Menurunnya Popularitas Wayang Kulit

Menurunnya Popularitas Wayang Kulit

Wayang kulit ? Bila kita bertanya kepada nenek atau kakek kita, kemungkinan besar mereka akan paham. Namun, dapat dipastikan bahwa sebagian besar remaja akan bertanya sambil mengernyitkan dahi ketika mendengar kata "wayang kulit".

Pendapat-pendapat seperti kurang gaul atau ketinggalan zaman lah nan mungkin akan mereka katakan. Maka, tak salah bila kita simpulkan bahwa sebagian besar remaja niscaya malu bila disuruh menonton kesenian wayang kulit. Padahal wayang kulit ialah salah satu pusaka negara nan memiliki banyak jasa terlebih terhadap pembangunan karakter manusia Indonesia. Ingin bukti?



Wayang Kulit sebagai Penyambung Lidah

Peran wayang kulit dalam menyebarkan agama Islam dapat dibilang sangat sangat besar. Para Sunan menggunakan wayang kulit sebagai penyambung lidah buat berdakwah. Masyarakat Indonesia terutama Jawa nan saat itu sangat kental dengan budaya Hindhu-Budha dapat dengan mudah menerima keberadaan Islam sebagai agama baru lantaran cara berdakwah nan dilakukan oleh para Sunan dianggap menarik, yaitu melalui kesenian wayang kulit.

Lewat cerita-cerita nan diusung oleh para Sunan, masyarakat Jawa belajar banyak hal. Bila tak ada kesenian tersebut, mungkin masyarakat Indonesia terutama Jawa akan sulit menerima keberadaan agama baru nan di mata mereka saat itu dinilai kaku. Kejahatan nan saat itu dianggap wajar, perebutan kekuasaan, dan perang saudara juga mungkin akan menjadi-jadi bila tak ada wayang kulit.

Wayang kulit merupakan perpaduan budaya masyarakat lokal dengan nilai-nilai moral nan terkandung di dalamnya. Bagi nenek moyang kita, mungkin tidak ada kesenian nan paling baik di global ini selain wayang kulit.

Sebut saja kisah Barata Yudha atau dalam bahasa Jawa disebut dengan Baroto Yudho nan mengisahkan kelaliman nan diwakili oleh keluarga Kurawa melawan kebajikan nan diwakili oleh keluarga Pandhawa. Kurawa nan sarat dengan nafsu duniawi, kesombongan, serta keserakahan pada akhirnya dapat ditakhlukkan oleh Pandhawa nan jumlahnya tidak sebanyak Kurawa, nan memiliki sifat sebaliknya. Kisah tersebut menjadi salah satu cerita nan selalu dihadirkan dalam pertunjukan wayang kulit.

Dalam keluarga Pandhawa kita mengenal ada Yudhistira nan bijak, Bima nan kuat, Arjuna nan tampan, dan Nakula Sadewa si kembar. Pun dalam keluarga Kurawa, kita mengenal Suyudana nan lalim. Mereka ialah tokoh-tokoh dalam wayang kulit.



Tokoh Wayang Kulit nan Mewakili Sifat Manusia

Beberapa tokoh wayang kulit di atas mewakili sifat-sifat manusia pada umumnya. Tamak, kejam, serakah, ingin menang sendiri, bijak, kuat, dan tak dapat menahan nafsu, semuanya ialah perwakilan dari sifat-sifat manusia. Pada akhirnya, nan putih nan akan menang meski harus melewati jalan nan tak mudah. Sedangkan sisi hitam, sekalipun pada awalnya dapat berbuat sesuka hati namun pada akhirnya dia akan merasakan dampak dari semua perbuatan kejamnya.

Diakui atau tidak, masyarakat Jawa pada zaman dahulu lebih tertarik dengan cerita-cerita seperti di atas daripada mendengarkan dogma nan belum tentu mereka pahami. Cerita wayang kulit nan mereka saksikan saat itu ibarat buku pelajaran nan mereka jadikan panduan dalam menjalani kehidupan.

Mereka jadi tahu apa nan akan terjadi ketika hayati di global ini hanya buat memuaskan nafsu nan tak terbatas. Mereka juga akan berusaha menyontoh tokoh-tokoh wayang kulit nan dinilai baik, seperti Yudhistira, nan selama hayati sama sekali tidak pernah berbohong. Melalui wayang kulit, masyarakat zaman dulu belajar hitam dan putih, belajar bagaimana mengendalikan nafsu, serta belajar membedakan perkara nan haq dan nan bathil.



Menurunnya Popularitas Wayang Kulit

Seiring dengan berkembangnya zaman, popularitas wayang kulit kemudian mengalami penurunan. Ibarat seniman nan sudah mulai ditinggal penggemarnya sebab sudah tua, pun dengan wayang kulit. Kesenian wayang kulit nan sarat makna mulai tergantikan oleh kehadiran majemuk hiburan nan datang dari luar.

Bila dulu wayang kulit ialah icon dan sebuah kebanggaan, kini wayang kulit hanya tinggal kenangan. Bila dulu tokoh-tokoh wayang kulit seperti Yudhistira, Arjuna, Gatotkaca begitu mendunia, kini mereka harus rela "lengser" digantikan dengan tokoh-tokoh seperti Harry Potter, Kapten Jack Sparrow, Jacob Black, Edward Cullen, dan nan sejenis.

Ya, kenyataannya kita terutama remaja, memang lebih mengenal tokoh-tokoh tersebut dibandingkan dengan tokoh-tokoh wayang kulit. Coba saja tanyakan siapa Harry Potter, sudah dapat dipastikan bahwa sebagian besar di antara kita dapat dengan mudah menebaknya. Namun, ketika ditanya siapa Yudhistira, mungkin hanya segelintir dari kita nan tahu.

Apakah kita salah bila mengagumi tokoh-tokoh di atas? Tentu saja tidak. Tokoh-tokoh luar nan lebih banyak dikenal oleh masyarakat kita tersebut memiliki banyak sisi positif nan dapat kita teladani. Hanya saja, nan menjadi persoalan adalah, bila dengan tokoh-tokoh spektakuler dari luar saja kita begitu dekat, maka sangat mengherankan bukan bila kita tak tahu apa-apa dengan tokoh-tokoh nan juga tidak kalah hebatnya nan berasal dari negeri kita sendiri? Seperti pada tokoh-tokoh wayang kulit. Padahal dua tokoh berbeda generasi tersebut dapat disejajarkan.



Me-recycle Wayang Kulit

Menurunnya popularitas wayang kulit dapat jadi disebabkan sebab wayang kulit dianggap sudah antik dan tak sinkron dengan idealisme anak muda zaman sekarang. Ibarat sebuah lagu, sudah seharusnya bila wayang kulit di- recycle menjadi sesuatu nan baru nan sinkron dengan zaman sekarang. Bukankah Sayyidina Ali pernah berkata, "Didiklah anakmu sinkron dengan zamannya". Maka, tak salah bukan bila wayang kulit memang sudah seharusnya di"remaja"kan.

Beberapa cara nan dapat kita lakukan ialah sebagai berikut.

  1. Menulis ulang kisah-kisah wayang kulit dengan gaya bahasa dan setting nan menarik. Berkaca dari bangsa Jepang nan begitu mencintai budayanya melalui novel dan film nan berkisah tentang budaya mereka, mengapa kita tak mengadaptasinya? Atau bila kita menonton film Percy Jackson nan sebenarnya ialah kisah Pseudon nan memiliki anak dengan setting di zaman modern. Kisah nan sebenarnya boleh dibilang sangat antik tersebut ternyata mampu menarik minat remaja buat menontonnya.

  2. Cara lain misalnya dengan mengadakan lomba bertema wayang kulit. Dengan menggandeng sekolah, universitas, dan instansi pendidikan sejenis, pemerintah dapat mengadakan lomba karya tulis dengan peserta seluruh lapisan masyarakat Sebagai penarik, tentu hadiahnya harus menggiurkan. Awalnya, mungkin masyarakat hanya akan berorientasi pada hadiah nan sangat menggiurkan tersebut. Akan tetapi pada prosesnya, sebagian peserta akan menemukan estetika dari obyek nan sedang diteliti. Dari nan awalnya hanya profit oriented menjadi cinta.

Sungguh sangat disayangkan bila wayang kulit nan memiliki begitu banyak jasa terhadap pembentukan karakter bangsa Indonesia, kini dilupakan begitu saja. Pada masa lampau kesenian wayang kulit menjadi salah satu kebanggaan dan harta nan tidak ternilai bagi bangsa kita. Namun, sekarang kesenian tersebut seolah tergilas oleh globalisasi. Padahal, banyak hal nan dapat dipelajari generasi muda dari wayang kulit terutama dalam hal pembentukan karakter dan jati diri.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah formula baru nan mampu mengangkat derajat wayang kulit sehingga mampu dianggap sejajar dengan kesenian atau hiburan nan berasal dari luar negeri. Wayang kulit ialah bukti diri dan bukan hanya sekadar barang kuno nan disimpan namun tak diperhatikan. Kalau bukan kita generasi muda Indonesia nan mengangkat kembali derajat wayang kulit, lalu siapa lagi?