Rumah Adat

Rumah Adat

Tahukah Anda mengenai kebudayaan Kalimantan Barat ? Siapa tidak kenal maka tidak sayang. Peribahasa itu mungkin perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya.

Jika kita tidak mengenal dengan baik kebudayaan etnis suku-suku di Indonesia, bagaimana kita akan mencintai tanah kelahiran kita nan berasaskan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pengetahuan seputar kebudayaan negeri kita sendiri akan membuka wawasan kita buat memahami makna persatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu provinsi nan memiliki kebudayaaan etnis nan tidak kalah hebatnya dengan kebudayaan suku-suku lain di Indonesia ialah Suku Dayak di Kalimantan Barat. Ibu kota Kalimantan Barat ialah Pontianak.

Daerah ini biasa disebut Provinsi Seribu Pulau sebab kondisi geografis Kalimantan Barat nan terdiri atas ratusan sungai besar dan kecil nan menjadi urat nadi masyarakatnya. Karena itulah, kebudayaan Kalimantan Barat nan berkembang pun memiliki kekhasannya sendiri.



Suku Dayak di Kalimantan Barat

Penduduk orisinil Pulau Kalimantan dikenal dengan sebutan Suku Dayak. Ada kurang lebih enam rumpun Suku Dayak, yaitu Suku Dayak Uut Danum, Suku Dayak Kanayatn, Suku Dayak Kayaanic, Suku Dayak Ibanic, Suku Dayak Banuaka, dan Suku Dayak Bidoih atau Kidoh-Madeh.

Setiap rumpun Suku Dayak kemudian terbagi-bagi lagi menjadi 405 subrumpun. Menurut cerita nenek moyang Suku Dayak nan disampaikan secara turun-temurun, Suku Dayak berasal dari daerah Yunan di Cina nan bermukim di sepanjang genre sungai. Ketika bangsa Yunan ini memasuki Pulau Kalimantan, masuk pula dua kelompok imigran dari bangsa negroid dan weddid.

Mereka pun pada akhirnya hayati berdampingan dan bermukim di Kalimantan. Kemudian, mereka mengalami perkawinan campur antarbangsa dan menghasilkan keturunan berwajah oriental khas Cina namun berkulit kuning langsat. Keturunan campuran inilah nan disebut Suku Dayak. Kata Dayak (Daya’) sendiri bermakna hulu diasosiasikan buat menyebut masyarakat nan bermukim di perhuluan (pedalaman) Kalimantan.

Sub suku dari rumpun Suku Dayak biasanya menyebut nama kelompok mereka berdasarkan nama alam, nama pahlawan, nama sungai, dan lainnya. Misalnya Suku Batang Lupar menamakan diri mereka seperti itu sebab mereka berasal dari Sungai Batang Lupar.

Masyarakat Dayak menganut paham dinamisme dan mereka masih memegang teguh kepercayaan mereka hingga saat ini. Menurut kepercayaan mereka, setiap loka memiliki penguasanya sendiri-sendiri misalnya Jubata, Ala Taala, dan lain-lain buat menyebut Tuhan Tertinggi. Di bawah Tuhan Tertinggi, ada beberapa jenis penguasa lain seperti misalnya penguasa air nan bernama Raja Juata.

Masyarakat Dayak nan masih memegang teguh kepercayaan lama biasanya tinggal jauh di pedalaman terutama setelah masuknya agama-agama besar ke Kalimantan. Misalnya saja Suku Dayak nan telah menganut Islam tak menyebut dirinya Suku Dayak lagi namun menganggap dirinya sebagai orang Banjar (orang Melayu).

Saat ini, suku nan paling dominan di Kalimantan ialah Suku Dayak. Adapun suku lainnya ialah Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Jawa, Suku Minang, dan lain-lain.



Kebudayaan Kalimantan Barat

Kebudayaan suatu suku merupakan karakteristik khas nan dimiliki suku tersebut. Budaya mencakup karakteristik khas, identitas, dan konduite nan inheren dalam suatu wilayah negara, daerah, suku bangsa, dan keluarga. Kebudayaan Kalimantan Barat sendiri terdiri atas beraneka ragam kesenian . Salah satu contohnya ialah bahasa.

Bahasa generik nan dipakai oleh masyarakat tentu saja bahasa Indonesia. Namun, suku-suku di Kalimantan Barat memiliki bahasa penghubung lainnya seperti bahasa Melayu Sambas, bahasa Melayu Pontianak, dan bahasa lainnya. Suku Dayak sendiri memiliki majemuk jenis bahasa dengan 188 dialek. Suku Tionghoa sendiri memiliki bahasa penghubung di dalam komunitas mereka yaitu bahasa hakka/khek dan tiochiu.



Rumah Adat

Rumah adat khas Kalimantan Barat dinamakan rumah Betang. Bentuk dan ukuran rumah Betang berbeda di tiap daerah di Kalimantan Barat. Umumnya, rumah Betang dibangun berbentuk anjung dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter.

Fungsinya buat menghindari ancaman banjir kala musin penghujan sebab biasanya rumah adat ini terletak di hulu sungai, nan menjadi loka pemukiman Suku Dayak. Suku Dayak sangat bergantung kepada sungai sebagai jalur transportasi buat berladang atau berdagang dengan sistem barter misalnya dengan menukar hasil ladang atau ternak.

Dalam satu rumah Betang terdapat sekitar 50 atau lebih kepala keluarga. Rata-rata rumah Betang memiliki panjang sekitar 180 meter dengan lebar kurang lebih 30 sampai 40 meter. Setiap keluarga tinggal dalam kamar bersekat dan masing-masing keluarga memiliki dapur sendiri-sendiri.

Gaya hayati nan dinamakan gaya hayati komunal ini telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Jika mengintip ke dalam salah satu ruangan nan didiami satu keluarga, ruangan dalam rumah Betang serupa dengan apartemen atau flat dengan ruangan seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi.



Pakaian Adat

Sandang adat Suku Dayak Kalimantan Barat disebut King Baba (King berarti cawat dan Baba berarti laki-laki) dan King Bibige (Bibige berarti wanita). Sandang adat ini teramat unik sebab terbuat dari kulit kayu nan mengalami proses sedemikian rupa sehingga menjadi lunak layaknya kain. Kulit kayu ini dinamakan kapua atau ampuro.

Selain baju nan terbuat dari kulit kayu, Suku Dayak juga terkenal akan kepandaiannya dalam menenun. Dahulu kala, mereka menggunakan serat benang dari kulit pohon tengang buat menenun pakaian.

Warna nan dihasilkan ialah rona cokelat muda. Sedangkan warna-warna lain, seperti hitam dan merah hati. Orang Dayak mencelup kulit pohon tengang dengan getah pohon nan telah dilarutkan dalam air.

Saat ini, telah sporadis ditemui baju Suku Dayak nan terbuat dari kulit pohon tengang. Tenunan nan dihasilkan sekarang, lebih banyak menggunakan benang kapas dari luar daerah. Warna-warna nan dihasilkan pun lebih majemuk dan cerah seperti rona kuning, putih, merah muda, dan lain-lain.



Senjata Tradisional

Apa senjata tradisonal khas Kalimantan Barat? Jawabannya ialah Mandau. Mandau ini ialah senjata homogen pedang berukir. Bagian hulu pedang terbuat dari tanduk rusa nan diukir. Bagian besi Mandau terbuat dari besi nan terdiri atas dua jenis bahan, yaitu Bahtuk Nyan dan Umat Motihke. Bahtuk Nyan merupakan jenis besi nan keras dan tajam, sedangkan Umat Motihke bersifat lentur dan tak berkarat.



Tarian Tradisional

Berbicara tentang budaya suatu suku bangsa, maka tidak akan terlepas dari tarian tradisional. Fungsi tarian tradisional biasanya merupakan bagian dari upacara adat. Misalnya seperti Tari Monong nan merupakan tari penyembuhan. Tari Monong bertujuan sebagai penolak, penangkal, atau penyembuh dari penyakit nan diderita seseorang. Penari melakukan tarian seperti seorang dukun dan menjampi-jampinya.

Tarian lainnya nan cukup populer ialah Tari Perang Kancet Papatai. Tarian ini berkisah tentang seorang pahlawan Suku Dayak ketika berperang melawan musuh. Tarian ini ditarikan dengan semangat nan meluap-luap dan lincah diiringi pekikan. Saat menarikan tarian ini, penari mengenakan baju adat Suku Dayak Kendah beserta perlengkapan perang seperti Mandau, pakaian perang, dan perisai.



Alat Musik Tradisional

Alat musik nan biasanya digunakan oleh penduduk Kalimantan Barat buat mengiringi tarian yaitu sebagai berikut.

  1. Alat musik Sapek nan merupakan alat musik petik.
  2. Alat musik Uut Danum atau Gong merupakan alat musik pukul nan terbuat dari kuningan. Alat musik ini bisa dijadikan mas kawin dan alat pembayaran menurut hukum adat.
  3. Alat musik Kedire atau Keledik merupakan alat musik tiup nan terbuat dari bilah bambu dan labu.

Sebenarnya, kebudayaan Kalimantan Barat tak hanya didominasi kebudayaan Suku Dayak. Suku-suku besar lainnya, seperti Suku Melayu dan Tionghoa membawa serta tradisi dan kebudayaan bangsa mereka ke Kalimantan Barat. Namun, sebab Suku Dayak ialah suku orisinil Pulau Kalimantan, maka kebudayaan Kalimantan identik dengan kebudayaan Suku Dayak.

Perlu diadakan penelitian lebih jauh buat mengompilasi bermacam-macam kesenian dan bahasa masayarakat Suku Dayak. Namun, sebab Suku Dayak nan masih memegang teguh adat menetap jauh di pedalaman dan sedikit menutup diri dari budaya luar, maka usaha penelitian ini banyak mengalami hambatan teknis dan nonteknis.