Romantisme dalam Puisi Penerimaan

Romantisme dalam Puisi Penerimaan

Sejarah kesusastraan Indonesia sudah mencatat nama Chairil Anwar sebagai sastrawan nan produktif. Hasratnya buat menghasilkan karya nan abadi dan dikenang oleh masyarakat sangat menggebu.

Sejarah telah membuktikan bahwa ia sukses mencapai impian tersebut. Kumpulan puisi Chairil Anwar merupakan bukti otentik kerja kerasnya dalam berkarya.

Masa hidupnya nan singkat yaitu 27 tahun (Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 dan mati pada 28 April 1949), Chairil Anwar telah menorehkan karya-karya nan monumental bagi global sastra Indonesia.

Boleh di bilang, Chairil Anwar merupakan salah satu contoh sastrawan produktif dan berbakat di Indonesia.Sehingga sejarah hayati dan kumpulan puisi Chairil Anwar layak dijadikan sebagai monumen perkembangan sastra tanah air.



Puisi

Kumpulan puisi Chairil Anwar ialah karya sastra nan sangat berharga bagi global pendidikan Indonesia. Sampai sekarang karya tersebut masih di gunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Puisi 'Aku' ialah masterpiece bagi para calon sastrawan buat mempelalajari puisi.

Kumpulan puisi Chairil Anwar saat ini telah dibukukan. Semua karya sastrawan ini baik nan asli, modifikasi maupun nan diduga dijiplak sudah dibukukan. Karya-karya Chairil Anwar nan telah dibukukan diataranya yaitu: ' Deru Campur Debu ' (1969), ' Kerikil Tajam nan terhempas dan nan Putus ' (1949) dan ' Tiga Menguak Takdir ' (1950).
Tidak hanya itu, kumpulan puisi Chairil Anwar diantaranya: Aku Ini Binatang Jalang, koleksi sajak 1942-1949 ' dan Derai-Derai Cemara (1998).



Alih Bahasa

Kumpulan puisi Chairil Anwar ternyata tak hanya menyihir para penikmat sastra tanah air. Estetika puisi-puisinya telah menarik perhatian global internasional. Sehingga, beberapa karyanya berhasil diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing diantaranya yaitu: Bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol.

Kumpulan puisi Chairil Anwar diterjemahkan oleh: Donna M. Dickinson (California: 1960), Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York: 1963), Ulli Beier (New Guinea: 1969), Burton Raffel (New York: 1970), Liaw Yock Fang (Singapore: 1974), Walter Karwatth (Wina: 1978) dan Burton Raffel (Athens, Ohio: 1993).

Kumpulan puisi karya Chairil Anwar juga digunakan sebagai surat keterangan pada beberapa universitas di luar negeri seperti State University of New York, Ohio University dan lain sebagainya.



Romantisme dalam Puisi Penerimaan

Chairil Anwar dilahirkan 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal global di Jakarta pada usia 27 tahun, pada 23 April 1949 di Jakarta. Kumpulan puisi Chairil Anwar berjudul Kerikil Tajam dan nan Terhempas , dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949) dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan puisi nan terakhir merupakan antologi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin.

Sajak-sajak Chairil Anwar juga banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel diantaranya dalam Selected Poems of Chairil Anwar (New York, 1962) dan The Complete Poerty and Prose of Cairil Anwar (New York, 1970). Puisi Chairil Anwar juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerma oleh Walter Karwath dengan judul Feur und Asche (Wina, 1978)

Penerimaan ialah salah satu puisi romantis Chairil Anwar pada bulan Maret tahun 1943. Dalam puisi ini, Chairil Anwar mencoba buat menggambarkan betapa romantis dan sayangnya dia pada sang mantan kekasihnya. Dengan penuh rasa, Chairil Anwar mengungkapkan kepada sang mantan nan ingin kembali padanya, walaupun telah meninggalkannya sebelumnya.

Chairil Anwar secara tegas mengatakan bahwa dia mau menerima jika mantannya mau kembali kepadanya. Sepenuh hati, Chairil Anwar menyatakan hal tersebut kepada sang mantan.

Hal itu sebab Chairil Anwar-pun masih sendiri. Dia belum menggantikan keberadaan sang kekasih dengan kekasih baru. Chairil Anwar ingin menunjukkan betapa dia masih begitu sayang dan cinta serta mau menerima kehadiran nan kekasihnya lagi.

Dalam puisi tersebut dengan tegas Chairil Anwar menyatakan bahwa dia mau menerima sang kekasih walaupun dia sangat tahu bahwa sang kekasih sudah tak seperti dahulu lagi.

Chairil menyadari bahwa sang kekasih telah berbagi hati dan perasaan dengan nan lainnya, seperti kembang nan sarinya sudah terbagi. Tetapi dengan penuh ketegaan hati, Chairil Anwar bersedia menerima sang kekasih apa adanya.



Kumpulan Puisi Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tidak seorang pun kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan dapat kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan saya akan lebih tak perduli

Aku mau hayati seribu tahun lagi

***



Nisan

Bukan kematian menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutabu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta

(Oktober, 1942)

***



Doa

Tuhanku dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Memngikat kau penuh seluruh

Cahyamu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelas sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintumu saya mengetuk

Aku tidak bias berpaling

***



Prajurit Jaga Malam

Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda nan lincah nan tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah wafat ini

Aku suka pada mereka nan berani hidup

Aku suka pada mereka nan masuk menemu malam

Malam nan berwangi mimpi, terlucut debu......

Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu !

(1948)

***



Malam

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

--Thermopylae?-

- jagal tak dikenal ? -

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

***



Krawang-Bekasi

Kami nan kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak dapat teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah nan tak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak

Kami wafat muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa nan kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum dapat memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi ialah kepunyaanmu

Kaulah lagi nan tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang buat kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tak buat apa-apa,

Kami tak tahu, kami tak lagi dapat berkata

Kaulah sekarang nan berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)

***



Hampa

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

***



Sajak Putih

Bersandar pada tari rona pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu bunga mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tak membelah...

***



Senja Di Pelabuhan Kecil

Ini kali tak ada nan mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan dapat terdekap

1946

***



Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole untuk si pacar.

angin membantu, bahari terang, tapi terasa

aku tak 'kan sampai padanya.

Di air nan tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

"Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu nan bersama 'kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau 'ku mati, dia wafat iseng sendiri.

1946

***



Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah nan membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini saya terlalu sangat bisa jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

***



Yang Terampas dan Yang Putus

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia nan kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

saya berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan saya dapat lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan nan bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

***