Guru Pun Terkadang Memaklumi Siswa Mencontek

Guru Pun Terkadang Memaklumi Siswa Mencontek

Pernah ada suatu kasus di negara Jepang, seorang pelajar mencontek ketika ujian buat masuk universitas. Hal itu diketahui saat pelajar itu sudah resmi diterima sebagai mahasiswa di sana. Warta itu langsung menyebar luas dan masuk surat kabar. Pelajar tersebut dikeluarkan dari universitasnya secara tak hormat dan menderita rasa malu nan sangat.

Ada juga kasus lain, ini terjadi di Indonesia. Waktu terjadinya ketika akan diadakan ujian taraf Nasional bagi kelas 3 SMA. Departemen Pendidikan memberikan baku nan dianggap terlalu tinggi bagi hasil ujian akhir, sehingga baku buat lulus menjadi demikian sulit. Akhirnya, diambillah jalan pintas oleh pihak sekolah buat membiarkan muridnya mencontek di saat UN agar bisa mencapai hasil sinkron sasaran kelulusan. Bahkan, secara sengaja dan terang-terangan pengawas keluar di waktu ujian agar siswa dapat saling menyontek dan bertanya pada teman-temannya. Ironis, bukan?

Anda dapat melihat dua kasus nan serupa, tetapi tak sama ini. Di negara Jepang, mencontek buat lulus ujian malah memberi imbas malu dan hukuman sosial nan luar biasa sampai-sampai si pelajar dikeluarkan. Di Indonesia, mencontek menjadi solusi agar dapat lulus dari ujian nan dianggap "neraka". Bahkan, buat memberikan gambaran baik, sekolah pun memfasilitasi mencontek sehingga terlihat hal itu menjadi boleh, bahkan wajib kalau kepepet. Wah, sungguh mengerikan.

Alasan sekolah mefasilitasi mencontek bagi siswanya lebih disebabkan pada reputasi dan bisnis. Dikatakan reputasi, merasa malu bila siswa nan didiknya banyak nan tak lulus. Dikatakan bisnis, risi tahun depan siswa nan mendaftar di sekolah tersebut tak banyak hingga membuat sekolah tak dapat membayar honor para guru.

Sejatinya, pola pikir sekolah seperti ini tak menunjukkan sekolah mengajarkan karakter kejujuran. Yang ada malah, sekolah mengajarkan tindakan kebohongan. Hal ini tampak pada saat Ujian Nasional berlangsung.



Mencontek sama dengan Curang

Sebenarnya mencontek ialah perbuatan curang nan mengacu pada sifat nan tak jujur. Perbuatan ini jelas salah, dan harusnya diberi hukuman sosial nan berat. Kalau perbuatan curang nan kecil sudah diperbolehkan, bahkan terkesan diharuskan, itu akan membuka peluang perbuatan curang lainnya nan lebih besar.

Perbuatan curang juga akan mengikis rasa malu sebab secara otomatis orang akan mencari pembenaran atas sifat curangnya. Misalnya, “saya terpaksa mencontek, kalau tidak, aku terancam tak lulus” lama-lama kata “ terpaksa ” akan berubah menjadi “ harus”. Maka, pembenaran diri akan menjadi, “ Saya harus mencontek kalau mau lulus” .



Budaya Mencontek Mengikis Malu

Mencontek merupakan perbuatan curang berskala kecil, tetapi berefek besar di kemudian hari. Bila semua generasi muda kita, dari mulai anak SD sudah terbiasa mencontek dan bersifat curang, bukan mustahil mereka akan menganggap enteng perbuatan curang lainnya, seperti mencuri, mengutil di toko, memeras, dan lain sebagainya.

Jadi, hati-hati jangan remehkan perbuatan mencontek. Hal tersebut dapat membuat kita seolah-olah melegalkan perbuatan dursila lainnya, dan kemudian kita akan memaklumi semua hal curang, seperti korupsi dan menipu. Harusnya kita meniru Jepang nan memiliki rasa malu terhadap tindakan salah. Jangan sekali-kali kita melegalkan mencontek dan memakluminya



Guru Pun Terkadang Memaklumi Siswa Mencontek

Tak sedikit guru nan memaklumi siswa nan mencontek. Hal ini dipandang biasa. bahkan terkesan acuh. Ketika penulis mencoba menanyakan, kenapa membiarkan siswa mencontek? Jawaban guru tersebut cukup mengejutkan. Karena ia pun dahulu ketika sekolah hingga kuliah selalu mencontek. Sehingga ketika siswa mencontek, ia pretensi tak tahu saja.

Pengalaman lain juga pernah penulis temukan ketika diminta menjadi pengawas Ujian Nasional di sebuah Sekolah Taraf Pertama. Penulis menemukan siswa membuka catatan nan diberikan gurunya tentang jawaban terhadap soal ujian. Begitu ujian selesai, pihak sekolah memanggil penulis dan memberikan sejumlah uang buat tak menceritakan apa nan penulis saksikan.

Tentu saja penulis tidak mau menerim uang tersebut. Penulis pun menyatakan mengundurkan diri menjadi pengawas ujian.Oleh pihak sekolah loka penulis mengajar pun memanggil dan berharap penulis bisa memaklumi apa nan dilakukan pihak sekolah nan penulis awasi. Bahkan, salah seorang oknum krusial di sekolah tersebut menyatakan bahwa di sekolah loka penulis mengajar pun melakukan hal nan sama.

Maka penulis pun keesokan harinya menyerahkan surat pengunduran diri. Kepala sekolah meminta penulis buat merenungkan kembali niat tersebut, namun penulis tetap menyatakan tidak akan mencabut keputusan penulis. Bagi penulis, jika pendidikan di negeri ini tidak pernah menanamkan karakter kejujuran, maka tidak mengherankan bila kejahatan terus merajalela.

Bahkan bukan tak mungkin, pihak sekolah pun terlibat dalam tindak kejahatan lain. Pasalnya, jika budaya mencontek bagi siswa saja diberlakukan, maka pihak sekolahpun bakal berani meniru dan mencontek kejahatan lain nan berhubungan dengan pendidikan. Dimulai dengan melakukan proposal aturan nan terkadang fiktif dalam hal pembangunannya. Sungguh, jika sekolah sudah menanamkan budaya mencontek mengikis malu , maka anak-anak nan dididik pun tidak akan malu melakukan tindak kejahatan nan lain.



Kini, Peran Kejujuran Di Tangan Orang Tua

Bila sekolah tidak mampu menancapkan sikap kejujuran pada anak didiknya, maka tugas orang tua nan mendidiknya. Pasalnya, nan bertanggungjawab paling primer terhadap pendidikan anak ialah orang tua. Maka dari itu, para orang tua mesti aktif mengecek persiapan anak menghadapi ujian. Di awali dengan menanyakn informasi kapan ujian sekolah diadakan.

Begitu mengetahui tanggal ujian, maka orang tua mesti menyiapkan segala hal nan harus dihapal oleh anak. Sebulan sebelum ujian, anak sudah diminta buat menyiapkan materi-materi nan diujikan. Mintalah anak-anak buat jujur dalam ujian. Meski sebab kejujurannya ia mendapat nilai nan rendah, maka itu lebih baik daripada bisa nilai nan tinggi namun membuatnya tak jujur.

Karena ilmu nan didapat sebab kejujuran akan memberikan berkah nan lama kepada anak. Namun bila anak ujiannya dengan cara mencontek, maka ilmu tersebut tidak akan berbekas baginya. Meski dirapor tertulis dengan angka nan memuaskan tatap saja hal tersebut tidak ada manfaatnya.

Adalah tugas nan paling baik dilakukan oleh orang tua ialah buat meminta anaknya jujur dalam segala hal. Tak usah memikirkan apakah mesti rangking 1 atau tidak, nan paling krusial ialah anaknya jujur dalam menjawab soal ujian. Sehingga nan diminta kepada anaknya adalah, mempersiapkan diri sebulan sebelum ujian. Anaknya diminta buat menghapal apa nan dianggap penting.

Sekali lagi, penulis menekankan bahwa nan memang peran pada ujian saat ini ialah orang tua. Orang tua nan dapat menjembatani anaknya menjadi anak nan jujur. Pasalnya, sudah cukup sulit menemukan sekolah nan mengajarkan kejujuran pada siswanya. Bahkan, bimbingan-bimbingan belajar nan diadakan pun cenderung hanya cara sekolah seolah-olah memiliki program atau kegiatan sekolah nan padat.

Namun ketika Ujian Nasional, guru nan berperan di dalamnya. Guru diminta menjawab soal ujian lalu memberikan kunci jawaban kepada siswa. Setelah itu, antara siswa nan satu dengan siswa nan lain saling memberikan contekkan. Meski kini tidak semua sekolah memerankan cara nan sama.

Ada juga sekolah nan memerankannya dengan cara meminta kepada pengawas ujian agar jam selesai ujian dipercepat. Lalu pihak sekolah menyiapkan ruang spesifik nan di dalamnya terdapat beberapa oknum nan ditugaskan buat membenarkan jawaban siswa nan salah.

Di sinilah peran sekolah menaikkan nilai siswa nan dianggap layak naik. Memang tak semua siswa dibenarkan jawabannya. Namun ada tingkatan-tingkatan siswa nan jawabannya dibenarkan. Intinya, sekolah membuat seolah jawaban siswa sahih dikerjakannya. Jelas ini memang bukan praktek budaya mencontek mengikis malu , tapi ini ialah budaya kebohongan mengikis iman.

Sekolah nan melakukannya demi nilai siswa bagus, padahal kebohongan nan dilakukannya. Mereka menilai, semua ini dilakukan sebab terpaksa. Lagi-lagi kata “terpaksa” menjadi kambing hitam. Padahal, sejatinya nan memiliki kesalahan ialah guru dan sekolahnya. Jika siswa tidak memahami apa nan disampaikan, mestinya guru harus berusaha memberikan pemahaman nan baik bagi siswa.

Penulis menilai, apa pun alasan nan diberikan oleh pihak sekolah semua terpulang pada kurangnya evaluasi. Mestinya sekolah memberikan solusi nan bijak nan membuat siswa menjadi pintar, bukan membuat siswa menjadi bodoh. Pasalnya, apa nan dilakukan tetap akan memberikan akibat negatif bagi sekolah.

Karena ketika ia memasuki sekolah nan baru, lalu ditanya tentang sesuatu nan sudah dipelajarinya di taraf pendidikan sebelumnya namun ia tidak dapat menjawab. Maka sekolah nan menerima pun akan ‘menjengkali’ sekolah loka siswa tersebut mengenyam pendidikan. Semuanya ini, lantaran guru sibuk menyelesaikan materi pembelajaran, namun tidak sibuk membuat siswa bisa menerima pesan pembelajaran nan baik.