajian jurnalistik bukanlah sekedar komunikasi bahasa kalimat-kalimat nan disusun secara serta merta.



Kenapa Harus Mengenal Pendidikan Jurnalistik

Bukan pula sekadar pada tataran cukup menyajikan warta nan hanya diinginkan oleh masyarakat semata. Jika tatarannya hanya pada konsumerisme semata, maka nan ada hanyalah jurnalisme parfum. Sekedar wangi dan digemari sesaat. Setelah itu, dilupakan dan tak berbekas.

Agar bisa memberikan informasi dalam porsi nan tak memihak siapa pun atau istilahnya berimbang, maka seseorang nan berkehendak menjadi seorang jurnalis, mestilah mengikuti pendidikan jurnalistik terlebih dahulu. Pendidikan tersebut dimaksudkan agar calon jurnalis mengetahui sistem kerja jurnalistik.

Selain itu, calon jurnalis bisa membuat warta atau menyuguhkan informasi secara berimbang. Calon jurnalis pun akan siap dengan ritme kerja seorang jurnalis, dan mempersiapkan diri dan mentalnya buat menjadi seorang jurnalis profesional. Maksud jurnalis profesional di sini ialah jurnalis nan bertanggung jawab terhadap profesinya di global jurnalistik.



Masa Pendidikan Jurnalistik

Pendidikan jurnalistik dapat didapatkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik nan diselenggarakan oleh forum pers atau institusi pendidikan resmi. Pendidikan jurnalistik nan digagas oleh forum pers biasanya dilakukan dalam waktu 3 hingga 6 bulan. Setelah lulus, peserta mendapatkan sertifikat nan menyatakan bahwa peserta lulus. Biasanya, praktisi jurnalistik nan menjadi pemateri, sebab akan banyak bercerita tentang pengalamannya di bidang jurnalistik.

Lain halnya dengan pendidikan jurnalistik nan diselenggarakan oleh institusi resmi. Pendidikan ini diselenggarakan oleh institusi membutuhkan waktu 3 hingga 4 tahun dalam perkuliahan. Materi perkuliahan pun diberikan oleh para akademisi.

Dalam pendidikan jurnalistik resmi maupun nan digagas oleh forum pers ditekankan bahwa warta nan disajikan mestilah warta nan tak berat sebelah, tak menyinggung SARA, dan mesti objektif. Dalam tulisan jurnalistik tak boleh keberpihakan jurnalis karena jurnalis menyajikan data, fakta kepada publik.



Kajian Primer dalam Pembelajaran Jurnalistik

Selama memperoleh pendidikan, calon jurnalis mestilah belajar teori mengenai jurnalistik dan melalukan praktik kejurnalistikan dengan mencari atau menyiapkan, menyusun, menyunting, dan menyajikan informasi. Bahan informasi atau berita, dapat dicari dengan cara observasi langsung atau tak langsung, teknik wawancara, pencarian melalui dokumen publik, dan partisipasi dalam peristiwa.

Informasi nan disampaikan mestilah memenuhi rumus 5 W 1 H, yakni what, who, where, when, why, dan how. Informasi nan disajikan mestilah informasi nan aktual. Informasi nan sudah basi tak akan dilirik oleh publik karena publik mencari sesuatu nan hangat diperbincangkan.

Melalui pendidikan jurnalistik , diharapkan para jurnalis nan nantinya menekuni global jurnalistik akan benar-benar menjadi seorang jurnalis. Jurnalis nan penuh tanggung jawab, membuat warta dengan akurat, juga objektif dan berimbang dalam menulis.



Etika Bahasa Jurnalistik

Etika bahasa jurnalistik ialah segala hal nan bersinggungan dengan proses perencanaan, aplikasi dan supervisi segala hal nan berhubungan dengan aktivitas jurnalistik. Yaitu, diawali dengan peliputan, penyajian, pemuatan, penyiaran dan penayangannya di media.

Jika digambarkan, sejatinya aktivitas seorang jurnalis ialah ia langsung turun ke lapangan. Setelah itu, ia menemui dan mewancarai narasumber sembari mengamati situasi di sekitarnya. Saat terjadinya wawancara, maka jurnalis mesti merekam atau mencatat jalannya wawancara. Setelah selesai melakukan wawancara, maka ia mesti bergegas menuju kantor. Sesampai di kantor, ia langsung menuju mejanya di ruang redaksi. Ia menghidupkan komputer dan meracik hasil wawancaranya.

Dalam hitungan menit, sebuah warta nan layak terbit dan aktual sudah selai diracik dan siap buat dimuat. Namun sebelum warta diterbitkan, jurnalis mesti mengirimkannya kepada redaktur buat diperiksa apakah sudah layak terbit dan memenuhi struktur bahasa jurnalistik atau tidak. Dengan sistem online, para jurnalis tak perlu susah-susah lagi mondar mandir ke meja redaktur. Tinggal kirim via email, akan mendapatkan pandangan dari redaktur. Apakah mesti ada penambahan, pengurangan atau sudah cukup?

Di sinilah letaknya etika bahasa jurnalistik. Para redaktur menilai bahasa jurnalistik nan diracik oleh para jurnalis. Karena ada kata-kata nan lunak agar menarik perhatian pembaca mesti diubah menjadi menjadi kata-kata nan keras, namun tetap saja harus sinkron dengan kode etik profesi.

Bahasa bagi seorang jurnalis ialah senjata dan kata-katanya ialah peluru. Karena itu, ia tak boleh sembarang mengubah hasil wawancaranya. Seorang jurnalis tak boleh menggunakan senjatanya buat membunuh orang lain. Ia hanya boleh menggunakan senjatanya hanya buat mencerdaskan dan memuliakan masyarakat serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa.

Karena itu, sungguh tepat ungkapan nan menyatakan bahwa seorang jurnalis pada dasarnya ialah seorang nasionalis. Ia mencintai negeri, bangsa dan profesi melibihi kecintaannya kepada isterinya.



Pedoman Etika Bahasa Jurnalistik

Sudah diatur dalam etika jurnalistik, bahwa jurnalis dan pengelola media massa buat tak keluar dari koridor yuridis, sosiologis, dan koridor etis. Dalam buku Hukum dan Etika Pers disebutkan bahwa koridor yuridis buat pers sudah diatur dalam UU Pokok Pers No. 40/1999. Sedangkan buat media penyiaran radio dan televisi sudah diatur dalam UU Pokok Penyiaran No. 32/2002.

Koridor sosiologis juga sudah dibakukan dalam enam landasan pers nasional. Koridor etis buat sebagian sudah dibakukan dalam pelbagai ketentuan dan panduan standar seperti kode etik jurnalistik dan kode etik praktik media massa. Tapi buat sebagian lagi, senantiasa inheren dalam kebijakan redaksional media dan pegangan personal-spritual jurnalis.

Etika bahasa jurnalistik menjadi panduan setiap jurnalis buat memperhatikan serta tunduk pada kaidah bahasa media massa. Teori jurnalistik mengajarkan, bahwa bahasa media massa ialah salah satu ragam bahasa nan khas sebab senantiasa dipadukan dengan ciri media beserta pembacanya nan anonim dan heterogen.

Penting menjadi catatan, bahwa bahasa jurnalistik media massa juga mengikuti alur logika teknis. Maksudnya, penulisan judul dan tubuh berita, harus disesuaikan dengan besar-kecil ruangan (new space) nan tersedia. Jadi, bahasa jurnalistik tak semata bicara logika, struktur dan makna saja. Namun bahasa jurnalistik juga memperhatikan unsur-unsur sistematika.

Makanya para jurnalis ketika menulis selalu memperhatikan dan menghitung jumlah kata dalam setiap judul dan setiap berita. Meski demikian, para jurnalis tetap harus menjaga kualitas dan kuantitas bahasa.

Melalui pengkajian terhadap pendidikan jurnalistik ini, kita jadi memahami bahwa seorang jurnalis mesti terampil berbahasa. Keterampilan berbahasanya harus memiliki empat komponen. Yaitu, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Setiap keterampilan berhubungan erat dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara nan beraneka ragam.

Dengan bahasa nan lebih mendalam, setiap keterampilan sangat berhubungan erat ddengan proses-proses nan mendasari bahasa. Karena bahasa seseorang mencerminkan pikirannya.

Sehingga semakin terampil seorang jurnalis dalam berbahasa, semakin cerah dan jelas juga jalan pikirannya. Karena itu, ketrampilan hanya diperoleh dengan banyak praktik dan berlatih. Melatih ketrampilan berbahasa juga akan melatih keterampilan berpikir.

Singkatnya, bahasa menjadi pandu empiris sosial. Karena pandangan seseorang tentang global dibentuk oleh bahasa. Dan sebab bahasa juga, pandangan seseorang terhadap global pun akan mengalami perbedaan. Makanya, tidak perlu heran kenapa media dapat berbeda dalam berbahasa. Ada nan bahasanya halus dan santun. Ada pula nan keras dan tak sopan.

Anda dapat menemukannya dalam media massa. Ada media massa nan tidak begitu suka menceritakan hal-hal negatif, seperti pemerkosaan. Namun ada media massa nan menjadikan bahan warta utamanya tentang pemerkosaan, pencurian, perampokan dan sebagainya. Semuanya mengacu pada cara berbahasa nan melahirkan cara berpikir nan berbeda-beda.

Dari sini menjadi membuat kita kian tergugah buat mempelajari jurnalistik secara lebih mendalam. Apalagi bila membaca tajuk planning setiap media, ada penulisan nan sangat bermanfaat buat pembaca. Khususnya para penulis dalam menyusun kata nan menarik dan menimbulkan kesan baru. Sehingga jika ingin pintar menulis opini nan disukai surat kabar, belajarlah dari cara penulisan nan dilakukan oleh para jurnalis surat kabar tersebut melalui tajuk rencana.