Rukun Wakaf

Rukun Wakaf

Kita sering mendengar kata-kata wakaf menempel dengan suatu kata benda seperti 'tanah', 'masjid', 'mushola' dan berbagai wahana generik lainnya. Misalnya masjid wakaf, tanah wakaf, dan mushola wakaf. Apa sebenarnya pengertian wakaf itu? Dan apa saja jenis-jenis wakaf nan ada?



Pengertian Wakaf

Asal katanya ialah waqafa (menahan/berhenti). Secara fiqih, bisa dimaknai dengan memberikan harta milik nan berharga pada seseorang atau penjaga, agar dimanfaatkan buat sebanyak-banyaknya kepentingan generik (sesuai syariat Allah).

Wakaf merupakan suatu ibadah sunnah nan sifatnya hampir mirip dengan sedekah. Bedanya, pahala wakaf termasuk dalam sedekah jariyah, yaitu sedekah nan pahalanya akan terus mengalir pada si pemberi wakaf, bahkan sampai ia mati, selama barang nan diwakafkannya itu masih membawa kegunaan bagi orang banyak.

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” nan bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata nan berbentuk masdar (infinitive noun) nan pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan nan lain, ia berarti pembekuan hak milik buat faedah eksklusif (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) buat tujuan menyedekahkan kegunaan atau faedahnya (al-manfa‘ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Disparitas tersebut membawa dampak nan berbeda pada hukum nan ditimbulkan. Definisi wakaf menurut pakar fiqh ialah sebagai berikut.

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan khasiatnya kepada siapapun nan diinginkan buat tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203).

Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta nan diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas kegunaan harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf ialah menjadikan kegunaan suatu harta nan dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) buat diberikan kepada orang nan berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu eksklusif sinkron dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau loka nan berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta nan dapat memberi kegunaan serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan nan dimiliki oleh Wakif buat diserahkan kepada Nazhir nan dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).

Golongan ini mensyaratkan harta nan diwakafkan harus harta nan kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta nan tak mudah rusak atau musnah serta bisa diambil khasiatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa nan sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan kegunaan nan dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama pakar fiqih.

Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif buat memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian mal miliknya buat dimanfaatkan selamanya atau buat jangka waktu eksklusif sinkron dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan generik menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, bisa disimpulkan bahwa wakaf bertujuan buat memberikan kegunaan atau faedah harta nan diwakafkan kepada orang nan berhak dan dipergunakan sinkron dengan ajaran syariah Islam.

Hal ini sinkron dengan fungsi wakaf nan disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 nan menyatakan wakaf berfungsi buat mewujudkan potensi dan kegunaan hemat mal wakaf buat kepentingan ibadah dan buat memajukan kesejahteraan umum.



Jenis Wakaf

Jenis-jenis wakaf ada dua, menurut fiqih.



1. Waqaf Zurri (Waqaf Ahly)

Wakaf ini diberikan spesifik buat sanak kerabat si pemberi wakaf saja. Sebab Islam sangat menganjurkan agar umatnya memperhatikan nasib kerabat dekat terlebih dahulu buat menghindari iri dan dengki. Itu sebabnya, memberi sedekah pada saudara dan kerabat dekat baik sekali.



2. Waqaf Khoiri

Wakaf nan diberikan agar masyarakat generik bisa mengambil kegunaan darinya. Jaman Rasulullah Saw, sahabat Umar bin Khattab juga melakukan waqaf tanah, nan hasil dari tanah itu diperuntukkan bagi keperluan umat nan kekurangan. Ini ialah contoh dari sahabat Rasul nan lantas ditiru oleh umat Islam hingga saat ini.



Rukun Wakaf

Rukun wakaf Ada empat rukun nan mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang nan berwakaf (al-waqif). Kedua, benda nan diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang nan menerima kegunaan wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).



Syarat-Syarat Wakaf

1. Syarat-syarat orang nan berwakaf (al-waqif)

Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang nan berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka buat mewakafkan harta itu kepada sesiapa nan ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang nan berakal, tidak absah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang nan sedang mabuk.

Ketiga, dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang nan mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang nan sedang muflis dan orang lemah ingatan tak absah mewakafkan hartanya.



2. Syarat-syarat harta nan diwakafkan (al-mauquf)

Harta nan diwakafkan itu tak absah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan nan ditentukan oleh ah; pertama barang nan diwakafkan itu mestilah barang nan berharga Kedua, harta nan diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya.

Jadi apabila harta itu tak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tak sah. Ketiga, harta nan diwakafkan itu niscaya dimiliki oleh orang nan berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tak inheren kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).



3. Syarat-syarat orang nan menerima kegunaan wakaf (al-mauquf alaih)

Dari segi klasifikasinya orang nan menerima wakaf ini ada dua macam, pertama eksklusif (mu’ayyan) dan tak eksklusif (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan eksklusif ialah, jelas orang nan menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan nan semuanya eksklusif dan tak boleh dirubah.

Sedangkan nan tak tentu maksudnya loka berwakaf itu tak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang buat orang fakir, miskin, loka ibadah, dan sebagainya.

Persyaratan bagi orang nan menerima wakaf eksklusif ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang nan boleh buat memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi nan memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tak absah menerima wakaf.

Syarat-syarat nan berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama adalah bahwa nan akan menerima wakaf itu mestilah bisa menjadikan wakaf itu buat kebaikan nan dengannya bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan buat kepentingan Islam saja.



Hukum Wakaf Menurut Al-Qur’an

Secara generik tak terdapat ayat al-Quran nan menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh sebab wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar nan digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran nan menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang nan beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu nan baik-baik, dan sebagian dari apa nan Kami keluarkan dari bumi buat kamu.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa nan kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah nan dikeluarkan oleh) orang-orang nan menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih nan menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa nan Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran buat menginfakkan harta nan diperoleh buat mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala nan berlipat ganda nan akan diperoleh orang nan menginfakkan hartanya di jalan Allah.



Perkembangan Wakaf

Dari contoh awal nan dilakukan oleh Umar bin Khattab dengan memberikan hasil tanahnya buat wakaf pada jaman dahulu, jenis jenis wakaf serta barang nan diwakafkan semakin berkembang saat ini. Tidak hanya berupa tanah dan barang nan sifatnya tak bergerak saja, namun juga bisa berupa barang bergerak sampai kepada uang.

Diharapkan, dengan pemberian barang wakaf nan semakin banyak macam dan jenisnya buat keperluan masyarakat generik tersebut, maka taraf kemakmuran umat pun semakin tinggi. Rasa kebersamaan juga otomatis akan meningkat dan berubah menjadi senasib sepenanggungan. Itu tentu akan menjadi amal jariyah nan pahalanya juga niscaya mengalir sampai mati. Insya Allah.