Kebudayaan Suku Batak

Kebudayaan Suku Batak

Kebudayaan suku Batak tentu sangat beragam. Sebelum membahas tentang kebudayaan suku Batak, ada baiknya kita bahas dulu tentang keanekaragaman budaya . Tentu, Anda sudah tak asing lagi dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika , bukan? Mpu Tantular pada zaman Majapahit nan mulai mengenalkan istilah ini dalam bukunya nan berjudul Sutasoma. Slogan ini menjadi rantai pemersatu akan keanekaragaman budaya nan dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia.

Dulu, maha patih Gajah Mada menggunakan istilah ini sebagai alat pendukung dalam usahanya buat mempersatukan Nusantara . Pada awal kemerdekaan Indonesia, istilah ini juga digunakan buat mendorong lahirnya semangat pesatuan bangsa.

Apabila dirunut kembali ke belakang, nenek moyang bangsa kita sudah mendiami wilayah Nusantara ini sejak dahulu kala. Namun, walaupun hidupnya terpencar-pencar, asal usul rasnya ialah sama. Nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari pangkal anak benua Hindia Belakang nan berbatasan dengan Cina. Di wilayah ini, terdapat dua pusat persebaran bangsa-bangsa, yaitu di Yunan dan di Dongson. Penghuni keduanya (Yunan dan Dongson) berasal dari Tibet.

Bangsa Yunan datang terlebih dahulu dibandingkan bangsa Dongson. Bangsa Yunan disebut sebagai proto Malayu (Melayu tua) dengan keturunannya ialah suku bangsa Batak, Dayak, Nias, Kubu, dan Toraja. Sementara itu, bangsa Dongson disebut dengan deutro Melayu (Melayu muda) nan terdiri atas suku bangsa Jawa , Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis.

Dari disparitas latar belakang inilah, maka muncul keanekaragaman suku bangsa. Dalam perkembangannya, disparitas suku-suku bangsa ini akan melahirkan kebudayaan nan berbeda sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap keberadaan lingkungan di masing-masing wilayah. Keanekaragaman kebudayaan ini kemudian diwujudkan dalam kebudayaan universal.



Kebudayaan Suku Batak

Suku Batak ialah salah satu suku nan ada di Indonesia. Nah, nan akan dibahas di artikel ini ialah tentang suku Batak dan kebudayaannya. Berikut ini ulasannya.



Sistem Kepercayaan Suku Batak

Sistem kepercayaan merupakan salah satu unsur nan dihasilkan dari kebudayaan universal (bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi). Sistem kepercayaan ini menyangkut kepada bentuk ketaatan dan kepatuhan individu atau kelompok akan sebuah kekuatan nan melebihi kekuatan dirinya atau kelompoknya.

Sistem kepercayaan ini ada di dalam setiap kelompok masyarakat, sebab sistem kepercayaan ini dihasilkan dari kebudayaan. Setiap suku bangsa nan terdapat di Indonesia memiliki sistem kepercayaannya sendiri-sendiri nan dihasilkan dari proses interaksinya dengan lingkungan . Begitu pun pada kebudayaan Batak.

Saat ini, masyarakat suku Batak menganut majemuk agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Agama Islam disebarkan oleh orang-orang Minangkabau sejak tahun 1810 nan sekarang ini sebagian besar banyak dianut oleh Batak Mandailing dan Batak Angkola. Agama Kristen Katolik dan Protestan disebarkan oleh para misionaris Jerman dan Belanda sejak tahun 1863 ke daerah Toba dan Simalungun. Sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak menjadi penganut Kristen Katolik maupun Protestan.



Sistem Kepercayaan Purba

Walaupun masyarakat suku Batak sudah menganut ajaran agama Islam dan Kristen, sebagai hasil dari kebudayaan Batak, sistem kepercayaan purba masih terus dipegang teguh terutama oleh masyarakatnya nan hayati di pedesaan. Sumber primer buat mengetahui sistem kepercayaan masyarakat Batak purba ialah melalui buku Pustaha nan terbuat dari kayu dengan bertuliskan huruf Batak.



Debata Mulajadi Na Bolon

Menurut sistem kepercayaan pada kebudayaan Batak, mereka memiliki keyakinan bahwa alam beserta seluruh isinya ialah hasil kreasi Debata Mulajadi Na Bolon (dalam bahasa Batak Karo disebut Debata Kaci-kaci). Menurut mereka, Debata Mulajadi Na Bolon ialah Tuhan Yang Maha Esa nan memiliki kekuasaan di atas langit . Pancaran atas kuasanya terwujud di dalam Debata Natolu , yaitu Siloan Nabolon (Batak Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Batak Karo).

Pane Na Bolon merupakan penguasa makhluk halus. Debata Mulajadi Na Bolon juga memiliki fungsi lain, yaitu mengatur berbagai kejadian alam seperti hujan dan kekeringan. Sementara itu, Pane Na Bolon bertugas buat mengatur empat penjuru angin . Selain Debata Kaci-kaci dan dua perwujudannya (Siloan Nabolon dan Pane Na Bolon) orang Batak Karo juga masih memiliki penguasa lain, yaitu Sinimataniari (penguasa matahari) dan Beru Dayang (penguasa bulan pelangi).



Tondi, Sahala, dan Begu

Dalam buku Pustaha , juga tercantum kepercayaan kebudayaan Batak nan menyangkut jiwa dan roh nan terdiri atas Tondi, Sahala, dan Begu . Buku Pustaha memuat berbagai konsep mengenai pencipta, jiwa, roh, dan global akhirat .

1. Tondi dan Sahala

Tondi merupakan jiwa atau roh dan kekuatannya, sedangkan sahala merupakan jiwa atau roh kekuatan nan dimiliki seseorang. Setiap orang memiliki Tondi , tetapi sahala tak sembarang orang nan memilikinya. Kalaupun ada, kualitas dan jumlahnya berbeda-beda. Sahala nan dimiliki oleh seorang raja jauh lebih kuat dan besar dibanding dengan orang biasa. Kalau diambil kesimpulan, sahala akan menentukan seseorang disegani dan dihormati tidaknya oleh sesamanya. Akan tetapi, sahala ini dapat berkurang dan menentukan kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala pada diri seseorang akan berakibat orang itu kurang disegani lagi.

Menurut kebudayaan Batak, Tondi diberikan pada saat seseorang masih berada di dalam kandungan. Sementara itu, Sahala diraih sebagai langkah lanjutan ketika seseorang berada di masyarakat dan menentukan langkah kehidupan selanjutnya. Sama halnya dengan konsep kepercayaan lainnya, apabila Tondi menghilang atau pergi dari badan seseorang, ia akan sakit kemudian meninggal. Upacara Mangalap tondi dilakukan apabila perginya tondi sebab ada kekuatan lain nan menawannya. Dalam bahasa Batak Karo, upacara ini disebut dengan ndilo tondi, ngaleng berawan .

2. Begu

Di dalam kebudayaan Batak juga dikenal dengan adanya Begu . Begu ialah tondi orang nan telah meninggal. Perilakunya mirip dengan konduite manusia, tetapi kemunculannya hanya di malam hari. Orang Batak mengenal begu ada nan baik dan nan jahat. Spesifik buat begu nan jahat, harus dipuja dengan sesajen ( pelean ).

Orang Batak Karo mengenal beberapa jenis begu , yaitu:

  1. Begu perkakun jebu, begu dari bayi nan meninggal ketika berada di dalam kandungan;
  2. Bicara guru , ialah begu anak nan meninggal sebelum tumbuh gigi serta begu penjaga makam ayahnya;
  3. Begu mate soda wari, begu nan berasal dari orang nan meninggal tak wajar, seperti terbunuh, tertabrak, jatuh, dan lain-lain;
  4. Mate kayat-kayatan, begu orang-orang nan wafat muda.

Orang Batak juga memiliki beberapa begu nan disegani, yaitu:

  1. Somboan, begu nan tinggal di pegunungan atau hutan rimba nan gelap dan mengerikan;
  2. Solobean, begu nan dianggap sebagai penguasa-penguasa loka eksklusif di Toba;
  3. Silan, begu nan serupa dengan somboan nan menempati pohon-pohon besar atau batu nan memiliki keanehan bentuk, tetapi dianggap sebagai nenek moyang pendiri huta dan nenek moyang dari marga;
  4. Begu ganjang, begu nan bisa dipelihara dan ditakuti sebab bisa dipergunakan buat membunuh orang lain nan kurang atau tak suka pada pemeliharanya.

Orang Batak Karo memercayai bahwa begu-begu tersebut memiliki perkampungan seperti layaknya manusia biasa nan hidup. Menurut kepercayaan mereka, sebelum begu-begu tersebut memasuki perkampungannya, mereka mengembara jauh selama empat hari dari saat penguburan. Oleh sebab kepercayaan inilah, maka ziarah kubur pertama dilaksanakan setelah empat hari. Ziarah ini diperuntukkan sebagai perpisahan bagi begu nan akan memasuki perkampungan begu.

Setelah begu masuk ke dalam perkampungannya, bukan berarti hubungannya putus dengan kerabatnya nan masih hidup. Begu-begu ini masih tetap berhubungan dengan kerabat-kerabatnya dan berkeliaran melalui seorang perantara, yaitu dukun wanita nan disebut guru sibaso. Orang-orang Batak Karo juga mempercayai akan roh-roh halus nan suka menolong manusia nan hayati di dalam gua-gua dan tebing-tebing sungai nan disebut umang dan jangak.

Kehidupan masyarakat orisinil di Indonesia memang selalu menarik pada setiap bagiannya, termasuk tentang kebudayaan suku Batak . Semoga bermanfaat!