Filsafat Barat - Socrates dan Demokrasi

Filsafat Barat - Socrates dan Demokrasi

Jangan terkecoh dengan istilah barat dan timur dalam filsafat. Istilah itu tak selalu merujuk pada pembagian teritori suatu wilayah belahan global ini. Filsafat barat dan filsafat timur ialah suatu cara pengelompokan pemikiran filsafat berdasar corak pemikirannya.

Perbedaan fundamental antara filsafat barat dan filsafat timur, dengan sendirinya juga menunjuk pada disparitas corak pemikiran ini. Filsafat barat mengedepankan aspek rasionalitas sedangkan filsafat timur mengedepankan aspek intuisi.

Konon, filsafat barat dilahirkan sebagai buah kemenangan akal atas dongeng atau mitos nan diterima dari agama. Pengertian tentang asal mula segala sesuatu di global ini mulai diragukan oleh para filsuf, dan mereka mulai menyelidiki hal itu dengan akal pikirannya. Pada mulanya, filsafat berkembang di Yunani (Greek) dan pada akhirnya menyebar ke seluruh pelosok belahan dunia.

Meskipun tak selalu merujuk pada pembagian daerah teritorial, faktanya, filsafat barat lahir dari pemikiran para filsuf nan hayati di bumi bagian barat. Sebagian besar dari mereka ialah para tokoh filsuf Eropa nan melegenda.

Filsafat berakar pada pemikiran. Jelas ada disparitas nan mencolok antara pemikiran masyarakat di barat dan masyarakat nan ada di timur. Dikatakan di awal, bahwa pemikiran barat cenderung lebih rasional, sementara pemikiran timur lebih mengandalkan intuisi. Disparitas nan mencolok tersebut sejatinya dapat menjadi satu hal nan menarik buat dibahas.

Kaum barat memang terkenal dengan kerasionalitasannya. Logika menjadi elemen krusial bagi mereka. Sementara nan lainnya, menjadi nomer ke sekian. Hal ini sepertinya memang terlahir dari filsafat atau pemikiran para filsuf mereka terdahulu. Yang memikirkan segala sesuatu berdasarkan pemikiran nan masuk akal.



Filsafat Barat Yunani Kuno

Para pemikir filsafat barat nan pertama sering disebut dengan filsuf alam, sebab mereka menjadikan alam sebagai objek kajian pemikiran filsafat mereka. Tokoh-tokohnya nan terkenal ialah Thales (625-545 SM).

Dia berpendapat bahwa nan menjadi asal mula segala sesuatu ialah air. Selanjutnya disusul oleh Anaximandros (610-540 SM) nan berpendapat bahwa asas pertama alam semesta ialah to apeiro n (yang tidak terbatas). Berkaitan dengan alam sebagai objek pertama dalam pemikiran para filsuf, hal ini tentu masuk akal. Karena alam ialah hal paling menakjubkan nan ada di sekitar mereka.

Berbagai pemikiran tentang asal mula global berkaitan dengan alam menjadi wajar dimiliki oleh para filsuf barat tersebut. Alam memiliki rahasia nan menarik buat dibahasakan secara logika.

Lain lagi dengan Anaximenes (538-480 SM), menurutnya asal mula segala sesuatu ialah hawa atau udara. Sementara itu seorang pakar matematika bernama Pythagoras (580-500 SM), berpendapat bahwa asal mula pertama segala sesuatu ialah bilangan. Pendapat Pythagoras ini didukung juga oleh Xenophanes (570-480 SM), dia juga melihat bahwa sapta merupakan asal mula fenomena nan ada.

Pemikiran dari Phytagoras lain lagi. Bahwa sapta ialah asal mula kehidupan. Pemikiran seperti ini dapat jadi berkaitan dengan kehidupannya nan memang selalu dikelilingi angka. Sehingga ia dengan berani menyimpulkan bahwa fenomena nan ada bermula dari bilangan, dari rangkaian angka-angka.

Hal ini seolah menyiratkan bahwa apa nan melingkupi seseorang ialah hal nan secara dominan memengaruhinya. Tapi, hal tersebut tak serta-merta menjadi patolan. Meskipun pola pikir absolut dapat dibentuk, pembentukkan tersebut tentunya tak dalam waktu nan singkat. Ada sebuah proses, berpikir. Menerima apakah itu baik atau tidak.

Adapaun Herakleitos (540-475 SM), bersikukuh bawa asal mula segala sesuatu itu dapat ditemukan dalam api. Rumusan nan agak rumit selanjutnya dilontarkan oleh Parmenides (540-475 SM), menurutnya asal mula dari segala nan ada ialah holistik dari segala sesuatu nan bersatu, nan tak bergerak dan berubah. Pendapat ini diamini dan disetujui oleh filsuf alam lain, yakni Empedokles.

Setiap pendapat nan dilontarkan oleh masing-masing filsuf semakin meramaikan global filsafat barat. Bahwa pemikiran mereka tentang kehidupan ini ternyata beragam. Pemikiran nan syahdan penuh dengan kerasionalitasan tentang kehidupan, nan sesungguhnya tak hanya dipenuhi oleh hal-hal nan dapat dijelaskan dengan logika.



Filsafat Barat - Socrates dan Demokrasi

Socrates menjadi tonggak maju dalam pemikiran filsafat barat Yunani, sebab dia sudah tak lagi hanya mempertanyakan persoalan mengenai asal usul alam. Socrates sudah mulai fokus dengan mempertanyakan hakikat manusia. Hal menakjubkan lainnya ternyata mulai disadari oleh para filsuf itu, terutama Socrates.

Socrates (469-399 SM), menggunakan metode matematika, yaitu pengertian nan diambil dari proses persalinan. Socrates memosisikan dirinya laksana "bidan" nan membantu seseorang dalam proses persalinan dengan "melahirkan" pemikirannya. Metode ini dilakukan Socrates dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan nan membingungkan orang.

Seorang filsuf sepertinya memang khas dengan perilaku-perilaku nyeleneh . Termasuk Socrates ini. Ia sesungguhnya sedang berpikir, namun, buat membedakannya dengan profesor, Socrates berpikir dengan gaya lain. Yakni mengajukan pertanyaan-pertanyaan nan membingungkan.

Tidak heran bila para filsuf ini identik dengan kesan seorang gila. Dengan segala pemikirannya nan berbeda dari kebanyakan, mereka justru dianggap sebagai pribadi nan aneh. Padahal memang itulah nan membedakan seorang filsuf dengan orang kebanyakan.

Inti ajaran Socrates ialah asumsi bahwa jiwa atau hayati manusia bukanlah sekadar nafas. Melainkan sesuatu nan memiliki arti lebih dalam lagi nan menjadikan jiwa sebagai inti sari manusia. Dengan demikian, esensi dari manusia ialah pribadi nan bertanggung jawab. Makna tanggung jawab inilah nan membedakan manusia dengan binatang.

Dalam hal ini, orang-orang nan menganggap Socrates aneh justru ialah mereka nan aneh. Jelas saja, tanggung jawab menjadi salah satu hal nan membedakan manusia dengan binatang. Jika manusia tak bertanggung jawab, apa bedanya dengan hewan nan kencing di sembarang loka lalu berlalu begitu saja?

Socrates juga seorang pemikir filsafat nan kontroversial. Dia dianggap "sinting" dan dimusuhi orang banyak. Salah satu "kesintingannya" ditunjukkan oleh perilakunya nan membawa obor pada siang hari bolong, berkeliling pasar, bertanya kepada orang-orang dengan pertanyaan; " tahukah kamu di mana kebenaran berada ?"

Bahkan ketika di Yunani mulai diterapkan prinsip demokrasi, Socrates menolaknya dengan keras. Bagi Socrates, demokrasi ialah sistem politik nan aneh, seseorang dapat bergiliran buat saling memerintah dan diperintah. Pemikiran Socrates jauh meninggalkan pemikiran-pemikiran orang nan hayati di zamannya. Filsafat barat patut bangga memiliki filsuf sepertinya.

Penolakan Socrates terhadap demokrasi, mengakibatkannya dimusuhi masyarakat. Akhirnya, dia dijatuhi sanksi wafat sebab menolak sistem demokrasi. Selama menunggu jalannya eksekusi, banyak kawan-kawannya nan membujuk dan berusaha mengeluarkan Socrates dari penjara. Tetapi Socrates menolaknya. Akhirnya Socrates pun menjalani eksekusi wafat dengan menenggak anggur beracun.

Apa nan dilakukan Socrates sebenarnya dapat menjadi renungan bagi kita, bahwa ternyata demokrasi nan diagungkan itu telah stigma sejak lahir. Betapa tidak, demokrasi nan syahdan mendewakan perbedaan, ternyata tak dapat bersikap akomodatif terhadap semua perbedaan. Buktinya, dia menghukum wafat pihak-pihak nan menolaknya.

Filsafat barat dan timur melahirkan banyak filsuf dengan pemikiran-pemikirannya nan unik. Rata-rata dari mereka memang terdepan sebab berbeda. Mereka tak takut menyuarakan apa nan ada di benaknya. Bahwa pemikiran itu sesungguhnya bukan hal nan tabu buat dibicarakan. Bahwa berpikir ialah juga nan membedakan manusia dengan binatang.