Tanah Negara

Tanah Negara

Dalam global agraria dikenal istilah “tanah negara” dan “tanah ulayat.” Ada sedikit kesulitan mencari pengertian atas kedua istilah itu. Sedangkan dalam pengertian umumnya, terdapat celah ambigu nan memungkinkan adanya perdebatan.

Kita tak akan menemukan kedua istilah tersebut dalam UUD 1945. Kalau pun ada bahasan nan berkaitan dengan itu, ialah pasal 33 ayat (3), nan menyebutkan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam nan terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan buat sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Bahkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 pun tak memberi klarifikasi nan memuaskan, kecuali menegaskan bahwa hak dominasi negara atas bumi, air dan kekayaan alam itu, memberi wewenang kepada negara untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan udara.

  2. Menentukan dan mengatur interaksi hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum nan terkait dengan bumi, air dan udara tersebut.

Pengertian mengenai tanah negara baru ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 pasal 1, nan menyebutkan bahwa, “tanah negara, adalah tanah nan dikuasai penuh oleh Negara.”

Sementara mengenai tanah ulayat, pada umumnya pengertian merujuk kepada suatu bidang tanah nan inheren padanya hak ulayat. Istilah “hak ulayat” sendiri muncul sebagai terjemahan terhadap istilah ‘ beschikkingsrecht ’ nan berarti hak komplotan atas tanah.



Celah Ambigu

Ambiguitas pemahaman muncul apabila kita menelisik Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997. Pada pasal 1 angka 3 Undang-undang tersebut, kita temukan pengertian tanah negara atau tanah nan dikuasai langsung oleh Negara ialah tanah nan tak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.

Jika kita membandingkan dengan ketentuan UUD 1945, ada disparitas pemahaman pada kata “dikuasai oleh negara.” Dalam UUD 1945 jelas bahwa dominasi negara atas tanah tersebut berarti dimiliki dan dikelola oleh negara secara langsung, dalam bentuk BUMN.

Istilah “dikuasai” di sini berarti “dimiliki”, tetapi memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu.

Celah ambigu tersebut sering melahirkan kesalahpahaman para penyelenggara negara, nan menyama-artikan antara hak dominasi negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi nan diurus oleh Badan Usaha Milik Negara.

Kesalahpahaman tersebut dikhawatirkan menimbulkan terjadinya perampasan nan dilegalkan secara yuridis terhadap tanah ulayat. Apalagi, rasanya tak mungkin ada sebidang tanah pun nan tak inheren hak-hak pemilikan atasnya, minimal hak ulayat dari masyarakat adat. Karena itu perlu penegasan nan lebih definitif mengenai tanah negara dan tanah ulayat tersebut.



Tanah NegaraApabila kita mencermati kembali beberapa pasal dalam PP No. 8 Tahun 1953, bisa disimpulkan bahwa tanah negara ialah tanah nan dikuasai penuh oleh negara nan digunakan atas dasar kepentingan penyelenggaraan instansi pemerintah, termasuk di dalamnya ialah BUMN.

Hal ini harus dibedakan dengan istilah hak pengelolaan. Hak pengelolaan tentu saja berbeda dengan hak pemilikan. Termasuk di dalam hak pengelolaan ini ialah hak buat memanfaatkan, memindahtangankan, menikmati, dan sebagainya.