UU Tenaga Kerja vs Wiraswasta

UU Tenaga Kerja vs Wiraswasta

Hakikatnya UU Tenaga Kerja berfungsi buat melindungi para pekerja. Oleh sebab itu, para anggota dewan di taraf daerah sampai atas berunding buat menetapkan UU ini nan katanya berfungsi buat melindungi para pekerja dari cukong-cukong mereka, ataupun sistem manajemen perusahaan nan tak benar-benar memihak pekerja.

Namun, sungguhnya tak seperti itu kenyataannya. Terlalu banyak hal nan ternyata bertolak belakang dengan janji-janji para pembuat kebijakan. Seolah suara rakyat nan harusnya diperjuangkan akhirnya hanya berakhir pada janji semata. UU Tenaga Kerja nan dibuat kemudian tak lagi benar-benar memihak rakyat. Sungguh tragedi.



UU Tenaga Kerja Tentang Resourcing , Membunuh Pekerja

Pada tahun 2003 timbul demo besar-besaran dari para buruh, pasalnya saat itu UU ini disahkan, namun sungguh tak memihak para pekerja. Pemerintah menetapkan tentang sistem outsourcing . Jadi, para buruh dan pekerja tak lagi diberi wewenang buat menjadi pegawai tetap. Mereka dipekerjakan lewat outsourcing alias pihak ketiga nan menjadi penengah antara pihak perusahaan nan butuh pekerja dan pihak pekerja nan membutuhkan pekerjaan.

Sistem outsourcing ini sesungguhnya ialah sistem nan menghidari pekerja tetap. Perusahaan tak perlu membayar tunjangan, gaji tambahan, asuransi kepada para pekerja sebab bukan mereka nan membuat perjanjian kerja. Perusahaanlah nan meneken perjanjian buat mengambil pekerja pada waktu eksklusif dan ketika masa pekerjaan habis, para pekerja dapat memperbarui kontrak kerjanya, atau berhenti sepenuhnya.

Tujuan pemerintah menetapkan UU Tenaga Kerja tentang outsourcing ialah buat memancing para investor asing buat menanam dana di Indonesia. Sistem ini sungguh menyiksa kaum buruh dan para pekerja. Ketika UU ini sempat masuk dalam kedap di ruang sidang, berbondong-bondong para buruh mengajukan protes.

Mereka berharap para anggota Dewan sedikitnya memihak pada kaum kecil, alias para pekerja, bukan para pengusaha. Kerusuhan sempat terjadi. Sayangnya, ternyata UU ini tetap diluncurkan. UU Tenaga Kerja no 13 tahun 2003 nan isinya lebih memihak para pengusaha ini cukup mengecewakan para pekerja dan buruh.

Tentu saja para buruh dan pekerja merasa keberatan dengan sistem outsourcing , atau lebih dikenal sistem kontrak. Sistem ini membuat keamanan pekerja tak terjamin. Belum lagi upah nan dipotong buat diberikan pada pihak ketiga atau disebut juga sebagai "calo" pekerja. Sistem outsourcing bukan hanya menyangkut masalah pihak ketiga, namun juga perjanjian kontrak kerja.

Para pekerja outsourcing biasanya tak memiliki agunan sosial sebab perusahaan enggan menanggung tunjangan nan berbuntut meningkatnya biaya operasional dan produksi. Mereka berusaha menekan pembiayaan. Kalaupun pemerintah tak mengambil langkah buat menerapkan UU Tenaga Kerja nomor 13 tahun 2003, dapat dipastikan para pengusaha akan lebih memilih mempekerjakan para buruh berupah murah. Buntut-buntutnya para pengangguran lebih banyak.

Idealnya perusahaan harusnya menanggung tunjangan karena loyalitas nan diberikan para pekerja, tapi hukum ekonomi berlaku. Memperkecil biaya produksi buat mendapatkan laba maksimal. Jadi, mencari pekerja dengan biaya murah akan memperkecil ongkos produksi.

Terlihat, bahwa UU Tenaga Kerja nan seharusnya dibuat buat melindungi pekerja justru malah sebaliknya. Menikam para pekerja dan memojokkan sampai ke titik nadir. Sungguh suatu ironi. Pemerintah sendiri berdalih, mereka memberlakukan UU Tenaga Kerja no 13 tahun 2003 tentang outsourcing sebab pekerja itu sendiri.

Buruh di indonesia dianggap tak memiliki keahlian spesifik nan menjadikan mereka layak diberi gaji nan sesuai. Hal ini disebabkan para buruh hanyalah tamatan SD. Inilah indikasi murahnya harga buruh. Justru ketika seseorang tak memiliki keahlian terhadap sesuatu, nilai tawarnya jatuh. Sehingga harga buat upah mereka pun minimum. Sebab itu, perusahaan merasa terlalu berat bila harus mengeluarkan biaya lebih dengan kemampuan seadanya.

Walaupun pemerintah berusaha membantu para buruh tersebut dengan memberikan patokan UMR (upah minimum regional) di tiap loka atau daerah, tapi ternyata itu tidaklah menjadi agunan bagi kesejahteraan pekerja. Masih banyak para buruh ataupun pekerja nan bekerja dan dibayar dibawah UMR. Mereka tak dapat mengajukan tawaran lebih tinggi. "Tidak bekerja tak masalah" ialah kata nan tabu mereka ungkapkan karena kebutuhan hayati nan mendesak. Akhirnya para buruh ditempatkan dalam posisi tak memiliki daya tawar, jadi dihargai seenaknya.



Adakah Pengaruhnya Bila UU Tenaga Kerja Berubah?

Sebuah pertanyaan kemudian timbul. Bagaimana bila UU Tenaga Kerja berubah, terutama tentang outsourcing . Apakah kondisi buruh akan lebih baik? Jawabnyanya tentu saja masih di daerah abu-abu. Bagaimana pun UU Tenaga Kerja di Indonesia hanya sekedar menjadi Undang-undang sebab nan kemudian bermain ialah kondisi lapangan.

Kalaupun ingin mengajukan lewat hukum berbekal UU Tenaga Kerja baru nan mungkin dirasa lebih berpihak, tetap saja kaum buruh akan kalah sebab "kurang pamor". Perusahaan memiliki pengacara terbaik, uang nan banyak buat bekerja membela mereka. Sedangkan Sang penuntut, pekerja nan menginginkan kenaikan gaji dan mendapat tunjangan sampai rela berpeluh mengajukan masalah kepengadilan. Buntut nan mereka terima hanyalah surat pemecatan. Menyedihkan memang, namun itulah nan kerap terjadi.

Di mana-mana para pekerja kecil ataupun buruh hanya siap menerima sikap pedas para pengusaha. Oleh sebab itu, setiap tanggal 1 mei nan diperingati sebagai hari buruh sedunia, para buruh di seluruh Indonesia mengajukan demo. Tuntutannya dari tahun ke tahun sama, "kesejahteraan buruh" dan "kenaikan upah".

Tapi, alih-alih perusahaan memperhatikan, hari buruh nan kemudian terlewati pun akhirnya menghilangkan angan-angan dan tuntutan mereka. Semua disimpan dalam kotak buat dikeluarkan lagi tahun berikutnya. Semua tak akan pernah ada ujungnya.



UU Tenaga Kerja vs Wiraswasta

Masalah pekerja, para buruh dengan pengusaha dan UU Tenaga Kerja terus saja melingkar-lingkar, seperti lingkaran setan. Tidak ada nan benar-benar akan selesai. Perusahaan ingin mendapat laba tanpa harus meningkatkan biaya produksi, para buruh ingin gaji naik dan keamanan dalam kehidupan.

Semuanya kembali pada uang nan dipertaruhkan. Masalah ini tak akan pernah selesai. Para buruh akan menderita dan tetap nan paling kuat dan jaya ialah perusahaan. Bila para pekerja itu mau mengambil risiko, pasti kondisi mereka dapat saja lebih baik daripada mereka menjadi seorang buruh atau pekerja outsourcing.

Jadi, ayo mengambil risiko. Jadilah pengusaha alias berwiraswasta. Menjadi pekerja hanya dapat menerima upah nan segitu-gitu saja. Sedangkan menjadi pengusaha dapat mendapatkan laba berlipat. Nah, hal inilah nan sekarang sedang digembar-gemborkan pemerintah. "Jangan menunggu cari kerja, buatlah sebuah pekerjaan".

Lihatlah negara Singapura nan pertumbuhan para pengusaha mudanya luar biasa pesat. Hampir di seluruh loka para pengusaha wiraswasta aktif dan memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian Singapura. Indonesia, nan para wiraswastanya sedikit pun telah membuktikan. Menjadi seorang enterpreneur bukan dosa, ataupun hal nan berat. Banyak kok contohnya nan sukses berhasil di usia muda. Intinya ialah berani mencoba dan tak takut gagal.

Berkat ide-ide segar tentang wiraswasta, banyak buku-buku beredar nan semuanya rata-rata setengah menertawakan nasib para pekerja nan cuma menunggu gaji tiap bulan dengan jumlah nan tetap dan jam kerja nan membosankan. Contohnya, "Jangan Mau Seumur Hayati Jadi Orang Gajian" judul buku ini saja seolah sudah mengejek orang-orang nan terjebak ke dalam cacat pekerja aman. Gaji tiap bulan selalu didapat sehingga dapat membayar cicilan rumah ataupun cicilan motor.

Bukan berarti para buruh pun tak memiliki kesempatan menjadi wiraswasta sebab hambatan biaya. Tidak semua para enterpreneur nan berhasil dulunya memiliki kapital rupiah. Mereka justru berusaha mencari para investor nan akan membantu mereka sukses. Jadi, jangan jadikan UU ini sebagai alasan buat marah dan kecewa. Jadikan UU Tenaga Kerja nan tak memihak itu sebagai cambuk buat menjadi maju dan menjadi pengusaha nan sukses, niscaya bisa.