2. Novel Indonesia ke Film - Di Bawah Lindungan Ka'bah

2. Novel Indonesia ke Film - Di Bawah Lindungan Ka'bah

Layar lebar di Indonesia mulai menggeliat. Ini telihat dari jumlah film nan diproduksi semakin meramaikan industri perfilman. Kualitasnya pun boleh dibilang makin membaik. Tak hanya berkisar film bertema horor dan lawak nan berbalut seksualitas vulgar. Salah satu pemicu meningkatnya kualitas film itu ialah semakin ramainya film nan diangkat dari novel Indonesia populer.



Novel Indonesia ke Film, Tren Baru

Sebut saja film Jomblo, Eiffel... I'm in Love, Tentang Dia, Cintapuccino , Ayat-Ayat Cinta (A2C), Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih (KCB), dan Dalam Mihrab Cinta . Film-film tersebut diangkat dari kisah novel Indonesia nan sedang booming di masyarakat. Selain sudah meraih hati para pembaca novelnya, film itu juga menawarkan janji jalinan cerita sedahsyat novelnya.

Masyarakat pun merespon positif. Bahkan Film A2C nan diputar pada 2008, jadi trend setter bangkitnya film-film berbasis cerita dari novel Indonesia. Sebelumnya, film Indonesia lebih didominasi oleh film-film berkualitas rendah. Yang hanya menjual kecantikan dan kemolekan para pemeran wanitanya. Minim unsur edukasi dan cenderung membodohkan para penonton film dengan tayangan nan kentara unsur pornografi dan pornoaksi.

Untunglah, masyarakat pecinta film di Indonesia sudah semakin cerdas. Hingga akhir 2011, kiblat film berbasis novel Indonesia masih terus berlanjut. Ini suatu pertanda positif. Berderet film seperti Perempuan Berkalung Sorban, Emak Ingin Naik Haji, Sang Pencerah, Ayah Mengapa Aku Berbeda, Surat Kecil Untuk Tuhan, Di Bawah Lindungan Ka'bah , dan Hafalan Shalat Delisa , terus menarik minat para penonton buat menyaksikannya.

Walaupun jalinan cerita film dari novel Indonesia ini tidak selamanya memuaskan seperti di novel, tapi tetap harus diapresiasi. Karena tidak mudah 'memindahkan' chemistry cerita novel ke film. Suatu tantangan berat buat mengangkat novel ratusan halaman menjadi film nan hanya berdurasi maksimal 2x60 menit.

Selain harus punya kemampuan wahid, kejelian, kecermatan, dan kreativitas dari sutradaranya juga dibutuhkan buat memilah-milah bagian mana dari novel nan layak ditayangkan, mana nan mendapat proporsi utama, mana nan dibuang, hingga kemungkinan adanya cerita ( scene ) tambahan nan tak ada di novelnya. Novel Indonesia nan akan diangkat menjadi sebuah film merupakan tantangan tersendiri bagi para sineas.

Berikut ini resensi singkat tiga film dari novel Indonesia nan boleh dibilang berhasil 'memindahkan' chemistry cerita novel ke filmnya. Walaupun tak dapat dibilang sempurna, namun ketiga film ini mendapat sambutan positif dari para penonton.



1. Novel Indonesia ke Film - Surat Kecil Untuk Tuhan

Film ini diangkat dari kisah konkret dan novel Indonesia berjudul sama, 'Surat Kecil Untuk Tuhan'. Berkisah tentang perjuangan seorang gadis remaja (Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke) dalam melawan penyakit kankernya. Meskipun ia terlahir dari keluarga kaya dan kehidupan sosial nan boleh dibilang sempurna, tapi penyakit mematikan itu membumihanguskan semuanya.

Film dari novel Indonesia nan sebelumnya telah tenar terlebih dahulu lewat media online itu, memotret seorang Keke nan merupakan pengidap Rhabdomyosarcoma (kanker jaringan lunak) pertama di Indonesia. Kanker jenis ini merupakan kanker ganas paling mematikan. Akibatnya, gadis cantik itu berubah jadi layaknya 'monster'. Siksaan kemotrapi dan radiasi dari pengobatan kanker menyebabkan semua rambut Keke rontok. Tak cukup itu saja, kulit Keke pun mengering dan mual nan sering ia rasakan. Perjuangan itu berbuah hasil menggembirakan, Keke dinyatakan sembuh.

Tapi, cerita belum usia. Bahkan boleh dibilang merupakan awal dari cerita selanjutnya nan mengharu-biru dan mengaduk-ngaduk emosi penonton. Ketegaran sosok seorang Keke dipastikan akan mampu menginspirasi siapa pun. Semangat hayati walaupun ketika asa itu tidak lagi ada, jadi pesan moral nan teramat kuat dari film nan diangkat dari salah satu novel Indonensia ini.

Hingga akhir hidupnya, Keke membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah pembenaran buat tidak dapat menjadi nan terbaik. Layaknya bintang Sirius-bintang kesukaannya Keke- nan tetap bersinar terang walau langit tertutup mendung. Film ini pun berhasil memuaskan emosi para pembaca novel Indonesia nan menjadi penontonnya.



2. Novel Indonesia ke Film - Di Bawah Lindungan Ka'bah

Para pembaca setia novel Indonesia pastinya tidak asing dengan nama Buya Hamka. Pada masa mudanya, Buya Hamka nan juga merupakan ulama besar bangsa ini, telah menghasilkan salah satu masterpiece karya sastra di Indonesia. Karya itu berupa novel berjudul 'Di Bawah Lindungan Ka'bah'.

Tercatat, Di Bawah Lindungan Ka'bah ialah novel Indonesia fenomenal pada masanya (1938). Bahkan, novel ini pun jadi salah satu tonggak karya sastra di zaman Balai Pustaka. Sebagaimana karakteristik khas karya sastra di zaman Balai Pustaka, Di Bawah Lindungan Ka'bah bercerita tentang kasih tidak sampai sepasang manusia bernama Hamid dan Zainab. Cinta sepasang muda-mudi itu harus kandas sebab tingkatan sosial mereka nan terpaut jauh. Hamid berasal dari keluarga miskin, sedangkan zainab anak saudagar kaya raya.

Tergoda buat membangkitkan kisah cinta dari novel Indonesia nan telah jadi legenda tersebut ke layar lebar, Hanny R. Saputra, salah seorang pengarah adegan berbakat di negeri ini, berusaha melakukannya. Usaha buat itu tidak main-main. Proses produksi dan dana sebesar Rp 25 miliar, membuat penonton film ini dimanjakan dengan tampilan sinematografi nan memikat.

Nuansa tanah Minang tahun 1930-an, bisa ditampilkan dengan sempurna. Selama kurang lebih dua jam, penonton seakan-akan diajak terpesat di masa ketika pengaruh adat masih kuat mengikat.
Meskipun tidak dapat memuaskan seratus persen asa para pembaca novel Indonesia, tapi film Di Bawah Lindungan Ka'bah sukses menghadirkan kembali pesan moral dari Buya Hamka, penulis novelnya.

Pesan moral bahwa cinta kepada sesama manusia akan menjadi cinta nan agung ketika ia disandarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan cinta nan paling murni, hakikatnya hanyalah cinta Tuhan Yang Maha Esa ke makhluk ciptaannya (manusia).



3. Novel Indonesia ke Film - Hafalan Shalat Delisa

Tere Liye ialah penulis novel Indonesia nan punya kemampuan menggetarkan emosi para pembacanya. Melalui goresan penanya, setiap cerita dari novel-novel Tere Liye memiliki 'ruh' nan dapat mencairkan kembali hati nan beku ataupun keras bagai batu.

Tidak dipungkiri, novel Indonesia karya Tere Liye punya kemampuan magis menguras air mata dan menggugah jiwa. Sebut saja novel-novelnya seperti, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu , Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin , Pukat , Moga Bunda Disayang Allah , Ayahku (Bukan) Pembohong , Bidadari-Bidadari Surga , dan Hafalan Shalat Delisa . Semuanya merupakan karya sastra nan teramat layak diacungi jempol. Untuk judul nan terakhir ( Hafalan Shalat Delisa ), pada akhir 2011 bahkan diangkat ke layar lebar.

Bercerita mengenai tokoh Delisa (gadis cilik) nan menjadi salah satu dari ribuan korban Tsunami Aceh tahun 2004. Bala alam dahsyat itu jadi saksi bagaimana pilu, mengharu-biru, ketegaran serta kepolosan seorang Delisa.

Film nan diangkat dari novel Indonesia ini pun berhasil menenggelamkan emosi para penontonnya. Akting nan memikat dari para pemain, pemilihan loka eksotis nan walaupun tak dilakukan di Aceh, tapi di Pantai Ujung Genteng, Sukabumi, semakin membuat film ini betul-betul mengena di hati. Sebagaimana novelnya, nan juga tepat menohok setiap pembacanya buat introspeksi dan menghargai arti kemanusiaan.