Ali dan Pedang Zulfikar

Ali dan Pedang Zulfikar

Kisah Ali bin Abi Thalib sebagai pemuda tangguh, pejuang Islam, kuat dalam mempertahankan prinsip hayati seyogyanya patut dijadikan sebagai suri tauladan bagi kehidupan pemuda di masa sekarang ini, nan sudah cenderung terkooptasi oleh pola pikir hedonis dan pragmatis. Ibunya Fatimah binti Asad, bin Hasyim. Saudaranya: Uqail, Jafar, Ummu Hani, Thalib.



Pejuang Muda

Kisah Ali bin Abi Thalib penuh dengan drama nan sarat perjuangan buat menegakkan dakwah Islam. Ia tumbuh menjadi pemuda nan lebih matang dari umurnya. Perawakannya juga menunjukkan kematangan, kekuatan, dan sikap tegas nan sporadis dipunyai oleh pemuda seusianya. Ia sering diajak Rasulullah buat beperang membela dien Islam. Komitmen dan jiwanya telah ia tasbihkan buat perjuangan Islam.

Dalam usianya nan masih muda, banyak sekali peperangan nan telah ia ikuti, seperti perang al-Ahzab dan berperan aktif dalam menembus benteng Khaibar. Julukan sebagai “pahlawan Islam nan pertama” pun berada di pundaknya. Tak heran ia menjadi orang kepercayaan Nabi dan disegani oleh musuh dan sahabat nan lainnya.



Sifat Ali bin Abi Thalib

Dalam konteks fisik, Ali bin Abi Thalib tidak beda jauh dengan perawakan bangsa Arab secara umum, yakni tegap, berpundak nan lebar, lengannya berotot, lehernya berisi, dan rambutnya di pinggir kepala. Hal ini terungkap dalam pelukisan kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah. Ali itu berkulit hitam, berbadan besar, berjenggot, pendek, berani, pantang menyerah, pemaaf, tegas dalam berbicara, dan berwibawa.

Ali juga terkenal dengan keberaniannya. Ia tidak pernah merasa gentar melawan musuh-musuhnya. Hanya perlu beberapa gerakan saja buat menjatuhkan lawan-lawan. Ia bergerak bak singa nan cekatan, melakukan sergapan dengan sangat tangkas, dan membuatnya tidak lagi berkutik. Namun dibalik semua itu, ternyata Ali sangat penyabar, lembut dan penuh perhatian terutama kepada mereka nan satu haluan dan bergerak dalam perjuangan Islam.

Ali dikenal sebagai pribadi zuhud nan tak menomorsatukan materi atau hal-hal nan berbau duniawi. Dalam berpakain, sekalipun ia khalifah tidak pernah sekalipun menggunakan baju dari bahan nan mewah seperti sutera, cukup sekadar menutupi tubuhnya dan sengatan panas matahari. Makanannya pun cukup roti kering, cuka dan minyak.



Ali dan Pedang Zulfikar

Ada jargon spesifik ketika itu buat Ali bin Abi Thalib, berbunyi "Tak ada pedang nan dapat menyamai tajamnya pedang zulfikar. Tak ada pemuda nan memiliki ketangguhan mirip Ali”. Jargon tersebut pantas disandangkan kepada Ali bin Abi Thalib, sebab ia begitu perkasa dalam peperangan. Ketika perang Badar terjadi, sebanyak 70 orang kaum Quraisy nan tewas dalam peperangan berdarah tersebut. Ali ikut dalam peperangan tersebut. Konon, dari jumlah 70 itu, sepertiganya nan tewas itu dipersembahkan oleh Ali bin Abi Thalib.



Tanya- Jawab Ali dengan Kaum Khawarij

Dikisahkan, ada sepuluh orang pemuka khawarij ingin membuktikannya. Mereka pun berdiskusi. Mereka sepakat buat menanyakan satu pertanyaan, tapi tak di waktu nan sama. Jika Ali memberikan alasan nan berbeda, maka sahih apa nan dikatakan Rasulullah mengenai dirinya.

Mulailah mereka bergiliran mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib. Dimulai dari orang nan pertama dan bertanya,”Hai Ali, mana lebih primer ilmu atau harta?”

“Ilmu,” jawab Ali.

“Apa alasannya?”

“Ilmu ialah warisan para nabi, sedangkan harta ialah warisan Qarun, Firaun dan lainnya.”

Setelah mendengar jawaban Ali, penanya pertama pun pergi meninggalkannya. Tak lama kemudian, penanya kedua datang menemui Ali. Namun Ali tetap menjawab bahwa ilmu lebih primer dari harta. Meski, setiap pertanyaan selalu diberikan alasan nan berbeda.

“Ilmu akan selalu menjagamu, sedangkan harta kamulah nan mesti menjaganya,” jawab Ali kepada penanya kedua.

“Pemilik harta itu musuhnya banyak, sedangkan pemilik ilmu sahabatnya banyak,” jawab Ali kepada penanya ketiga.

Untuk penanya keempat, Ali menjawab, “Harta akan berkurang jika digunakan, tapi ilmu akan bertambah jika kamu pergunakan.”

Untuk penanya kelima, Ali menjawab, “Pemilik harta aka nada nan menjulukinya si Pelit, tapi pemilik ilmu akan selalu dihormati dan dimuliakan.

Untuk penanya keenam, Ali menjawab, “Harta perlu dijaga dari tangan pencuri, tapi ilmu tidak perlu menjaganya.”

Untuk penanya ketujuh, Ali menjawab, “Pemilik harta pada hari kiamat akan dimintai tanggungjawab, tapi pemilik ilmu akan mendapat syafaat.”

Untuk penanya kedelapan, Ali menjawab, “Harta jika dibiarkan dalam waktu nan lama akan rusak, tapi ilmu tidak akan musnah dan lenyap.”

Untuk penanya kesembilan, Ali menjawab, “Harta membuat hati menjadi keras, tapi ilmu menjadi penerang hati.”

Untuk penanya kesepuluh, Ali menjawab, “Pemilik harta akan dipanggil Tuan besar, pemilik ilmu akan dipanggil ulama atau ilmuwan”.

Lalu Ali berkata lagi,”Sekiranya seluruh orang nan hayati di global ini datang dan bertanya kepadaku di saat saya masih hayati tentang keutamaan ilmu dibanding harta, maka jawabanku tetap sama. Ilmu lebih primer dari harta, meski nantinya alasan nan kuutarakan berbeda.”

Akhirnya, kesepuluh orang khawarij tersebut kembali kepada ajaran Rasulullah Saw.



Kisah Sedekah Ali bin Abi Thalib

Suatu hari setelah pulang dari rumah Rasulullah, Ali melihat Fatimah sedang berdiri di teras rumah.

“Hai isteriku, apakah ada makanan hari ini buat suamimu?” tanya Ali.

“Demi Allah, saya tidak memiliki apa-apa kecuali uang enam dirham, hasil upah memintal bulu-bulu domba milik Salman al-Farisi. Dan saya berencana ingin membelikan makanan buat Hasan dan Husain.”

“Biar saya saja nan membelikannya. Berikan uangnya kepadaku!”

Fatimah pun memberikan uang tersebut.

Ali pun bergegas pergi membeli makanan buat kedua anaknya. Di tengah jalan, ia ketemu dengan seorang laki-laki nan berkata, “Siapa nan mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih dan Yang Selalu Menepati Janji.”

Ali pun memberikan uang enam dirham tersebut kepadanya. Kemudian pulang ke rumahnya dengan tangan kosong. Fatimah nan melihat Ali pulang dengan tangan hampa langsung menangis.

“Mengapa kamu menangis?”

“kenapa kamu pulang tanpa membawa sesuatu? Kemana uang nan enam dirham tadi?”

“Isteriku nan mulia, saya telah mememinjamkannya kepada Allah.”

Mendengar jawaban Ali, Fatimah berhenti menangis dan gembira. “Sungguh! Aku mendukung tindakannmu!”

Lalu Ali pun keluar rumah sebab ingin berjumpa Rasulullah Saw. Di tengah jalan, ia disapa seorang laki-laki, “Hai Abu Hasan, maukah kau beli untaku?”

“Aku tidak punya uang,” kata Ali

“Bayarnya belakangan saja.”

“Berapa?”

“Seratus dirham.”

“Baik. Kalau begitu saya beli.”

Setelah diberikan untanya kepada Ali, dan Ali pun ingin kembali pulang meletakkan untanya di sekitar ruamhnya. Di tengah perjalanan, ia disapa seorang laki-laki.

“Hai Abu Hasan, apakah unta tersebut akan kau jual?”

“Ya.”

“Berapa?”

“Tiga ratus dirham.”

“Ya, saya beli.”

Lalu orang tersebut membayarnya dengan kontan 300 dirham dan mengembil unta tersebut.

Ali pun pulang ke rumahnya. Fatima tersenyum melihat paras Ali nan sumringah.

“Kelihatan begitu gembira, apa nan terjadi suamiku?”

“Isteriku nan mulia, kubeli unta dengan bayar tempo seharga 100 dirham. Lalu kujual lagi 300 dirham dengan kontan.”

“Aku setuju.”

Setelah berdialog di rumahnya, Ali pamit kepada Fatimah mau menemui Rasulullah Saw. di mesjid. Ketika masuk masjid, Nabi Saw. tersenyum melihatnya.

“Hai Abu Hasan! Akan kau nan lebih dahulu cerita ataukah saya terlebih dahulu?”

“Anda saja nan cerita, ya Rasul,” jawab Ali.

“Tahukah kamu siapa nan menjual unta kepadamu dan siapa nan membelinya kembali?”

“Tidak. Allah dan Rasul-Nya nan lebih tahu.”

“Berbahagialah Ali. Kamu telah meminjamkan enam dirham kepada Allah. Dan Allah memberimu 300 dirham. Tiap satu dirham mendapat ganti 50 dirham. Yang pertama datang kepadamu ialah Jibril dan nan terakhir datang ialah Mikail.”



Kisah Ali Memuliakan Lansia

Saat waktu subuh tiba, Ali bin Abi Thalib keliatan gelisah sekali. Ia tergesa-gesa, sebab tidak ingin ketinggalan shalat berjamaah. Namun, ia cukup kebingungan. Pasalnya ada seoang laki-laki tua nan berjalan sangat lambat nan menghambat langkah Ali. Demi menghormati orang tua tersebut, Ali ‘membuntut’ di belakangnya. Tentu saja, Ali bin Abi Thalib sangat risi tak dapat shalat jamaah bersama Nabi Saw. Ketika ia tahu bahwa orang tua tersebut tak memasuki mesjid, baru menyadari bahwa orang tua tersebut bergama nasrani.

Ketika Ali masuk masjid, ia mendapati Rasulullah Saw. sedang ruku’. Itu artinya, ia masih mempunyai kesempatan buat mengejar shalat tersebut. Ali lalu berjamaah bersama mereka. Usai Shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw.

“Ya Rasul, apa nan sedang terjadi sehingga memperpanjang ruku’ seperti shalat subuh pagi ini. Selama ini, Anda tak pernah melakukan hal ini?”

“Ketika ruku’ dan tengah membaca subhana rabbiyal ‘adzimi seperti biasanya, maka saya bermaksud ingin mengangkat kepalaku. Tetapi Jibril as. datang dan membentangkan sayapnya di atas punggungku. Lama sekali. Ketika ia mengangkat sayapnya baru saya dapat berdiri buat mengangkat kepala,” jawab Rasulullah Saw.

“Mengapa ini dapat terjadi?” tanya salah seorang sahabat.

“Aku tidak sempat menanyakan hal itu,” balas Rasulullah Saw. kembali.

Tak lama kemudian, datang Jibril as. menemui Rasulullah Saw.

“Hai Muhammad! Tadi Ali tergesa-gesa agar dapat ikut shalat berjamaah, namun ada seorang laki-laki tua beragama Nasrani menghambat jalannya. Ali tak tahu kalau laki-laki itu beragama nasrani. Ia biarkan orang tua tadi berjalan di depannya. Maka Allah menyuruhku supaya engkau tetap ruku’ agar Ali dapat menyusul shalat subuhmu. Ini tidak mengherankan bagiku. Yang mengherankan, Allah swt. memerintahkan malaikat Mikail buat menahan perputaran matahari dengan sayapnya. Sehingga, tenggang waktu terbitnya lebih lama. Ini tentulah sebab pebuatan Ali tadi.”

Setelah diceritakannya kepada para sahabat apa nan disampaikan Jibril as. mengenai ruku’ nan begitu panjang. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “ Inilah derajat orang nan memuliakan orang tua lanjut usia, meski nan dimuliakan beragama nasrani.”


Patutlah kiranya para pemuda saat ini menyontoh dari kisah Ali bin Abi Thalib tersebut, supaya generasi kita menjadi generus penerus nan andal dan berkepribadian kuat.