Menentukan Jadwal Puasa

Menentukan Jadwal Puasa

Jadwal puasa diperlukan sebagai patokan dalam menjalankan ibadah puasa. Bagi umat Islam, puasa merupakan kewajiban nan harus dilakukan saat telah mencapai usia baligh . Pada laki-laki, usia baligh ditandai dengan mimpi basah, yakni bersenggama selayaknya suami istri. Pada perempuan, baligh ditandai dengan menstruasi.

Saat telah mengalami fase baligh tersebut, baik laki-laki maupun perempuan wajib melaksanakan segala anggaran agama dan sudah mulai dihitung amalan dan dosanya. Puasa merupakan Rukun Islam nan ketiga setelah sebelumnya sahadat dan shalat. Puasa wajib nan dilakukan umat Islam dilakukan setiap setahun sekali. Jadwal puasa nan dijalankan dan dilakukan selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan ini sering juga disebut dengan bulan puasa. Bahkan anak-anak nan masih belum paham sistem almanak Hijriah, menamakan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa dan mereka terkesan asing dengan kata ramadhan .



Jadwal Puasa Berdasarkan Bulan

Jadwal bulan puasa niscaya berubah tiap tahunnya. Jadwal bulan puasa tidak pernah tetap. Jadwal puasa mengikuti konvoi bulan. Itu sebabnya jadwal bulan puasa selalu berubah, tidak pernah sama tiap tahunnya. Misalnya, jadwal bulan puasa 2011 dimulai pada bulan Agustus, maka belum niscaya jadwal puasa tahun 2012 akan di bulan Agustus juga. Selalu ada pergeseran dan perubahan. Perubahan jadwal bulan puasa tiap tahunnya memiliki selisih lebih kurang tujuh hingga sepuluh hari lebih awal.

Jika pada 2011, jadwal bulan puasa dimulai pada tanggal 01 Agustus, jadwal puasa tahun 2012 akan lebih awal, yakni pada bulan Juli. Jadwal bulan puasa mengikuti konvoi bulan karena umat Islam berpatokan pada konvoi bulan. Itu sebabnya almanak Islam disebut dengan Hijriah, bukan Masehi nan merujuk pada konvoi matahari.

Dalam menjalankan ibadah puasa, umat Islam akan merasakan menjalani puasa pada kedua belas bulan dalam tahun Masehi. Dalam almanak Islam, bulan puasa tetap dilakukan pada bulan Ramadhan dan berakhir dengan masuknya bulan Syawal ditandai dengan Idul Fitri (pada tanggal 1 Syawal).

Sementara dalam almanak bulan Masehi, kedua belas bulan tersebut (dari Januari hingga Desember) bisa dilalui dengan berpuasa selama satu bulan penuh. Jika dilihat dari penanggalan, jadwal bulan puasa Masehi terasa berubah padahal sebetulnya tidak.

Jadwal bulan puasa dilakukan selama sebulan penuh. Hitungan jumlah hari pun tak sama seperti pada almanak Masehi. Jika pada almanak Masehi jumlah hari ada 30 atau 31, pada almanak Hijriah jumlah hari cenderung 29 atau 30. Itu pun agak sporadis kita menemukan bulan nan memiliki jumlah hari 30.

Persoalan jumlah hari pada tiap bulannya pada almanak Hijriah pun acapkali memiliki disparitas antara satu muslim dan muslim lainnya. Itu sebabnya jumlah hari dalam satu bulan ada nan mengatakan 29 dan ada pula nan menyatakan 30.

Persoalan disparitas itulah nan menyebbakan disparitas jadwal bulan puasa. Persoalan jadwal puasa nan disebabkan masalah perhitungan nan berbeda itulah nan mengakibatkan jadwal bulan puasa selalu tak tetap dan tak serempak.



Perbedaan Jadwal Puasa

Perbedaan jadwal bulan puasa sudah sering terjadi, bahkan hampir tiap tahun. Jadwal bulan puasa nan dimaksud adalah jadwal awal mula dilakukannya ibadah puasa dan jadwal lamanya puasa nan harus dilakukan.

Untuk contoh, apakah jadwal puasa dimulai tanggal 1 Agustus atau 2 Agustus. Lalu buat lamanya puasa, apakah selama 29 hari atau 30 hari. Jadwal bulan puasa tersebut selalu mengalami disparitas tiap tahunnya. Jika jadwal bulan puasa pada penentuan awal puasa bisa sama (serempak), belum tentu jadwal akhir puasa bisa serempak pula. Itu sebabnya ibadah shalat sunat Idul Fitri pun sporadis serempak.

Perbedaan jadwal puasa disebabkan disparitas pada perhitungan hilal (kemunculan bulan nan menandakan bergantinya bulan). Hilal bisa dilihat menggunakan alat bantu penglihatan seperti teropong. Kemunculan hilal terkadang tak sama. Hal nan menyebabkan kemunculan hilal tak sama adalah kejelian dan hal lain nan kemungkinan membuat hilal menjadi tidak terlihat (tampak belum muncul) seperti terhalangi awan.

Dalam beberapa kasus disparitas jadwal bulan puasa, persoalan hilal nan tertutupi awan sehingga tak bisa diketahui dengan persis apakah sudah muncul (terlihat) nan menandakan telah berganti bulan sering menjadi perdebatan.

Persoalan letak atau lokasi penglihatan hilal pun dianggap bisa menjadikan hasil penglihatan terhadap hilal menjadi berbeda. lokasi penglihatan hilal sesungguhnya tidak berpengaruh sebab nan berpengaruh adalah persoalan cuaca nan bisa mengganggu atau mengakali kejelian mata dalam memandang hilal.

Perbedaan jadwal puasa tiap tahunnya antara satu muslim dengan muslim nan lainnya sebaiknya tak dijadikan persoalan nan memecah belah persatuan umat Islam. Acapkali di antara umat Islam sendiri muncul rasa egois dan kebanggaan hiperbola atas satu golongan keagamaan tertentu.

Satu golongan mayoritas menganggap dirinya nan benar, bahkan paling sahih jika ada nan mengklaim golongan lain juga benar. Akhirnya bermula dari persoalan disparitas jadwal bulan puasa bertambah pada persoalan lain dalam peribadatan.

Selain itu, golongan minoritas nan merasa dirinya sahih acapkali tak didengarkan pendapatnya sebab suara minoritas dianggap salah. Hal tersebut menyebabkan golongan minoritas menjadi antipasti terhadap golongan mayoritas. Akhirnya, selalu terjadi perdebatan nan membawa masalah akidah.

Kebijaksanaan dalam memandang persoalan disparitas jadwal bulan puasa memang diperlukan. Lebih diperlukan lagi sikap dari para tokoh agama dari tiap-tiap organisasi keagamaan tersebut nan tak mendiskreditkan salah satu organisasi. Kesamaan dalam rendezvous nan dilakukan di antara organisasi keagamaan adalah saling meyakinkan dan mempertahankan mengenai pendapatnya nan dianggap paling benar.

Persoalan disparitas jadwal bulan puasa sebetulnya diakomodasi melalui sidang isbat. Dalam isbat nan dilakukan oleh menteri agama nan dihadiri para organisasi keagamaan bertujuan mendengarkan pendapat dan lebih ilmiah lagi adalah menyampaikan temuan ilmiah dan dasar hukum nan jelas atas penentuan jadwal puasa.

Sidang isbat acapkali berlangsung alot. Meskipun keputusan telah disepakati, namun sidang isbat acapkali meninggalkan persoalan nan tak tuntas, yakni penentuan jadwal bulan puasa nan malah tak didasarkan pada landasan hukum nan jelas. Sesungguhnya telah jelas bahwa dalam menentukan jadwal puasa, nan dijadikan patokan ialah terbitnya hilal, bukan lagi melihat persoalan matahari. Persoalan agama Islam adalah persoalan bulan sebagai pusat penentuan waktu, baik jadwal bulan puasa maupun almanak tahunan dalam tahun Hijriah.

Itu sebabnya sebaiknya keputusan harus berdasarkan landasan hukum nan telah ditentukan dan telah menjadi pijakan. Tidak lagi mencampurkan antara hukum agama dan hukum lain nan berpusat pada Masehi. Hal nan menarik dalam menyikapi persaolan disparitas jadwal puasa adalah persoalan saat sahur. Saat waktu bersahur, Imsak dimunculkan sebagai pengingat. Waktu Imsak merupakan pengingat bahwa waktu Subuh tak akan lama lagi, akan tiba sekitar 10 menit kemudian.

Namun ada nan menyatakan waktu Imsak ialah tanda telah habisnya saat bersahur. Ketika telah Imsak, maka umat Islam nan berniat puasa tak boleh melakukan aktivitas makan dan minum. Jika masih dilakukan, puasanya dinyatakan telah batal.

Imsak adalah pengingat, bukan batas waktu buat bersahur. Ketika waktu telah menunjukkan Imsak, maka sebaiknya kita bersegera menghabiskan makanan dan minuman nan masih disantap karena sesaat lagi Subuh akan tiba. Disparitas jadwal bulan puasa selalu disertai pula dengan disparitas pengertian mengenai Imsak dan hal tersebut masih saja berulang setiap tahunnya.

Persoalan disparitas jadwal bulan puasa memang telah menjadi bagian dari hayati bermasyarakat. Sikap bijak dan menempatkan diri dalam berbagai persoalan, terlebih persoalan nan sangat sensitif memicu konflik sosial seperti keyakinan agama mesti dijaga dengan baik agar tak menyinggung salah satu pihak. Kebersamaan itu lebih krusial daripada perselisihan.

Perbedaan seperti jadwal puasa bukanlah suatu kemutlakan nan berujung pada sikap fanatik berlebihan. Disparitas bukan jalan buat saling terpecah belah dan saling mengorek kekurangan. Disparitas semestinya menjadi jalan buat kebersamaan. Meski terdapat perbedaan, tetap bisa menjaga kedamaian dan menghargai pendapat masing-masing. Hayati beriringan dengan disparitas lebih latif daripada hayati tanpa disparitas namun tak rukun.



Menentukan Jadwal Puasa

Jadwal Puasa atau jadwal shaum di bulan Ramadhan merupakan salah satu waktu nan banyak dicari oleh umat Islam menjelang masuk bulan Ramadhan. Hal ini sebab pada bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh global diwajibkan buat menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Umat Islam mencari informasi jadwal shaum ramadhan ini buat menentukan awal dimulainya bulan Ramadhan, dan juga sekaligus buat menentukan waktu berakhirnya bulan tersebut. Hal ini sekaligus juga sebagai informasi buat menentukan waktu seremoni Hari Raya Idul Fitri nan akan dirayakan setelah ibadah puasa di bulan Ramadhan selesai.

Proses pencarian informasi ini dilakukan mengingat dalam menentukan Jadwal shaum ramadhan, dilakukan proses nan tak dapat dilakukan oleh semua orang. Hanya orang-orang nan memiliiki kemampuan di bidang perhitungan astronomi saja nan dianggap dapat menjadi acuan atau surat keterangan umat buat mengetahui kapan dimulainya ibadah bulan puasa.

Namun inilah nan menjadikan keunikan dari penentuan jadwal puasa atau shaum ramadhan ini. Karena pernah dalam sejarahnya bangsa ini mengadopsi empat hari dalam ber'idul fitri??? Mengapa bisa? Bukankah start puasanya sama sama? Start puasa boleh jadi sama, tapi penentuan hari raya pun mengundang keunikan dan sisi stress tersendiri. Permasalahan penentuan puasa, penentuan hari raya pun mendapatkan sisi kritis dari ummat Islam sendiri, mengapa menentukan tanggal begitu sulit? Mengapa sine qua non metode berbeda? Mengapa penentuan almanak harus campur aduk dengan wilayah teologis? Dan banyak hal lainnya.

Karena bagi muslim, memutuskan kapan tanggal berpuasa, dan menentukan jadwal puasa, tak semudah jadwal sholat nan cukup menggunakan penghitungan hisab. Ada metode nan di kenal sebagai melihat bulan. Sehingga dalam pandangan ini, tentu saja orang dapat melakukan klaim lebih dahulu bahwa dia telah melihat bulan, sementara orang lainnya dapat mengaku tak melihatnya.

Ini akan sahih benar berpengaruh pada imbas bermasyarakat, walau pengaruhnya pada ibadah puasa sendiri tak begitu jelas. Maksudnya mereka nan menentukan baik menambahi puasa tentu dengan ketakutan bahwa puasanyanya kurang, dan bila kurang berdosa, hingga dapat jadi orang berpuasa 30 hari full di bulan ramadhan, walau pada bulan tersebut bulan baru telah terlihat pada tanggal 28 Ramadhan. Jadi intinya almanak ini merupakan almanak feeling good sekelompok orang nan meyakini puasa harus di libatkan dan di tentukan dalam wilayah teologis. Pada akhirnya kengototan ini akan bertabrakan dengan mereka nan kebetulan menguasai teknologi dan mampu melakukan perhitungan tentang kedatangan bulan. Bagi mereka puasa itu harus mengacu tetap pada datangnya bulan baru. Secara falak dan bukan secara teologis. Bila mengacu kepada arahan teologis, dapat dapat tanggal tanggal lainnya jadi berantakan. Kalender islam dapat berantakan, sebab sehabis Idul Fitri, akan dijelas idul Adha. Jika penentuan hari Arafah keliru, maka batal sudah ibadah hajinya.

Perhitungan Islam

Di dalam agama Islam, perhitungan kalender tak menggunakan peredaran matahari sebagai acuan seperti nan digunakan dalam almanak masehi. Perhitungan kalender Islam menggunakan perputaran bulan sebagai cara penentuan penanggalan. Oleh karenanya, buat menentukan kapankah bulan Ramadhan dimulai dan berakhir, harus berpatokan pada proses peredaran bulan.

Selama ini di dalam menentukan jadwal shaum ramadhan, ada dua cara nan dilakukan oleh para pakar agama Islam. Dua cara tersebut ialah menggunakan sistem hisab atau perhitungan, dan juga dengan cara rukyat atau melihat secara langsung.

Cara hisab ditentukan melalui perhitungan angka nan berpatokan pada estimasi titik orbit bulan pada waktu tertentu. Sehingga, masa edar bulan sudah dapat diprediksikan jauh hari sebelum bulan Ramadhan tiba. Demikian pula dalam proses penentuan masuknya bulan Syawal sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadhan.

Selain menggunakan sistem hisab, ada sistem lain nan juga digunakan dalam menentukan perhitungan bulan Ramadhan. Cara tersebut ialah rukyattul billal atau melihat bulan secara langsung. Biasanya, para pakar akan berkumpul di suatu kawasan nan pandangannya dapat bebas tanpa terhalang apapun juga. Di sana mereka akan melihat tanda-tanda munculnya bulan sebagai penentu dimulainya bulan Ramadhan dan juga berakhirnya bulan tersebut, buat segera masuk ke bulan Syawal .

Lokasi nan kerap digunakan sebagai loka melihat bulan biasanya ialah di daerah pantai, di gedung nan tinggi atau perbukitan nan tak terdapat penghalang pandangan. Ini merupakan cara nan pernah dilakukan semasa Nabi Muhammad masih hayati dan juga dilakukan oleh beberapa sahabat beliau.

Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kondisi lingkungan, kemudian cara tersebut juga sering digunakan buat menentukan jadwal shaum ramadhan. Sebab, dengan kemajuan zaman, orang semakin sulit buat menemukan lokasi nan bebas pandang, sebagaimana di zaman Nabi.

Kedua sistem perhitungan tersebut, pada akhirnya digunakan buat saling menguatkan keputusan penentuan jadwal shaum ramadhan. Meski pada praktiknya, kerap dijumpai disparitas mengenai hasil perhitungan kedua sistem tersebut. Khususnya, dalam hal menentukan berakhirnya bulan Ramadhan atau menentukan hari raya Idul Fitri.

Dan hal ini berdampak pada disparitas seremoni Idul Fitri dari umat Islam nan menggunakan sistem falak dan juga hisab. Namun disparitas tersebut tak menjadi sebuah permasalahan, mengingat dalam agama Islam sudah diberikan dasar nan jelas atas disparitas nan terjadi tersebut. Masing-masing umat nan memiliki kepercayaan atas sebuah sistem, dipersilakan buat menentukan waktu hari raya sinkron dengan kepercayaan mereka.

Yang paling primer adalah, bahwa disparitas nan terjadi memiliki dasar perhitungan nan kuat dan sudah diajarkan dalam agama. Dalam agama Islam, perhitungan waktu puasa dan hari raya Idul Fitri hanya merujuk pada sistem peredaran bulan saja. Jika ada genre nan menggunakan dasar dari kenyataan antariksa lain, seperti pasang surut air bahari atau perhitungan almanak Jawa, maka hal tersebut tak dapat dibenarkan sebagai dasar perhitungan waktu puasa bulan Ramadhan dan juga hari raya Idul Fitri.

Sebab, dalam Islam tak mengenal sistem perhitungan jadwal shaum ramadhan dengan menggunakan kedua sistem perhitungan tersebut. Sehingga, apabila ada kelompok nan menentukan jadwal shaum ramadhan dengan landasan di luar perhitungan sistem edar bulan, maka dapat dikatakan ibadah nan mereka lakukan tak memiliki landasan agama nan benar.

Mengenal Ilmu Falak

Salah satu cara penentuan jadwal shaum ramadhan ialah menggunakan ilmu Falak. Ilmu ini merupakan cabang ilmu Astronomi nan mempelajari tentang sistem lintasan benda-benda nan berada di langit. Terutama di antaranya ialah bumi, bulan serta matahari nan berada pada lintas edar atau orbitnya masing-masing. Tujuan dari mempelajari sistem ini ialah guna mengetahui posisi dari setiap benda langit tersebut dari satu benda langit ke benda langit lainnya. Dengan demikian, manusia dapat menentukan waktu nan terjadi pada saat bersamaan di muka bumi.

Kata Falak sendiri berasal dari bahasa Arab, nan diartikan secara harfiah sebagai orbit. Dalam ilmu modern, ilmu Falak dikenal sebagai ilmu Astronomi. Pada saat ini, Falak lebih dikenal dengan nama hisab. Sebagian besar manusia, lebih mengkaitkan ilmu Falak sebagai ilmu nan digunakan buat menentukan jadwal shaum ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Namun, pada dasarnya ilmu Falak memliki cakupan lebih luas daripada sekadar sebegai media buat menentukan kedua hal tersebut.

Ilmu Falak terbagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah Falak Ilmiy nan dikenal juga sebagai Practical Astronomy . Sedangkan cabang ilmu Falak kedua ialah Falak Amaliy nan lebih banyak dikenal dengan ilmu Hisab.

Ilmu Falak banyak digunakan buat membantu kehidupan manusia, diantaranya digunakan buat menentukan arah kiblat atau arah sholat umat Islam, menentukan waktu shalat, penghitung awal bulan serta buat mengetahui terjadinya gerhana.