Maskulinitas

Maskulinitas

Perilaku brutal dan biadab seringkali dipertontonkan sekelompok geng motor tanpa beban. Mereka tidak sedikit pun merasa bersalah, apalagi menyesal. Padahal apa nan dilakukan sudah melampaui ambang batas kewajaran.

Aksi geng motor saat ini tak lagi sebatas kebut-kebutan liar di jalanan, tapi lebih dari itu. Aksi mereka kini sudah masuk pada wilayah kriminal: menganiaya, memerkosa, membunuh, serta merampas mal milik korban. Terkadang nan menjadi target bukan saja musuh atau lawan, tetapi orang-orang tidak berdosa nan tak dikenal.

Fenomena sosial seperti ini sangat membuat miris dan meresahkan masyarakat. Rasa kondusif sudah menjadi barang mahal. Para anggota geng malah seolah bangga manakala sudah sukses mengalahkan versus atau menewaskan korban.

Saking jengkelnya, sebagian masyarakat mendesak aparat kepolisian buat menerapkan tembak di loka kepada anggota geng nan membuat onar seenaknya.

Barangkali bisa dipahami sikap reaktif masyarakat, karena mereka merindukan rasa aman. Masyarakat tidak akan paham, buat membuat kebijakan memberlakukan tembak di loka memerlukan payung hukum nan kuat. Yang krusial bagi mereka bagaimana agar tren brutal berandal geng motor tak terus berkembang.

Sejumlah geng motor ada juga nan sudah ditindak oleh aparat kepolisian. Bahkan, hingga diadili di pengadilan. Namun, tindakan tersebut tidak lantas membuat imbas jera terhadap mereka, malah aksi mereka terus berkembang. Mati satu tumbuh seribu. Satu geng diberangus, puluhan geng berikutnya tumbuh bermunculan.



Geng motor di Bandung

Di Bandung ada empat geng motor terkenal, yakni Moonraker, Grab on Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC), dan Brigade Seven (Brigez). Keempatnya sama-sama eksis dan memiliki banyak anggota. Kini keanggotaan mereka mulai merambah daerah-daerah pinggiran di Jawa Barat, seperti Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis, Cirebon, dan Subang.

Karena itu, tidak sedikit tindakan brutal geng motor terjadi di daerah. Korban keberingasan para geng ini tak saja melanda warga kota, tetapi sudah merasuk ke desa-desa.

Berikut ialah beberapa karakteristik keberadaan anggota geng motor nan dapat kita kenali.

  1. biasanya muncul pada malam hari;
  2. kebanyakan tak memakai perangkat safety ride , seperti helm, sepatu, dan jaket;
  3. membawa senjata tajam, seperti samurai, badik hingga bom molotov;
  4. jauh dari kegiatan sosial;
  5. lebih banyak kaum lelaki, kalaupun ada kaum wanitanya, biasanya hanya dijadikan budak nafsu;
  6. motor nan digunakan tak lengkap, tanpa spion, sein, hingga lampu utama;
  7. selalu membuat onar dan ingin menjadi geng terseram;
  8. lebih suka ‘nongkrong’ di loka gelap; dan
  9. saat melantik anggota baru disertai dengan kegiatan fisik, disuruh berantem, dan menenggak minuman keras.

Anggota geng motor biasanya kebanyakan usia remaja. Jika sudah masuk menjadi anggota akan sulit buat keluar atau mengundurkan diri. Bagi nan coba-coba keluar dari keanggotaan geng akan terus diintimidasi, dikejar-kejar, hingga dianiaya, bahkan mungkin dibunuh.

Karenanya, bagi para remaja jangan sekali-kali ingin terlibat atau mencoba-coba menjadi anggota geng motor. Sekali masuk menjadi anggota, seolah sudah dibaiat harus terus loyal. Kalau tidak, nyawa menjadi taruhan.



Saling Keterkaitan

Penyebab remaja tergelincir masuk global brutal geng motor tak dapat sebab satu faktor saja. Ada saling keterkaitan antara penyebab satu dengan nan lainnya. Pendidikan nan terlalu intens mengurusi akademik, minim sentuhan soal perilaku, dan budi perkerti ditengarai merupakan beberapa penyebab di antaranya.

Begitu mudahnya mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) juga mendorong tumbuhnya keberadaan geng ini. Lalu, mudahnya mendapatkan motor juga mempercepat penambahan anggota geng baru. Bayangkan, dengan bermodal Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) saja, sekarang sudah boleh langsung membawa pulang satu unit motor keluaran terbaru.



Maskulinitas

Kehidupan remaja pria sudah lazim diwarnai dengan kesamaan gejala kekerasan. Makanya, membentuk kelompok teman sebaya merupakan suatu hal buat menunjukkan kelelakian mereka.

Fenomena itulah nan menjadikan geng tumbuh fertile dalam kehidupan remaja pria. Jadi, keberadaan geng bukan sekadar buat berkumpul dengan remaja pria lain, melainkan sebagai aktualisasi nilai-nilai kelelakian nan dianggap paling sejati. Dalam geng inilah maskulinitas mendapatkan ruang paling diistimewakan.

Makanya, pemberian nama geng selalu terkesan gagah, beringas, dan mengandalkan sikap tegas. Struktur organisasi geng pun sengaja beraura militer. Kedudukan, kepangkatan, atau satuan institusional, biasa menggunakan istilah "panglima", "jenderal", atau "brigade".

Hal itu, makin mempertegas sifat maskulin nan diharapkan. Penanaman dan pertumbuhan pesat maskulinitas semakin menjadi-jadi dalam hubungan di forum pendidikan. Remaja pria nan mampu menjalankan peran-peran maskulin mudah dilibatkan dalam pergaulan. Begitu pula sebaliknya.

Fenomena merebaknya geng motor tak hanya harus dilihat sebagai persoalan ketertiban sosial. Aspek krusial lain nan juga layak dikemukakan ialah eksistensi mereka atau berbagai jenis geng remaja pria tak terlepas dari internalisasi nilai peran gender nan berlangsung dalam domain keluarga dan sekolah.



Ketimpangan Sosial

Selain itu, para pengangguran turut mendorong maraknya geng motor. Mereka frustrasi tak bisa meningkatkan tingkat hidup. Sebagai kompensasinya, melakukan berbagai upaya buat mendapatkan uang dan derajat hidup.

Melakukan balapan liar, merampok bersama-sama geng kebanggaannya, merampas, berjudi, merusakkan fasilitas umum, hingga melakukan pembunuhan sadis terhadap orang-orang nan tak bersalah merupakan hal nan mungkin mereka lakukan. Tujuannya itu tadi, buat menutupi kekurangan sebagai pengangguran.

Jadi, secara psikologis, maraknya kekerasan bercorak sosial mengambarkan situasi kejiwaan masyarakat kita. Maraknya kekerasan, korupsi, dan defleksi sosial merupakan kenyataan masyarakat nan sedang sakit.

Orang saat ini sudah individualistik. Tidak ada lagi rasa peduli terhadap orang lain. Mereka hanya peduli dengan dirinya dan kelompoknya sendiri. Kekerasan nan dilakukan para anggota geng, misalnya, jelas menggambarkan adanya situasi “alienasi sosial”.

Belum lagi, di kota-kota besar, ruang-ruang bagi proses kreatif anak dan remaja kian hilang. Ruang-ruang terbuka loka warga (terutama anak dan remaja) buat bersosialisasi makin susut digantikan mal, kompleks-kompleks perumahan mewah, dan pusat-pusat perbelanjaan. Ruang-ruang komersil semacam itu hanya dapat diakses sebagian masyarakat saja, dan tak dapat menggantikan fungsi ruang-ruang terbuka.

Di sisi lain, kemiskinan juga dapat memicu orang atau masyarakat buat bertindak anarki dan melanggar hukum. Ketimpangan sosial dalam masyarakat dan kemiskinan bisa menjadi “api dalam sekam” bagi aksi kekerasan di tengah masyarakat.

Akan tetapi, meredam kekerasan dalam masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Di tengah pelbagai situasi ketidakpastian hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat pada aparat, menormalisasi kondisi sosial semacam ini jelas bukan pekerjaan gampang.

Keteladanan tokoh figur dan aparat keamanan jelas menjadi pekerjaan rumah nan utama. Jika persoalan fundamental ini mampu diselesaikan, permasalahan lainnya, seperti tertib sosial akan mengikuti.

Jadi, masalah maraknya aksi brutal geng motor memang sudah sangat memuakkan. Kondisi seperti itu, tidak dapat didiamkan. Harus disikapi dan diselesaikan secara tuntas. Akan tetapi, bukan berarti dengan cara memberangusnya. Ada akar persoalan nan lebih pas buat digali, dikaji, dan dirumuskan solusinya.