Dongeng dan Anti Titik puncak Label Pelajaran SD

Dongeng dan Anti Titik puncak Label Pelajaran SD

Banyak orang mengira bahwa dongeng, cerita rakyat, fabel, dan cerita serupa hanya layak menjadi semacam pelajaran SD . Artinya, cuma anak-anak saja nan harus mendengarkan pelajaran SD berupa cerita-cerita fantasi tersebut.

Seiring dengan bertambahnya usia, seolah-olah seseorang hanya dituntut buat menghasilkan uang atau berpikir dengan logika semata tanpa mempertimbangkan imajinasi. Alhasil, orang dewasa nan meneliti dongeng dianggap sebagai orang dewasa nan kurang kerjaan dan seperti mengulang pelajaran SD.

Padahal, jika kita mampu lebih dewasa berpikir, sebenarnya banyak misteri di balik cerita demi cerita nan dipaparkan nenek moyang kita dari zaman dahulu; nan diceritakan hanya dengan mengandalkan ingatan, dan hanya melalui perantaraan dari mulut ke mulut. Jika mampu menyibak sedikit saja misteri dongeng ini, kita akan menyadari bahwa dongeng sama sekali bukan pelajaran SD semata.



Kisah Sangkuriang Bukan Pelajaran SD

Kisah Sangkuriang bukan pelajaran SD? Semua orang di Indonesia niscaya mengenal Sangkuriang. Dialah pemuda nan nekat hendak menikahi ibunya sendiri sebab ketidaktahuan. Banyak peneliti modern nan tak mau belajar banyak, menganggap ini hanyalah upaya nenek moyang kita di zaman dahulu buat menjelaskan kenyataan oedipus complex , seorang lelaki nan jatuh cinta kepada wanita nan lebih tua dan menganggap wanita tersebut tak hanya sebagai figur kekasih, tetapi juga sebagai pengganti ibu.

Ada kekhawatiran hiperbola pula, jika Sangkuriang diceritakan dalam pelajaran SD, biasanya dalam pelajaran bahasa Indonesia, ada kemungkinan anak-anak SD secara mental bisa "meniru" sifat oedipus complex Sangkuriang ini.

Secara singkat, Sangkuriang ialah anak dari hasil interaksi Dayang Sumbi dengan Tumang, seekor anjing. Ada nan menafsirkan bahwa Tumang ialah representasi rakyat jelata. Artinya, Dayang Sumbi jatuh cinta kepada rakyat biasa lalu menikah. Namun, demi menutupi borok kerajaan, rakyat jelata itu dipersonifikasikan dengan anjing.

Dengan demikian, andai cerita ini tersebar, tak akan ada aib nan turut diperbincangkan. Namun, tafsiran tersebut tetaplah merupakan tafsiran semata. Yang jelas, dalam pelajaran SD, Tumang sang ayah Sangkuriang tetap ditampilkan sebagai anjing; bukan manusia.



Kisah Sangkuriang Terlalu Dewasa buat Menjadi Pelajaran SD

Sangkuriang pun mulai tumbuh sebagai remaja. Suatu saat, Sangkuriang berburu seperti biasa bersama Tumang. Namun, kali ini binatang buruannya seolah raib tertelan bumi. Karena putus harapan tak mendapatkan daging, Sangkuriang membunuh Tumang dan dagingnya diberikan kepada Dayang Sumbi.

Sang ibu nan menyantap makanan, bertanya di manakah Tumang. Sangkuriang pun menuturkan kisah sesungguhnya. Dayang Sumbi begitu berang sebab sang anak telah membunuh ayahnya sendiri. Sangkuriang pun diusir jauh-jauh dari loka tinggal Dayang Sumbi setelah dipukul di bagian kepalanya.

Dalam pelajaran SD, biasanya anak-anak akan ditekankan pada pesan moral bahwa seseorang tak boleh menghalalkan segala macam cara seperti Sangkuriang. Kalaupun kita tak mendapatkan hasil nan maksimal (dilukiskan dengan perburuan nan gagal), bukan berarti kita harus mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi (dilukiskan dengan pembunuhan Tumang). Selain itu, ada amanat krusial lain: pentingnya patuh kepada orang tua; sesuatu nan sering disampaikan secara implisit maupun tersurat dalam pelajaran SD.

Sangkuriang sendiri beberapa tahun kemudian, kembali ke hutan nan sudah tidak dikenalinya lagi. Di sanalah ia bersua dengan Dayang Sumbi nan seolah tidak mengenal usia. Meskipun sudah sekian lama waktu berlalu, Dayang Sumbi masih memiliki wajah ayu nan membuat semua lelaki akan jatuh hati kepadanya. Termasuk Sangkuriang.

Entah mengapa Sangkuriang gagal mengenali paras ibunya nan tidak berubah tersebut. Keduanya pun jatuh hati dan memadu kasih. Suatu ketika, Dayang Sumbi tengah membelai rambut Sangkuriang dan menemukan luka di batok kepalanya. Kala Dayang Sumbi meminta Sangkuriang mengisahkan asal-usul luka tersebut, betapa terkejutnya Dayang Sumbi sebab nan hendak menikahinya ialah anaknya sendiri. Maka, ia pun menyusun siasat agar Sangkuriang gagal mempersuntingnya.

Sampai di sini, jika disebut Sangkuriang ialah dongeng nan hanya layak buat pelajaran SD, sebenarnya kurang tepat. Ada beberapa penggalan kisah Sangkuriang nan terlalu dewasa buat disampaikan dalam pelajaran SD .

Singkat cerita, Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang bisa membangun sebuah danau hanya dalam waktu semalam; dilengkapi sampan nan akan digunakan buat mereka berdua dalam memandangi estetika danau. Waktu nan begitu singkat ini tak membuat Sangkuriang mengerut. Ia memiliki banyak mitra makhluk halus nan memiliki kekuatan luar biasa.

Hanya dalam waktu singkat, danau sudah siap terbentuk. Dayang Sumbi nan melihat kejadian ini begitu panik. Bagaimana mungkin anaknya sendiri akan menikah dengannya? Namun, bukankah Dayang Sumbi sendiri nan sudah memutuskan ujian bagi Sangkuriang? Bukankah kalau Sangkuriang sudah mampu melaksanakan ujian tersebut, ia layak mendapatkan haknya?

Satu-satunya cara agar Sangkuriang berhenti ialah mengecoh waktu. Dayang Sumbi menciptakan fajar tipuan. Ada versi cerita nan menyebutkan, Dayang Sumbi sengaja membakar hutan sehingga ufuk timur menyala merah. Sangkuriang nan mengira fajar telah merekah, berang bukan kepalang. Gagal sudah rencananya menyunting sang pujaan hati. Setengah putus asa, dilemparkannya bahtera tadi ke danau nan belum selesai dibuat sehingga terciptalah gunung Tangkubang Bahtera atau dalam arti harafiah, gunung bahtera terbalik.

Di sini, seandainya pun kisah Sangkuriang ditujukan buat anak-anak atau pelajaran SD, terlihatlah bahwa cerita ini terlalu penuh konflik percintaan dan kelicikan nan hanya ada dalam global orang dewasa. Dayang Sumbi seolah dilegalkan buat membakar hutan; berbuat jelek demi menjaga kehormatannya sendiri nan tak sinkron dengan pelajaran SD. Sementara itu, upaya Sangkuriang nan melempar sampannya ke danau menunjukkan penerimaan nan begitu jelek terhadap takdir Tuhan; sesuatu nan justru seharusnya jauh dari pelajaran SD.



Dongeng dan Anti Titik puncak Label Pelajaran SD

Jika melihat terlalu dewasanya kisah Sangkuriang buat pelajaran SD, layak diduga apakah misteri kisah nan sering menjadi bahan pelajaran SD ini. Cocokkah kisah Sangkuriang disebut hanya pelajaran SD? Apakah kisah ini murni kisah oedipus complex sehingga tak sinkron buat pelajaran SD?

Jawabannya, mungkin ada hal lain nan ingin disampaikan oleh pembuat cerita Sangkuriang. Hal lain itu sendiri sama sekali tak berkaitan dengan defleksi hasrat seksual atau interaksi percintaan, melainkan tentang kisah perubahan geologis di Bandung.

Ya, jika diteliti, ada hal nan aneh dalam kisah Sangkuriang, yaitu danau. Dalam sejarah geologis di wilayah Bandung, sumber cerita Sangkuriang, sekitar 160 ribu hingga 16 ribu tahun lalu, di wilayah ini terdapat sebuah danau raksasa nan oleh pakar geologi dinamai Danau Bandung. Seperti kisah Sangkuriang bahwa danau harus diciptakan dalam semalam, Danau Bandung juga tercipta dalam waktu nan sangat singkat dampak ledakan gunung berapi.

Gunung ini syahdan meledak hingga tersisa separuhnya, seperti kejadian nan pernah menimpa Gunung Krakatau. Bebatuan gunung ini menciptakan tanggul alami sehingga terjadilah Danau Bandung. Yang paling unik Danau Bandung sendiri sudah lama menghilang. Terakhir kali, Danau Bandung surut hingga tidak bersisa adalam sekitar 11 hingga 15 ribu tahun lalu.

Artinya, nenek moyang kita nan menciptakan kisah Sangkuriang, minimal sudah ada di sana sekitar waktu-waktu tersebut. Mereka menggunakan kisah Sangkuriang buat merekam sejarah sekaligus mengisahkan ulang kepada generasi penerus tentang bahayanya dan betapa dahsyatnya kuasa alam.

Melihat fakta nan menakjubkan seperti ini, masihkah kita menyebut bahwa Sangkuriang hanyalah dongeng buat pelajaran SD? Kalaupun memang Sangkuriang hanya buat anak-anak, informasinya sama sekali lebih dari sekadar pelajaran SD.