Hipotesi Konflik

Hipotesi Konflik

Kerukunan umat beragama telah digiatkan di Indonesia sejak lama. Salah satunya ialah tokoh Mohammad Natsir (1908 – 1993), telah memberikan perhatian pada perseteruan umat beragama di Indonesia. Terutama pada proses misi-misi suatu agama nan terus melakukan merekrutan pada penganut-penganut agama lain.

Era tahun 1960. Telah terjadi berbagai peristiwa konflik antara dua agama. Di antaranya ialah peristiwa Slipi di Jakarta Barat, peristiwa Manado, peristiwa Pulau Banyak di Jakarta, peristiwa Donggo di Kabupaten Bima. Semua peristiwa ini menyulut ketegangan antar umat beragama, khususnya Islam dan Kristen. Bahkan menjadi isu nasional.



Kebijakan Pemerintah

Dalam mewujudkan kerukunan umat beragama dan menghindari terjadinya konflik di Indonesia, sejak tahun 1960-1980, pemerintah telah melaksanakan berbagai pendekatan dan lahirlah bermacam peraturan.

Semua peraturan membahas tentang pendirian rumah ibadah nan harus dimusyawarahkan antara masyarakat dan pemerintah setempat, penyiaran agama, donasi keagamaan dari luar negeri, dan tenaga asing bidang keagamaan.

Berikut ini kebijakan pemerintah nan pernah diterbitkan buat menjaga kerukunan dan kestabilan nasional.

  1. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Anggaran Pendirian Rumah Ibadah dan Penyiaran Agama di Indonesia. Keputusan Bersama Nomor 1/1969.
  1. Keputusan Menteri Agama Nomor 70/1978 tentang Panduan Penyiaran Agama.
  1. Keputusan Menteri Agama Nomor 77/1978 tentang Donasi Luar Negeri kepada Forum Keagamaan.
  1. Keputusan Menteri Agama Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1979 tentang Tata Cara Penyiaran dan Donasi Keagamaan dari Luar Negeri.
  1. Keputusan Menteri Agama Nomor 49/1980 tentang Aktivitas Tenaga Asing nan Bergerak dalam Bidang Keagamaan.

Masalah kerukunan dan konflik kehidupan beragama di Indonesia dikenal oleh global sebagai tatanan sebuah masyarakat multikultural.

Hidup penuh kerukunan dan saling menghormati. Semua agama di Indonesia berkembang dalam cara penetrasi damai atau penetration pacifique . Ketegangan muncul saat perjumpaan antar agama. Tapi tak pernah menjadi konflik terbuka nan melahirkan aksi kekerasan.



Unsur dalam Sebuah Agama
  1. Kepercayaan. Di dalam pengertian agama, kepercayaan akan suatu agama itu ialah adanya prinsip-prinsip pada hal mistik nan dianggap sahih tanpa ada keraguan lagi. Kepercayaan ini merupakan unsur krusial di dalam suatu agama. Tanpa adanya suatu unsur kepercayaan, maka tak akan terbentuk suatu agama. Orang bisa percaya tanpa harus mengetahui pengertian agama nan sesungguhnya. Namun mengerti dan mengetahui pengertian agama tetapi tak percaya, maka akan sia-sia dan percuma.
  1. Simbol. Suatu agama harus memiliki unsur simbol nan menjadi bukti diri agama tersebut dan nan membedakan agama tersebut dengan agama nan lainnya. Namun pengertian agama secara generik tak berdasarkan pada simbol-simbol nan digunakannya. Simbol seperti halnya salib buat nan beragama Kristen, hanya sebuah simbol. Simbol nan menyatakan bukti diri suatu agama ini juga dapat dilihat dari kitab kudus masing-masing agama. Dari kitab kudus tersebut, maka orang akan langsung mengetahui agama seseorang tanpa harus bertanya langsung.
  1. Praktik. Unsur berikutnya nan sine qua non dalam menjalankan suatu agama yaitu praktik atau tata cara beribadat dalam suatu agama. Misalnya saja dalam hal ini ialah seremoni Ekaristi, anggaran shalat lima waktu, sembahyang ke wihara, dan lain sebagainya. Pengertian agama buat masing-masing tata cara keagamaan nan mereka lakukan berbeda-beda, tetapi tetap saja harus memiliki hakikat nan sama dalam menjalankan tata cara peribadahan suatu agama tersebut, yaitu memuji dan menyembah Sang Pencipta.
  1. Pengalaman. Pengalaman nan menjadi unsur suatu agama ini maksudnya ialah adanya pengalaman batin nan dialami oleh penganut-penganut agama secara pribadi, terlepas mereka mengerti dan mengetahui pengertian agama itu apa.
  1. Umat. Unsur nan terakhir ialah umat. Tanpa umat maka tak akan ada agama.


Hipotesi Konflik

Berbagai hipotesa muncul buat mempelajari letupan-letupan konflik dari bentuan peradaban dalam kehidupan beragama. Sebagai berikut:

Pertama . Kerukunan hayati beragama termasuk empiris sejarah dalam hayati manusia. Kejadian konflik agama ialah “kecelakaan” dari tidak terkendalinya proses reformasi di Indonesia.

Kedua . Konflik antar umat beragama sebagai buah dari kepentingan politisasi agama. Di belakang konflik itu terjadi proses nan mendasar, seperti perkembangan internasional nan berdampak pada radikalisasi gerakan-gerakan Islam.

Ketiga . Konflik antar umat beragama itu dilatar belakangi dari benturan kepentingan politik, ekonomi, sosial. Maka agama dimunculkan buat menjalin solidaritas antar kelompok nan bertikai.

Keempat . Sifat dasar masyarakat Indonesia ialah ramah tamah, rukun, gotong royong, dan saling menghormati satu sama lain. Tetapi kepentingan suatu kelompok sering membawa masyarakat pada situasi nan tak diharapkan.

Kelima . Munculnya konflik ialah konsekuensi dari pandangan mendasar dalam suatu agama.

Untuk menciptakan kerukunan umat beragama dalam masyarakat multikultural di Indonesia memerlukan pemahaman penyeluruh tentang pengertian kebebasan beragama. Dan saat ini diperlukan sebuah kebijakan pemerintah, berupa Undang-Undang Kebebasan Beragama di Indonesia. UU Kebebasan beragama tersebut harus mengakomodir keinginan berbagai pihak dan agama.



Kerukunan Umat Beragama Menurut Kementerian Agama

Kementerian Agama berdasarkan UU No.2/2010 menjalankan roda pemerintahan dengan misi di antaranya meningkatkan kualitas kehidupan beragama, mengurus dan menyelenggarakan ibadah haji, mengatur sekolah-sekolah dan madrasah serta meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.

Pemimpin paling tinggi di Kementerian Agama ialah Menteri Agama nan buat periode sekarang masih dipegang oleh Suryadharma Ali.
Kementerian Agama membawahi seluruh agama nan diakui oleh pemerintah.

Sebagai koordinator dari masing-masing agama nan berbeda itu, dalam Kementerian Agama ada Ditjen Bimas buat masing-masing agama. Sekalipun punya hak dan kesempatan nan sama bahwa masing-masing agama resmi di Indonesia dapat menjadi Menteri Agama, namun sejauh ini seorang menteri agama selalu berasal dari agama mayoritas nan diakui pemerintah Indonesia yakni agama Islam.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, Kementerian Agama tak selalu mengawasi bagaimana agama itu dijalankan. Namun sebagai pemegang regulasi dan fungsi pengawasan, telah dibentuk unit-unit kerja nan salah tugasnya ialah bagaimana selalu menjaga kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat satu agama.

Hal nan mengejutkan terkait dengan Kementerian Agama ialah kebersihan moral forum ini nan justru tertinggal dibanding departemen lain. Padahal semestinya kementerian nan mengurusi agama alias menjaga dan memelihara moral, menjadi nan paling depan dalam hal menjaga dan memelihara moral ini.

Sayangnya, hal itu justru tak terjadi di Kementerian Agama. Dalam sebuah hasil penelitian forum formal menyatakan bahwa Kementerian Agama termasuk nan paling rendah dalam merespon masalah praktik korupsi. Dengan kata lain Kementerian Agama masih termasuk paling tinggi dalam praktiek korupsi. Sungguh ironis memang.

Secara historis kehidupan beragama di Indonesia tak dapat terlepas dari campur tangan pemerintah sebagai pengelola, pengontrol dan menjaga agar kerukunan antar umat beragama tetap terjalin dengan baik sehingga tak menjagi gangguan dalam melaksanakan roda pemerintahan, yaitu Kementerian Agam. Baik ketika zaman kerajaan, zaman penjajahan Belanda maupun pada kehidupan zaman kemerdekaan, pemerintahan telah menggariskan pokok-pokok anggaran kehidupan beragama.

Kementerian Agama memiliki sejarah nan cukup panjang. Semasa penjajahan, pemerintah Belanda telah menggariskan kebijaksanaannya dalam kehidupan beragama terutama buat agama nasrani. Pemerintahan Hindia Belanda misalnya mengatur hak hayati kedaulatan organisasi agama dan gereja buat kaum nasrani, tapi dengan tetap sine qua non izin dari rahib dan sejenisnya.

Sementara bagi pribumi, seluruh pelaksanaan, supervisi dan pengaturan kehidupan beragama umat nasrani berada pada tangan raja sampai dengan pemimpin terendah nan ada. Cerita ini menjadi bagian dari sejarah hadirnya Kementerian Agama.

Sementara itu setelah bangsa memperoleh kemerdekaan, pada tanggal 3 Januari 1946 didirikan Departemen Agama, nama terdahulu dari Kementerian Agama, sebagai perwujudan dari amanat UUD 1945.

Secara yuridis pendirian Departemen Agama atau Kementerian Agama pada masa lalu dapat diperiksa pada BAB E Pasar 19 tentang agama, nan dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk buat memeluk agama masing-masing, beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu.

Dengan demikian bagi bangsa Indonesia, agama sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan negara Republik Indonesia nan berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karenanya, kehidupan beragama dan segala hal nan ditimbulkan dari agama tersebut, perlu diatur sedemikian rupa oleh satu departemen nan bernama Departemen Agama. Pejabat paling tinggi dalam departemen agama atau Kementerian agama ialah Menteri Agama.

Keharmonisan suasana kebebasan beragama di negeri ini, bisa dibangun kerukunan sejati antar umat beragama. Semoga!