Proses Eksekusi Sekitar Tahun 1980 Hingga 1990

Proses Eksekusi Sekitar Tahun 1980 Hingga 1990

Hukum pidana wafat di Indonesia masih berlaku. Sanksi wafat ialah vonis akhir dari hasil serangkaian proses pengadilan atau tanpa pengadilan dan memiliki level keputusan paling tinggi terhadap seseorang sebagai dampak dari pelanggaran hukum nan telah dilakukannya.

Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain nan masih menerapkan sanksi wafat antara lain: Iran, China, Arab Saudi, Mesir, Irak, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand. Sedangkan negara-negara nan tak menerapkan vonis maut ini antara lain: negara-negara di kawasan Eropa Barat, Canada, Meksiko, Filipina.

Berita terupdate eksekusi vonis wafat kepada terpidana di bumi Nusantara terjadi pada hari Jumat, tanggal 17 Mei 2013. Tiga orang terpidana vonis wafat telah dieksekusi di kawasan Pulau Nusakambangan. Ketiganya telah melakukan serangkaian pembunuhan berencana dengan kasus masing-masing nan berbeda.

Di tahun 2013 ini, kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi wafat sebanyak dua kali. Di bulan Maret lalu, terpidana kasus narkotika, Adam Wilson berwarga negara Malawi di eksekusi di Kepulauan Seribu.

Amnesti internasional nan berbasis di London memiliki pandangan berbeda pada keputusan eksekusi ini. Mereka keberatan dengan eksekusi wafat dengan alasan ini merupakan suatu kemunduran besar dari suatu negara nan sedang menjauhkan praktek hukum brutal di dalam negeri maupun luar negeri.

Seperti nan sudah diketahui oleh kita, pemerintah Indonesia sedang memperjuangkan nasib 130 warganegaranya nan sedang mengalami proses ancaman vonis terberat itu di Arab Saudi dan Malaysia.

Cara eksekusi pidana sanksi wafat di Indonesia dilakukan oleh regu tembak terlatih. Regu tembak ini sebanyak 12 orang, tiga orang memegang senjata nan berisi peluru tajam. Ketiga orang bertindak sebagai eksekutor. Sedangkan lainnya, memegang senjata tanpa berpeluru.

Eksekutor menembak terpidana wafat dengan jeda antara lima hingga sepuluh meter. Si terpidana diberi pilihan buat tetap berdiri atau duduk, matanya ditutup atau tidak.



Macam-macam Eksekusi Mati

Di global ini, ada beberapa cara eksekusi maut ini, antara lain: memenggal kepala orang (pancung), terpidana disengat listrik bertegangan tinggi (sengatan listrik), digantung pada tiang (hukuman gantung), menyuntik dengan obat kepada si terpidana (suntik mati), ditembak tepat pada jantung orang (hukuman tembak) dan rajam yakni dilempar batu hingga meninggal.

Vonis wafat dengan vonis seumur hayati berbeda prinsip. Pada vonis seumur hidup, negara harus menjaga hak dan kewajiban si terpidana sampai akhir hayatnya secara wajar. Sedangkan vonis mati, kepastian waktu meninggal si terpidana ditentukan oleh keputusan negara. Pada prinsipnya semua sanksi ditujukan buat membuat imbas jera.

Dari hasil penelitian ilmiah, perbuatan kriminalitas nan dilakukan seseorang berhubungan dengan taraf kesejahteraan, ketimpangan sosial nan terlalu kentara, tak berfungsinya penegak hukum sinkron dengan tugas dan wewenangnya.

Masih menjadi suatu perdebatan nan tak berkesudahan tentang karena dampak tindakan kriminalitas dapat terjadi pada seseorang. Perdebatan ini seperti kita mencari jawaban "telur atau ayam nan lebih dahulu tercipta".

Mereka nan setuju vonis wafat berargumen buat usaha pencegahan lebih lanjut korban-korban pembunuhan lainnya. Jika seorang terpidana telah terhukum wafat dan dieksekusi tentu orang tersebut tak dapat membunuh lagi.

Dan memiliki akibat lebih luas buat memelihara stabilitas kehidupan masyarakat nan lebih luas. Banyak bromocorah nan tetap melakukan kejahatan berulang-ulang sebab vonis nan dikenakan masih ringan.

Hal ini membuat ketimpangan pada rasa humanisme dari sudut pandang pihak korban, keluarga dan masyarakat. Mereka nan menolak adanya vonis wafat dinilai hanya melihat dari sisi hak azasi manusia si pelaku kriminal saja.

Argumen dari pihak nan menolak, vonis wafat bersifat bias dilihat dari si penerima sanksi tersebut. Pasalnya, si terpidana banyak nan berlatar belakang dari kelas ekonomi lemah dan berbeda suku maupun ras.

Hukum pidana wafat di Indonesia nan masih berlaku sampai saat ini merupakan warisan KUHP peninggalan Kolonial Belanda. Vonis paling tinggi ini masih mendapat dukungan nan luas di pemerintahan dan masyarakat.

Dasar nan dipakai oleh masyarakat yakni tak hanya terpidana saja nan memiliki hak hayati dan tak disiksa, masyarakat lain pun memiliki hak nan sama. Terdapat 11 Perpu nan mengandung ancaman vonis mati, beberapa diantaranya yaitu:

  1. KUHP
  2. UU Narkotika
  3. UU Anti Korupsi
  4. UU Anti Terosisme
  5. UU Pengadilan HAM.

Eksekusi terpidana nan tercatat paling populer dan mendapat perhatian global yakni dari kelompok teroris Bom Bali 2002 seperti Imam Samudra, Amrozy dan Muklas. Peristiwa kelam tidak akan terlupakan nan pernah terjadi di bumi Nusantara. Terpidana vonis wafat lainnya berasal dari tindakan narkoba dan pembunuhan berencana.

Ada hal nan unik di bumi nusantara terkait vonis paling tinggi ini. Di masa orde baru, para terpidana justru dari pelaku tindak kejahatan politik. Mereka melakukan tindakan kejahatan nan dinilai muslihat terhadap keutuhan negara kesatuan RI.



Proses Eksekusi Sekitar Tahun 1980 Hingga 1990

Para terpidana memiliki haluan ideologi nan berbeda dengan Pancasila . Kita semua tentu ingat peristiwa G 30 S/PKI di tahun 1965 nan telah menggoyahkan idelogi Negara Indonesia.

Ideologi Pancasila akan diganti dengan ideologi Komunis oleh sekelompok orang. Dalam peristiwa itu terjadi tindak kejahatan humanisme nan keji. Pembantaian orang di kalangan militer, aparat pemerintahan hingga masyarakat sipil berlangsung secara sistematis dan massif. Ribuan orang tewas dalam peristiwa itu.

Saat ini, orang-orang nan masih berada dalam tahanan dan siap dengan pidana sanksi wafat di Indonesia berjumlah 109 orang. Latar belakang kasus mereka beraneka ragam. Mulai dari aksi tindakan terorisme, murni kriminal dan narkoba. Tujuan primer hukum pidana yaitu usaha buat mencegah lebih lanjut tindak kejahatan dan pelanggaran.

Tindakan kejahatan berat harus menerima konsekuensi sanksi nan berat pula. Vonis wafat masih dianggap obat nan ampuh buat memerangi kejahatan-kejahatan besar.

Perbedaan pendapat nan tajam terkait vonis maut ini harus didasarkan pada kajian nan komprehensif seperti kajian sosio-kriminologis. Proses pemidanaan berkaitan dengan barang berharga nan dimiliki seseorang yakni nyawa dan kebebasan.

Institusi nan bisa membuat sanksi wafat di Indonesia ialah negara melalui alat-alat negara nan memiliki tugas dan wewenang dalam proses hukum. Hukum di negara kita mengalami perkembangan sinkron dengan dinamika politik. Tentu, kita semua tahu di Aceh diterapkan swatantra spesifik nan menerapkan hukum syariat Islam.

Kasus kejahatan nan sama dapat berbeda sanksi nan diterima. Misalnya saja, seorang istri berzinah, pada hukum syariat Islam, istri akan dihukum rajam hingga tewas. Padahal di propinsi tetangga, misal di Sumatera Utara, seorang istri berzina hanya dikenai sanksi ringan bahkan terkadang cuma pembinaan saja.

Tentu permasalahan pandangan hukum ini menjadi kesenjangan antara hukum nan berlaku positif negara dengan hukum nan berlaku pada suatu daerah nan memiliki swatantra khusus. Kajian hukum secara menyeluruh memang perlu monoton dikembangkan.

Satu hal nan niscaya jangan sampai bukti diri bangsa Indonesia dikorbankan seperti gotong royong, saling hormat menghormati dalam kemajemukan. Kalau sampai bukti diri bangsa ini hilang, dasar negara nan susah payah diperjuangkan oleh para pahlawan nan telah gugur akan menjadi sia-sia.