Nabi Juga Berijtihad

Nabi Juga Berijtihad

Islam terkenal dengan slogan sebagai agama nan rahmatan lil 'alamin (menjadi rahmat atau memiliki afeksi bagi sekalian alam). Slogan tersebut pun diperkuat lagi dengan sebutan, "Islam ialah agama nan cocok buat setiap loka dan masa". Kedua klaim tersebut menjadi kian jelas, ketika ada problem baru nan penyelesaiannya tak terdapat di dalam al-Qur'an dan Sunnah, maka ijtihad menjadi solusinya. Artinya, Ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketika tak ada penjelasannya di dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam bukanlah hal nan bisa dilakukan oleh siapa saja. Yang boleh melakukan ijtihad hanya orang-orang nan menguasai disiplin-disiplin ilmu agama Islam, seperti menguasai al-Qur'an, Sunnah, Bahasa Arab, dan lain. Adalah artikel ini akan coba menguraikan ijtihad sebagai sumber hukum Islam.



Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada . Secara bahasa bermakna bersungguh-sungguh atau mengupayakan dengan segenap kemampuan buat mengerjakan hal nan sulit. Makanya, boleh dikatakan, Ahmad berijtihad dalam mengangkat batu tersebut. Tapi, tak boleh kata Ijtihad digunakan buat hal nan tak membutuhkan kekuatan Misalnya, Ahmad berijtihad mengangkat siomay itu.

Para Ulama besar di bidang ushul seperti Abu Al Husain Ali nan dikenal juga dengan Al Amidi (w. 631 H) dan Muhammad bin Ali Asy Syaukani (w. 1255 H) mendefinisikan ijtihad dengan, "mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat mengenai hukum syara' dari bukti nan terperinci pada sumbernya".

Sebagian ulama ada pula nan menambahkan definisinya dengan, "sampai mujtahid merasa tak mampu lagi buat mengeluarkan usaha apa-apa lagi". Intinya, sebagai istilah hukum, ijtihad bermakna mengeluarkan segala usaha dalam mempelajari suatu masalah secara menyeluruh dan mencari solusinya dari sumber-sumber syariah. Ijtihad sebagai sumber hukum Islam harus tetap dilakukan dalam kehidupan.

Seseorang nan melaksanakan ijtihad disebut mujtahid , sedangkan orang nan mengetahui hukum syariah secara detail namun tak mampu mengambil hukum secara langsung dari sumbernya bukanlah mujtahid tetapi hanya seorang fakih (ahli fikih), mufti (pemberi fatwa), qadhi (hakim). Yang diijtihadkan adalah, setiap permasalahan nan tak ditemukan dalil qath'I buat menjelaskan hukumnya.

Karena itu, tidaklah boleh diijtihadkan hukum nan sudah disepakati oleh umat. Misalnya, shalat lima waktu, berhaji ke baitullah, zakat fitrah dan lain-lain. Jika mujtahid menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan baru nan ada, maka ia juga dibolehkan menfatwakannya. Tentu saja, fatwa tersebut harus memiliki dalil-dalil sehingga dapat menguatkan bahwa ijtihad sebagai sumber hukum Islam.



Pintu Ijtihad Sudah Ditutup?

Sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pendapat ini salah total. Boleh dikatakan, ini ialah kesalahan fatal dari sebagian ulama nan sembarangan dalam sejarah dan jelas-jelas bertentangan dengan syariah. Nash syariah nan ada pada hari ini sebagaimana telah ada di masa nan lampau. Karena itu, ijtihad tak hanya mungkin tapi juga perlu dan merupakan fardu kifayah (kewajiban nan hanya mensyaratkan keterpenuhannya saja).

Berikut ini ialah dalil-dalil diperbolehkannya ijtihad. Para sahabat berijtihad pada masa Rasulullah dan berbeda pendapat pada pengambilan konklusi suatu hukum sedang Rasulullah menerima hal tersebut. Hal ini dapat terlihat dari beberapa peristiwa berikut.

1. Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ketika Nabi kembali dari perang khandaq, Beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Jibril datang dan berkata, "Apakah kamu meletakkan senjatamu? Demi Allah, kami para malaikat belum meletakkannya. Pasang kembali senjata-senjata itu." Rasulullah bertanya, "Pergi ke mana?" lalu Jibril menunjukkan Bani Quraizah.

Nabi memerintahkan muadzin buat azan dan Beliau mengumumkan kepada orang-orang: "Barang siapa nan beriman kepada Allah dan hari akhirat, dia tak shalat asar kecuali di Bani Quraidzah."

Lalu mereka berangkat menuju benteng Bani Quraidzah, namun mereka berbeda pemahaman atas apa nan Rasulullah perintahkan kepada mereka. Sebagian mengambil makna literal dan tak shalat kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah setelah magrib.

Sebagian nan lain menganggap itu artinya mereka harus pergi dengan segera, sehingga mereka bisa shalat asar di madinah atau di jalan. Ketika Rasulullah mendengar hal ini, Beliau menerima semua perbuatan mereka.

2. Sabda Nabi ketika Beliau mengirim Muadz menjadi hakim di Yaman. "Bagaimana kamu akan mengambil keputusan?" Dia menjawab, "Dengan kitabullah." Nabi kembli bertanya: "Bila tak ada di sana?" Dia menjawab: "Dengan sunnah Rasulullah." Kemudian Nabi kembali bertanya: "Dan jika kamu tak menemukannya?" Muadz menjawab: "Saya akan menjalankan ijtihad." Nabi menjawab: "Segala puji bagi Allah nan telah menjadikan utusan Rasulullah mengikuti apa nan Allah dan rasul-nya cintai."

(Ahmad:5/236, Abu Daud:3592, At Turmudzi:1327, Al Haafidz dalam kitab Al Talkhish, Ibnu Thahir berkata, hadits ini mempunyai dua jalan sanad kedua-duanya tak shohih. At Turmudzi berkata, hadits ini tak kami kenal kecuali dengan jalan ini. Juga bukan merupakan hadits muttasil, tetapi kepopuleran hadits ini di antara manusia dan penerimaan mereka terhadapnya merupakan perkara nan menguatkan hadits ini).

3. Hadits dari Rasulullah: "Jika hakim menetapkan keputusan maka berijtihadlah, jika dia sahih maka dia akan mendapat dua pahala, sedangkan jika dia salah maka dia mendapat satu pahala." (Muttafaq 'alaih).



Nabi Juga Berijtihad

Para ulama Ushul Fikih berbeda pendapat mengenai apakah Rasulullah Saw. melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum atau tidak? Di dalam kitab " Ushul Fiqh " karangan Syeikh Muhammad al-Khudri Beik dicantumkan, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa Nabi Saw. jika dihadapkan pada permasalahan, diminta buat menunggu hingga datangnya wahyu dari Allah Swt. Sehingga Nabi Saw. hanya berijtihad, jika tak kunjung hadir nash nan menjelaskan permasalahan tersebut.

Rasulullah Saw. mengakui ijtihadnya, apabila telah hadir dalil nan menjelaskan ijtihadnya. Artinya, ijtihad nan dilakukan Rasulullah Saw. ialah benar. Maka tidak ada nan boleh berbeda dengannya. Lain halnya dengan ijtihad nan dilakukan oleh para imam mazhab.

Adapun ulama selain mazhab Hanafi berpendapat, bahwa Rasulullah Saw. berijtihad secara absolut tanpa ada ikatan dengan menunggu wahyu. Namun, sebagian ulama nan tergabung dalam kelompok ini ada nan berpendapat bahwa Rasullullah hanya berijtihad dalam hal peperangan, tak dalam hal permasalahan-permasalahan syariat.

Adapun bukti Rasulullah Saw. berijtihad ialah firman Allah Swt.

"Allah memaafkan kamu atas apa nan kamu izikan kepada mereka." (QS. At-Taubah: 43)

Firman Allah Swt. ialah teguran kepada Rasulullah Saw.yang telah mengizinkan orang-orang munafik buat tak ikut dalam perang Tabuk. Ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan ijtihad dengan memberikan keizinan nan tak bersumber dari nash .

Hukum Ijtihad

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam tetap memiliki hukum. Tidak selamanya ijtihad berada pada posisi fardhu kifayah saja. Ada tiga hukum dalam berijtihad

  1. Fardhu 'ain

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam menempati posisi fardhu 'ain terhadap orang nan bertanggungjawab atas peristiwa yng terjadi dan takut hilangnya kesempatan tersebut tanpa ada hukum nan ditetapkan. Maka, Ijtihad menjadi fardhu 'ain.

Selain itu, jika suatu permasalahan terjadi pada dirinya dan ia ingin mengetahui hukumnya. Tentu saja, nan boleh melakukan ijtihad ialah orang nan memiliki kemampuan buat berijtihad nan tampak dari keilmuan nan dimilikinya.

  1. Fardu kifayah

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam menempati posisi fardhu kifayah terhadap orang nan bertanggungjawab nan tak takut hilangnya kesempatan. Selain itu, ada juga mujtahid lain nan juga berkompetensi buat berijtihad dalam persoalan tersebut.

  1. Sunnah

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam menempati posisi sunnah, jika dilakukan terhadap hal nan belum pernah terjadi, namun mujtahid memprediksikan jika terjadinya peristiwa tersebut maka hukumnya sudah ada beserta dengan dalil-dalil nan mendukung hukum tersebut.



Ijtihad, Antara Kebebasan dan Tanggungjawab

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam nan dinyatakan masih terbuka lebar buat dilakukan bukan bebas tanpa batas. Mujtahid boleh berijtihad, namun bisa mempertanggungjawabkan apa nan telah diijtihadkannya. Karena itu, ialah salah klaim kelompok nan senantiasa memproklamasikan terbukanya ijtihad mirip seperti arus bebas atau arus perubahan.

Seperti kata Dr. Ali Jum'ah di dalam kitabnya " Qadhiyah Tajdid Ushul Fiqh" mengenai kelompok arus perubahan dalam Ijtihad. Aktivitas kelompok ini mirip dengan sekte bathiniah dalam sejarah pemikiran Islam. Di dalam ijtihad, aktivitas mereka tampak ketika membawa nash keluar dari definisi dan makna standar nan telah dipatenkan oleh otoritas bahasa nan masyarakat mengenalnya dengan baik.

Model aktivitas kelompok nan menjustifikasi Ijtihad sebagai sumber hukum Islam nan bebas tanpa tanggungjawab ini kerap menyatakan, jika ingin menghadirkan mashlahat dalam setiap persoalan baru, mau tak mau harus terbebas dari nash . Jelas, ini ialah pendapat nan keliru.

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam memang bisa dilakukan, tapi bukan bebas tanpa batas. Ijtihad mesti dilakukan dengan aturan-aturan nan ada dan bisa dipertanggungjawabkan oleh ahlinya. Sehingga nan menjadi mujtahid bukan sembarang orang.

Oleh karena itu, berijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang nan memiliki kapasitas nan mampu dalam mengistinbatkan hukum, memenuhi syarat-syarat mujtahid dan memliki keahlian spesifik nan fundamental dalam topik nan ia ijtihadkan. Jadi, bukanlah orang nan berijtihad tersebut sekedar menggeluti beberapa hal nan berhubugan persoalan sembari "memungut" beberapa maklumat nan memperkuat ijtihadnya.

Ijtihad nan dilakukan juga bukan sekedar menonjolkan beberapa kasus nan sama dan beberap potongan pendapat imam mazhab nan sejenis. Ijtihad nan dilakukan memang bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya hasil ijtihad, tapi juga mujtahid mesti memiliki legalitas keilmuan mengenai tema atau topik nan diijtihadkan.

Inilah seputar ijtihad sebagai sumber hukum Islam . Ijtihad nan dilakukan bukan sekedarnya atau sebebas-bebasnya. Ijtihad nan dihasilkan harus bisa dipertanggungjawabkan. Karena keputusan nan dipatenkan bakal menjadi panutan nan bakal dipakai oleh masyarakat awam.