Polemik dalam Perang Aceh

Polemik dalam Perang Aceh

Perang Aceh ialah salah satu perang nan terjadi di Indonesia nan terkenal sepanjang masa. Perang Aceh ini melibatkan kesultanan Aceh dalam melawan pasukan Belanda nan terjadi selama lebih dari seperempat abad, tepatnya selama 31 tahun. Dimulai dari pernyataan perang nan dikeluarkan oleh pihak Belanda pada tahun 1873. Mulailah Perang Aceh ini hingga tahun 1904. Walaupun pada kenyataannya tahun 1904, yaitu saat dimana kesultanan Aceh menyerah, rakyat Aceh terus saja melancarkan perang gerilyanya terhadap pasukan Belanda.

Setelah pernyataan perang nan dilakukan pihak Belanda, agresi pertama Belanda dalam Perang Aceh ini dimulai dengan tembakan meriam nan ditujukan ke daratan Aceh. Tembakan meriam ini dilakukan dari sebuah kapal perang Belanda nan bernama Citadel van Antwerpen . Tembakan meriam pertama dalam Perang Aceh ini tepatnya dilakukan tanggal 26 Maret 1873. Selanjutnya tanggal 8 April 1873, barulah Belanda, nan saat itu berada di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureuman. Saat itu juga Belanda mulai menguasai Mesjid Raya Baiturrahman.

Pada saat itu Kohler membawa tentara pasukan perang nan cukup banyak, yaitu 3.198, nan 168 di antaranya tak lain ialah para perwira. Dari pihak Indonesia sendiri, Perang Aceh ini dipimpin oleh Panglima Polim dan juga Sultan Syah Mahmud nan sukses mengalahkan Kohler dengan ribuan serdadunya dalam Perang Aceh ini. Agresi nan dilancarkan oleh pihak Indonesia ini juga menewaskan Kohler pada tanggal 14 April 1837. Sepuluh hari setelah kematian Kohler, Perang Aceh mulai memanas dengan penyerangan di berbagai loka di Aceh. Perang Aceh ini dikenal dengan Perang Aceh Pertama, nan berlangsung hingga tahun 1874.

Perang Aceh kedua dimulai tahun 1874 hingga tahun 1880, di bawah pimpinan Jan van Swiete dari Belanda. Sementara dari pihak Indonesia dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood nan menggantikan posisi Sultan Machmud Syah setelah kematiannya tanggal 26 Januari 1874. Perang Aceh nan kedua ini berbuah manis buat Belanda sebab mereka sukses menguasai Keraton Sultan. Itu artinya Belanda menguasai seluruh wilayah Aceh nan secara otomatis menjadi Kerajaan Belanda pada waktu itu.

Baik Perang Aceh nan pertama ataupun nan kedua, keduanya termasuk perang nan penuh totalitas dan terbilang frontal. Hal ini disebabkan sebab masih mapannya pemerintahan nan dijalankan kesultanan Aceh. Padahal, Ibu Kota negara berpindah-pindah dampak perang tersebut. Mulai dari perpindahannya ke Leumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lainnya nan memiliki kondisi nan cukup aman dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di Aceh pada waktu itu.

Setelah itu, Perang Aceh masih dilanjutkan dengan Perang Aceh nan ketiga. Perang Aceh nan ketiga ini berlangsung dari tahun 1881 sampai dengan tahun 1896. Masih melanjutkan perang nan berkecamuk sebelumnya, yaitu Perang Aceh kedua. Hanya mulai dari Perang Aceh nan ketiga ini, perang nan dilakukan tak setotal dan sefrontal Perang Aceh pertama dan kedua sebab pemerintahan sudah mulai goyah, sehingga perlawanan dilakukan secara gerilya oleh rakyat Aceh nan berkelompok-kelompok.

Begitupun perang Aceh keempat nan dilakukan secara gerilya. Baik nan dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Caranya, yaitu dengan melakukan perlawanan-perlawanan, peyerbuan, atau bahkan pembunuhan-pembunuhan atas inisiatif sendiri tanpa ada komando sedikitpun dari pihak pemerintahan kesultanan. Perang Aceh keempat ini berlangsung dari tahun 1896 hingga tahun 1910. Setelah Perang Aceh keempat berakhir, barulah perang dilakukan dengan mengandalkan sistem gerilya.



Strategi Perang Aceh

Strategi perang nan dilakukan Kesultanan ataupun Aceh, nan akhirnya juga ditiru oleh pihak Belanda, ialah taktik perang gerilya, yaitu penyerangan nan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dengan keluar masuk hutan. Tidak hanya hutan, pegunungan, rimba, atau bahkan rawa-rawa nan terdapat di Aceh juga dijadikan sasaran. Atas inisiatif Van Heutz, stategi ini ditiru oleh Belanda dengan dibentuknya pasukan Marechaussee , nan dipimpin oleh Hans Christoffel.

Selain itu, ada juga pasukan Clone Macan . Kedua pasukan Belanda ini memiliki keahlian spesifik buat mengejar para gerilyawan dalam Perang Aceh dengan mengejar mereka hingga ke pegunungan, hutan, rimba, atau rawa-rawa.

Tidak hanya itu, Belanda juga memiliki sebuah taktik perang dengan cara melakukan penawanan. Orang-orang nan ditawan ialah para anggota keluarga dari para gerilyawan dalam Perang Aceh.

Orang nan pernah ditawan Belanda dalam melancarkan taktiknya ini di antaranya ialah permaisuri Sultan dan Tengku Putroe, Putera Sultan Tuanku Ibrahim, Cut Po Radeu nan tiada lain ialah salah satu saudara perempuan Panglima Polim, dan juga keluarga-keluarga dekatnya nan lain. Srategi nan cukup jitu buat membuat para tokoh gerilya dalam Perang Aceh menyerah.

Strategi perang lainnya nan dilakuakan Belanda dalam Perang Aceh , yaitu Pembersihan . Taktik ini dilakukan lagi-lagi oleh pihak Belanda dengan cara membunuh semua rakyat Aceh. Taktik Pembersihan nan dilakukan Belanda ini mengakibatkan banyak korban berjatuhan.

Salah satunya ialah dalam pembunuhan Kuta Reh nan terjadi pada tanggal 14 Juni 1904, nan memakan 2.922 korban jiwa. Rakyat nan menjadi target pembersihan ini sebagian besar ialah laki-laki. Perempuannya hanya sebanyak 1.149 orang.

Strategi nan terkenal lainnya ialah taktik Perang Aceh nan diberikan oleh Dr.Christiaan Snouck Hurgonje nan sukses dibukukanya dalam sebuah buku nan berjudul "Rakyat Aceh" atau "De Acehers". Dia seorang pakar strategis nan sengaja didatangkan pihak Belanda buat dapat mengalahkan Aceh, termasuk dalam Perang Aceh.

Untuk merumuskan taktik ini, Dr.Christiaan Snouck Hurgonje melakukan penelitian dengan menyamar selama 2 tahun di wilayah pedalaman Aceh. Itulah sebabnya, seringkali pihak kesultanan Aceh mengalami kekalahan dalam Perang Aceh ini sebab kemanjuran taktik ini.



Penyebab Perang Aceh

Perang Aceh ini dilatar belakangi berbagai macam peristiwa sehingga timbullah perang Aceh ini. Beberapa di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Salah satu peyebab Perang Aceh ialah Perjanjian Siak nan membuat Sultan IsImail harus menyerahkan kedudukannya kepada Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Aceh. Daerah tersebut, yaitu Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang. Perjanjian ini dilanggar oleh Belanda nan juga mengakui kedaulatan Aceh.

  2. Penyebab Perang Aceh berikutya ialah tuduhan pihak Kesultanan Aceh pada Belanda nan tak menepati janjinya kepada pihak Aceh. Akibatnya, Aceh dengan dukungan Britania menenggelamkan kapal-kapal Belanda nan melewati perairan Aceh.

  3. Perang Aceh juga dilatar belakangi oleh dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Pembukaan Terusan Suez ini menjadikan posisi perairan Aceh menjadi lokasi strategis buat alur keluar masuk dalam perdagangan. Akibatnya membuat banyak pihak nan ingin menguasai Aceh temasuk Belanda.

  4. Penyebab Perang Aceh nan lainnya, yaitu Perjanjian London nan membuat Britania memberikan keleluasaan kepada pihak Belanda buat melakukan tindakan apapun di Aceh, termasuk penyerangan dan perebutan kekuasaan.

  5. Penyebab Perang Aceh nan melatar belakangi Belanda menyatakan perangnya ialah interaksi diplomatik antara Aceh dengan Konsul Amerika, Turki, dan Italia. Terutama sebab pihak Belanda tak diberi tahu mengenai interaksi diplomasi tersebut oleh Sultan. Hal ini membuat pihak Belanda memutuskan buat segera memulai Perang Aceh.


Polemik dalam Perang Aceh

Van Heutx menciptakan surat pendek nan berisi tentang persetujuan Sultan mengakui bahwa daerah nan didudukinya ialah bagian pemerintahan Hindia Belanda. Sultan juga berjanji buat tak berhubungan dengan kekuasaan pihak luar negeri. Selain itu, Sultan juga harus berjanji buat mematuhi segala perintah Belanda. Surat pendek ini sebagai tanda menyerah nan sudah dipersiapkan Van Heutx selama Perang Aceh.

Surat perjanjian tanda menyerah ini cukup padat dan jelas, dibandingkan dengan surat-surat perjanjian nan telah dibuat sebelumnya. Surat ini selalu disimpan buat suatu saat nanti ditandatangani oleh Sultan nan berkuasa pada saat itu. Untuk penandatangan surat pendek ini, taktik nan dilakukan ialah dengan menjadikan Raja atau Sultan Aceh sebagai tawanan dalam Perang Aceh.