Bulukumba - Masyarakat nan Ramah Lingkungan

Bulukumba - Masyarakat nan Ramah Lingkungan

Bulukumba tidak hanya menjadi loka pembuatan bahtera pinisi nan termasyhur itu. Di Bulukumba ada satu kawasan adat nan bisa mengajarkan kita bagaimana menghargai kesederhanaan hidup, kejujuran nan sudah terkikis dalam diri masyarakat kita dan menghargai alam nan telah memberikan banyak kekayaan. Kawasan adat tersebut disebut kawasan adat Ammatoa Kajang atau biasa disebut Kawasan adat Tana Toa atau kawasan Tana Toa saja.

Tempat ini tak disebut kampung adat sebab tempatnya nan lumayan besar dan luas. Jika memasuki kawasan ini, kita diharuskan memakai baju serba hitam khas Kajang. Kawasan ini terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Kawasan adat Ammatoa Kajang ini berada dalam wilayah administrasi Desa Tana Toa nan berjarak 56 km dari Kota Bulukumba. Karena letaknya nan berada di Desa Tana Toa, maka kawasan adat ini juga dikenal sebagai kawasan adat Tana Toa.

Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam satu kawasan hutan nan luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu nan berhubungan dengan hal-hal modernisasi nan ada di sekitar Bulukumba .



Seperti Apa Masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba?

Masyarakat di kawasan adat Tana Toa ialah salah satu suku di Indonesia nan sangat teguh memegang dan mempertahankan adat istiadat. Untuk memasuki adat Tana Toa atau Ammatoa, kita harus melalui pintu masuk, dengan terlebih dahulu menggunakan baju adat Ammatoa Kajang nan berwarna hitam.

Hitam merupakan sebuah rona adat nan kental akan keskralan bagi kebanyakan suku di Indonesia. Rona hitam mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa Kajang sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kecenderungan dalam kesederhanaan. Tidak ada rona hitam nan lebih baik antara nan satu dengan nan lain. Semua hitam ialah sama.

Warna hitam menunjukkan kekuatan, kecenderungan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kecenderungan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan nan harus dijaga keseimbangannya sebab hutan merupakan sumber kehidupan.

Kawasan inti pemukiman masyarakat Ammatoa Kajang berada 800 m dari pintu gerbang nan ditempuh dengan berjalan kaki. Kawasan adat Tana Toa ini (Ammatoa Kajang) ini sangat tertutup. Ada dua nama kawasan nan digunakan buat mengetahui masyarakat Ammatoa Kajang nan masih murni (tidak terpengaruh oleh pengaruh luar adat) dan masyarakat Ammatoa nan sudah bisa menerima modernisasi.

Kawasan Kajang luar bagi masyarakat Ammatoa Kajang nan sudah tersentuh sendi-sendi kehidupan modernisme sedangkan Kawasan Kajang dalam ialah kawasan masyarakat Kajang nan tak tersentuh modernisme sama sekali. Masyarakat nan hayati dalam kawasan Kajang dalam masih benar-benar mengikuti ajaran dan adat tradisi leluhurnya sehingga masih terjaga keasliannya.

Dalam kawasan Kajang dalam ini sangat tabu tentang segala hal-hal modernisme, sehingga kawasan ini sangat tradisional. Meskipun masyarakat nan tinggal di kawasan Kajang luar sudah mengenal modernisme, tapi dalam beberapa hal masyarakat Kajang luar tetap mematuhi ketentuan-ketentuan adat nan berlaku, seperti di kawasan adat Kajang dalam.

Tana Toa lahir dari kesemrawutan nan terjadi di masa lalu. Seluruh kehidupan di global termasuk manusia pada masa itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang buat membentuk sebuah komunitas dengan segala anggaran nan ada di dalamnya nan sampai saat ini masih bertahan dan tetap dilestarikan.

Pada dasarnya jika peraturan dan adat tersebut baik, maka peraturan tersebut akan berjalan lama. Sehari-hari, masyarakat adat Ammatoa Kajang menggunakan bahasa Konjo. Bahasa ini merupakan rumpun bahasa Makassar nan berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Tana Toa memegang teguh Pasanga ri Kajang (Pesan di Kajang) nan juga ialah ajaran leluhur mereka. Isi Pasanga ri Kajang tersebut antara lain sebagai berikut.

  1. Tangurangi mange ri turiea arana, nan artinya senantiasa ingat pada Tuhan nan berkehendak.
  1. Alemo sibatang, abulo sipapa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatu tang sipakasiri, artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
  1. Lambusu kigattang sabara ki pesona, artinya bertindak tegas, tetapi juga sabar dan tawakkal.
  1. Sallu riajoka, ammulu ridahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, artinya harus taat pada anggaran nan telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung.
  1. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttaya, artinya melaksanakan segala anggaran secara murni dan konsekuen.

Kelima ajaran inilah nan menjadi panduan masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini lahir prinsip hayati sederhana dan saling menyayangi di antara mereka. Lebih dari itu ialah bentuk afeksi terhadap lingkungan mereka.

Prakteknya bisa kita lihat dengan adanya hukum adat nan melarang mengambil hasil hutan dan isinya secara sembarangan. Masyarakat ini sangat peduli terhadap lingkungan, terutama pada kelestarian hutan nan harus tetap dijaga.



Bulukumba - Masyarakat nan Ramah Lingkungan

Sebelum isu perusakan hutan dan pemanasan dunia digembar-gemborkan, masyarakat adat Ammatoa Kajang sudah tahu bagaimana harus memperlakukan hutan. Hutan layaknya ibu nan selalu menyiapkan sesuatu nan terbaik bagi anaknya. Mereka menghormati hutan, seperti menghormati ibu mereka. Menjaga agar hutan selalu dalam keadaan seimbang dan terkendali.

Jika ditelisik lebih lanjut, masyarakat ini lebih pintar dari masyarakat Indonesia modern saat ini sebab sudah tahu bagaimana harus memperlakukan lingkungan dengan baik. Mereka tidak perlu diajari bagaimana harus menjaga ekuilibrium lingkungan sekitar. Keputusan buat menghindari modernitas agaknya ialah sebuah pilihan nan baik.

Modernitas mempunyai sisi jelek nan sama banyaknya dengan sisi baiknya. Modernitas membuat manusia menjadi konsumtif dan termanjakan dengan segala kemudahan. Cara masyarakat ini menjaga lingkungan ialah dengan hukum adat.

Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat hutan adat, nan disebut juga hutan pusaka, seluas 317,4 Ha. Hutan ini sama sekali tak boleh diganggu sama sekali, sehingga tak diperbolehkan kegiatan apapun nan bisa merusak kelestarian hutan. Kegiatan nan tak diperbolehkan tersebut, antara lain penebangan kayu, perburuan hewan, dan membakar hutan.

Hutan pusaka ialah hutan adat. Setiap pelanggaran nan dilakukan dalam kawasan adat Tana Toa akan mendapatkan hukuman berupa hukum adat. Ada beberapa hukum, dari nan paling ringan hingga nan paling berat. Hukum adat tersebut antara lain sebagai berikut.

  1. Cappa babala. Ini berarti keharusan membayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Ini ialah sanksi teringan.
  1. Babala. Sanksi ini satu taraf di atas Cappa babala dengan membayar denda 33 real ditambah satu ekor kerbau.
  1. Poko babala. Ini termasuk denda tertinggi yaitu dengan membayar 44 real ditambah satu ekor kerbau. Real nan digunakan dalam hal ini ialah nilainya saja, sebab uang nan digunakan ialah uang benggol nan saat ini sudah sporadis ditemukan.

Jika ada kasus pencurian hasil hutan, maka ada bentuk sanksi lain di atas hukum denda tersebut, yaitu tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian nan bertujuan buat mencari pelakunya dengan cara seluruh masyarakat harus memegang linggis nan membara setelah dibakar.

Jika tersangka lari dari sanksi dengan meninggalkan kawasan adat, maka pemangku adat akan menggunakan tunu pasau, yaitu dengan membakar kemenyan dan membaca mantra nan dikirimkan kepada pelaku agar pelaku jatuh sakit atau meninggal secara tak wajar.

Selain hutan adat tersebut, terdapat hutan kemasyarakatan seluas 144 Ha. Hutan ini boleh digarap dengan beberapa syarat. Jika hendak menebang pohon, diharuskan menanam terlebih dahulu bibit pohon nan jenisnya sama dengan pohon nan ditebang.

Ada pula hutan rakyat seluas 98 Ha. Hutan rakyat digarap secara bersama-sama nan kemudian hasilnya dinikmati bersama-sama. Masyarakat adat di Bulukumba ini sangat mengerti betul bahwa bumi merupakan warisan nenek moyang nan sangat berkualitas dan seimbang.

Oleh sebab itu, anak cucunya berhak dan harus mendapatkan kualitas nan sama persis. Ungkapan tersebut bermakna bahwa bumi ditempatkan sebagai anugerah Tuhan nan tidak ternilai harganya. Meskipun letaknya hanya 56 km dari kota Bulukumba, tapi masyarakat ini bisa menghindari moderenisme dengan sangat baik.

Tanpa televisi dan buku-buku nan mengajarkan bagaimana cara menjaga alam, mereka sudah tahu bagaimana caranya memelihara lingkungan dengan baik. Masyarakat ini ialah salah satu potensi nan sangat berharga bagi kabupaten Bulukumba. Secara tak langsung masyarakat adat Ammoto Kajang sudah ikut membantu pemerintah dalam menjaga hutan di kawasan Bulukumba. Di sini hukum adat lebih bergigi dan bernyawa dalam menjaga lingkungan.

Hukum negara nan notabene dilindungi oleh negara secara sah dan absah selama ini tidak dapat membuat hutan Indonesia terjaga dengan baik. Baiknya Indonesia belajar pada masyarakat Bulukumba nan sederhana ini tentang cara hayati seimbang dengan lingkungan sekitar. Tidak ada keserakahan modern, seperti saat ini.